Langit di atas Akademi Langit Timur mendung sejak pagi.
Namun kabut tebal yang menyelimuti halaman, lorong, dan atap-atap tua…
bukan datang dari awan.
Kabut itu berasal dari pertanyaan —
pertanyaan yang menggantung di udara, bergema di antara bisik-bisik guru, desas-desus murid, dan catatan rahasia di ruang observasi:
> Siapa sebenarnya Arya Bima?
📍 Kantor Pengawas Sekolah – Menara Tertutup
Empat guru duduk mengitari meja batu berukir lambang langit dan bumi.
Di atasnya, tergantung Kristal Pengamat — merah tua, berdetak lambat seperti jantung tua yang letih.
Biasanya, kristal itu memantulkan gambaran dari simulasi secara akurat: gerakan, aura, dan aliran chi setiap peserta.
Tapi saat proyeksi Arya Bima diputar…
hanya kegelapan.
Tidak ada bentuk. Tidak ada suara. Tidak ada data.
Hanya kekosongan.
---
> “Ini mustahil,” ujar Guru Silaran, kepala jurusan formasi dan sistem, suaranya tajam seperti bilah logika.
“Simulasi ini telah digunakan lebih dari dua ribu murid dalam tujuh tahun terakhir.
Tak pernah rusak—kecuali sekarang.”
Ia mengerutkan alis. Di tangannya tergenggam daftar error yang tak pernah muncul sebelumnya:
Parameter hilang. Refleksi sihir kosong. Titik fokus: nihil.
---
> “Atau…” gumam Guru Wanti, wanita tua berjubah coklat kelam yang lebih dikenal sebagai penjaga ingatan teknik kuno,
“…bukan simulasinya yang rusak.”
“Tapi subjeknya… terlalu asing untuk dicatat.”
---
Sejenak, tak ada yang bicara.
Kristal di atas mereka bergetar pelan, seperti enggan menyimpan jejak dari seseorang yang tak seharusnya ada.
Tuan Reksamitra, lelaki tua berjubah ungu kelam, duduk paling ujung —
diam sejak awal, seolah mendengarkan lebih dari sekadar kata.
Baru sekarang ia berbicara.
Suaranya dalam, perlahan… seperti mengangkat sesuatu dari dalam tanah yang sudah lama dikubur.
> “Dulu, ada legenda…”
Ia mengatupkan jari-jarinya, menatap ke arah proyeksi gelap yang tak bergerak.
> “…tentang kultivator tanpa sistem.”
“Yang tak bisa dicatat dalam hukum sekolah…”
“Tak bisa diukur oleh kristal…”
“Dan tak bisa diprediksi oleh siapa pun — bahkan dirinya sendiri.”
Diam sesaat.
> “Mereka menyebutnya: Bayangan di Balik Langit.”
---
Kristal di atas meja bergetar sekali.
Cahaya merahnya meredup… lalu menyala lagi — seolah keberatan mendengar nama itu diucapkan.
> “Dan kurasa…” gumam Reksamitra,
“...kita baru saja bertemu salah satunya.”
📍 Sisi Lain: Ruang Tidur Kelas Elit
Di balik dinding batu berlapis pelindung aura, Raka duduk sendiri di ranjang ukiran giok ringan.
Tangannya memegang botol ramuan pemulih — belum diminum, hanya digenggam, gemetar halus.
Luka di tubuhnya sudah hampir sembuh.
Tapi luka yang lain… masih berdarah di dalam.
> “Itu bukan kekuatan biasa…”
Napasnya berat.
> “Bukan teknik biasa juga. Tak ada aura… tak ada tekanan…” “Tapi saat itu… aku seperti ditelan kekosongan.”
Ia menatap ke arah cermin di dinding.
Wajahnya masih tampan, terawat… tapi sorot matanya redup, terguncang.
Beberapa detik, ia hanya menatap dirinya sendiri.
Lalu suaranya kembali, pelan, tapi dingin:
> “Kalau sistem tak bisa menghancurkannya…”
Tangan kirinya mengepal, hingga retakan kecil muncul di botol ramuan.
> “…aku akan pakai cara lain.”
📍 Lorong Akademi – Mendekati Menara Utara
Dua murid perempuan melangkah pelan menyusuri lorong batu yang dibingkai tanaman anggrek roh.
Udara pagi masih dingin, dan kabut tipis belum benar-benar menghilang.
Salah satunya adalah Nadira — peringkat tiga akademi, dikenal luas karena kultivasi elemen es-nya, dan pengendalian emosi yang nyaris mutlak.
Langkahnya ringan tapi pasti, seperti air yang membeku dalam garis.
> “Jadi… kamu melihat duel itu?” tanya temannya, agak pelan — seperti takut menarik perhatian roh penjaga di dekat aula.
Nadira mengangguk pelan. Tatapannya tidak berubah.
> “Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya,” ujarnya.
> “Tapi aku tahu satu hal…”
Ia berhenti sejenak, menatap langit kelabu di atas atap-atap aula.
> “Dia tidak menggunakan teknik biasa.”
“Dia tidak bertahan…”
> “…dia menghilang dari dunia sekitarnya.”
📍 Malam Hari – Perpustakaan Tertutup
Lampu roh berkedip samar di sepanjang lorong bawah tanah perpustakaan utama.
Seorang penyusup melangkah pelan.
Jubah kelabu menyamarkan wajah dan auranya. Nafasnya ditahan. Gerakannya nyaris tidak meninggalkan bayangan.
Ia menelusuri rak-rak teknik yang sudah tidak dibuka selama puluhan tahun.
Lorong ini tidak tercantum dalam denah resmi. Bahkan para guru biasa pun tak tahu cara membukanya — kecuali mereka yang pernah membaca arsip gelap.
Tangan penyusup menyentuh sebuah ukiran simbol tua di ujung rak.
Sebuah suara klik terdengar, dan bagian rak bergeser perlahan, memperlihatkan ruang rahasia kecil.
Di dalamnya hanya satu gulungan.
Tertutup debu. Dibalut jaring waktu.
---
Ia membuka gulungan perlahan.
Tulisan kuno terpampang jelas, dengan tinta merah darah yang tidak memudar:
> "Pecahan Sistem Asli: Teori Pendekar Non-Kausal"
Kode: Langkah Tak Terdaftar
Status: Terlarang. Dihapus dari kurikulum resmi. Dilarang dipelajari tanpa izin Kepala Sekolah.
[Segel Edisi 139 – Dewan Langit Tertinggi]
---
Penyusup itu menyipitkan mata. Suaranya nyaris berbisik, tapi penuh bobot:
> “Jadi… memang benar.”
> “Ada satu jalur kultivasi yang tidak ditulis dalam sistem.”
Ia menggulung naskah perlahan.
> “Dan sekarang… ada seseorang yang menempuhnya.”
📍 Langit Timur, Menjelang Subuh
Kabut menggulung perlahan di antara puncak-puncak menara akademi.
Dan di balik langit kelabu yang menggantung berat…
seekor burung roh berwarna perak kehitaman melesat dari salah satu menara rahasia.
Sayapnya nyaris tak bersuara. Tubuhnya tak menyentuh angin.
Ia menembus awan dengan pola sihir lintas wilayah — menuju arah utara, ke luar batas akademi.
Di dalam gulungan pesan yang diikatkan di kakinya, hanya tertulis satu kalimat:
> “Subjek potensial ditemukan. Jalur Kehampaan aktif. Segera kirim penilai.”
---
Dan jauh di utara — di dalam lembah sunyi yang tidak tertera di peta mana pun —
sebuah mata terbuka.
Ia tidak milik manusia biasa.
📍 Sementara itu — Arya Bima
Di pinggir lapangan latihan yang mulai ditinggalkan murid lain, Arya Bima duduk sendirian, seperti biasa.
Angin pagi berhembus pelan, membawa aroma rumput lembap dan debu kayu dari arena.
Tangannya menulis perlahan di buku kecilnya — halaman-halaman lusuh yang hanya ia tahu isinya.
> Hari ini, mereka mulai bertanya.
Tapi mereka masih berpikir aku bagian dari sesuatu yang bisa diukur.
Mereka salah.
Ia menutup bukunya, menatap langit yang mulai cerah — tapi tak membawa kehangatan.
> “Aku bukan bagian dari sistem kalian.”
“Aku… adalah anomali.”
---
Pagi itu, suasana di ruang kelas buangan berbeda dari biasanya.
Tak ada tawa sarkastik. Tak ada cemoohan keras.
Hanya bisik-bisik yang merambat seperti hawa dingin di balik dinding batu.
Bukan rasa hormat.
Tapi… rasa waspada.
Arya Bima duduk di bangku paling belakang, seperti biasa.
Punggungnya tegak, tangan bertumpu santai di meja kayu tua yang permukaannya penuh coretan lama.
Jendela di sampingnya terbuka sedikit, membiarkan angin pagi menyentuh ujung rambutnya yang tergerai.
Tapi tidak ada satu pun murid yang berani menyapanya.
Bahkan menoleh pun… terasa terlalu berani.
Biasanya, selalu ada satu atau dua suara yang melontarkan sindiran.
Biasanya, selalu ada tawa pelan atau lirikan merendahkan.
Tapi hari ini… hanya diam.
Sunyi yang bukan karena hormat — tapi karena ketakutan yang belum mereka pahami.
---
Mereka mungkin tidak tahu pasti apa yang telah terjadi…
tidak melihat langsung apa yang ia lakukan di arena…
tidak sempat membaca laporan rusaknya sistem simulasi…
Tapi mereka merasakan sesuatu.
Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh nilai atau ranking.
> Arya Bima bukan lagi orang yang sama seperti seminggu lalu.
“Dengar-dengar, sistem simulasi benar-benar rusak…”
“Dan itu bukan cuma rumor. Guru-guru sekarang diwajibkan pakai sistem cadangan.”
“Semua itu… gara-gara dia, kan?”
Bisik-bisik itu berdesakan di sudut ruangan.
Pelan, menyusup, lalu menghilang seperti asap.
Di telinga Arya, mereka tak lebih dari nyamuk malam.
Mengganggu… tapi terlalu kecil untuk diusir.
Tak layak dibalas.
Ia tetap diam, seperti batu di tepi sungai.
Tangannya perlahan menulis sesuatu di buku catatannya — tinta hitam di atas halaman tua yang hanya berbicara kepadanya.
---
> Hari ini, mereka mulai takut.
Tapi mereka belum mengerti apa yang harus ditakuti.
Dan mungkin... itu justru hal yang paling menakutkan.
pintu kelas terbuka.
“Clek.”
Suara itu pelan, tapi menggema lebih keras daripada suara guru mana pun sebelumnya.
Langkah sepatu kulit berat terdengar menghantam lantai batu.
Setiap langkah mengiris keheningan seperti bilah pedang.
Seorang pria tua memasuki ruangan — berjubah hitam panjang, dihiasi garis emas yang melingkar seperti lambang otoritas.
Guru Besar Reksamitra.
Seisi ruangan langsung membeku.
Beberapa murid bangkit berdiri, tubuh mereka kaku oleh refleks, bukan sopan santun.
Karena guru tingkat ini… tidak pernah menginjakkan kaki di kelas buangan.
Bahkan, namanya saja biasanya hanya disebut dalam buku peraturan atau hukuman.
Namun ia tidak menoleh ke kiri atau ke kanan.
Tidak memedulikan siapa pun.
Ia melangkah lurus — menuju bangku paling belakang.
Berhenti tepat di hadapan Arya Bima.
---
> “Arya Bima.”
> “Kau diundang ke Ruang Observasi Tingkat Dua.”
> “Sekarang.”
---
Tak ada penjelasan. Tak ada pilihan.
Hening menggantung di udara — bukan karena tidak ada yang mau bicara, tapi karena tak satu pun tahu apa yang sedang terjadi.
Arya menutup bukunya.
Lalu berdiri.
> “Baik, Guru.”
📍 Ruang Observasi Tingkat Dua
Ruangan itu bukan sembarang tempat.
Dindingnya terbuat dari batu sihir berlapis segel peredam suara.
Kristal-kristal pemantau melayang di udara, memantulkan cahaya biru dingin.
Di sinilah para murid elite menerima bimbingan pribadi.
Tempat di mana turnamen besar dirancang.
Tempat para pemenang diberi jalan menuju legenda.
Tapi hari ini…
seorang murid tanpa nama, tanpa peringkat, tanpa status… duduk sendirian di kursi utama.
---
Reksamitra duduk di hadapannya.
Tangan bersilang di atas meja batu.
Tatapannya tajam — namun wajahnya netral, tak menunjukkan emosi.
> “Kami tak bisa mengukurmu.”
“Tak bisa membaca sistemmu.”
“Namun kami tahu… sesuatu yang kuat telah bangkit darimu.”
Arya hanya menatap. Tenang. Tak terpengaruh.
---
Reksamitra melanjutkan:
> “Apa kau ingin kekuatan yang lebih besar?”
> “Kami bisa membuka akses padamu. Ruang pelatihan rahasia. Gulungan teknik terlarang. Bahkan… jalur masuk ke sayap elite.”
Suasana mendadak senyap.
Kristal pengamat berdengung halus, seperti menahan napas.
Namun Arya tidak langsung menjawab.
Ia menunduk sedikit, memikirkan — atau mungkin hanya menghargai diam.
Lalu ia bertanya, pelan:
> “Berapa harganya?”
---
Reksamitra tampak kaget sepersekian detik.
Lalu menjawab:
> “Tidak ada.”
---
Arya mengangguk kecil.
Tapi justru setelah itu, ia berkata dengan nada yang nyaris seperti bisikan:
> “Kalau begitu… saya tolak.”
---
Reksamitra menyipitkan mata.
> “Kenapa?”
---
Tatapan Arya berubah. Bukan keras. Bukan dingin. Tapi… kosong.
> “Karena jika sesuatu diberikan…”
“…maka sesuatu akan ditarik kembali.”
> “Dan saya…”
“…tidak bisa kehilangan apa pun lagi.”
Seketika, udara di ruangan itu terasa dingin.
Dingin yang tidak menusuk, tapi menegaskan.
Bukan amarah. Bukan intimidasi.
Melainkan keheningan dari keputusan yang tak bisa ditawar.
Reksamitra memandangi pemuda di hadapannya.
Lama. Terlalu lama.
Hingga waktu seperti tertahan dalam napas.
Lalu ia menghela napas pelan.
> “Baik.”
“Maka aku tak akan menahanmu.”
Ia bangkit dari kursinya.
Bayangan tubuhnya — panjang, melebar, seolah tak hanya miliknya sendiri.
Bayangan seorang yang telah melihat terlalu banyak… dan kehilangan lebih dari cukup.
> “Tapi ingat ini, Arya Bima…”
Suara itu dalam. Tenang. Tapi mengandung sesuatu yang tak terucap.
> “Tak semua pengawasan adalah musuh.”
“Beberapa hanya ingin tahu… apakah kau bisa tetap berdiri ketika seluruh dunia mencoba menjatuhkanmu.”
Arya berjalan keluar dari ruang observasi.
Langit siang tampak biasa — biru pudar dengan awan tipis menggantung.
Tapi semua terasa lebih sunyi.
Seolah dunia tahu… sesuatu telah bergeser, walau tak terlihat.
Di depan tangga batu, Nadira berdiri.
Wajahnya tenang, seperti biasa. Tapi sorot matanya menunjukkan… bahwa ia memang sedang menunggu.
> “Jadi rumor itu benar?” tanyanya.
Arya menoleh. Satu alisnya terangkat ringan.
> “Rumor yang mana?”
> “Bahwa dunia tidak bisa mencatatmu.”
Diam sejenak.
Udara seperti menahan napas.
Lalu Arya menjawab, hanya satu kalimat:
> “Bahkan aku tidak mencatat diriku sendiri.”
---
Malam turun cepat.
Bukan malam yang gelap mencekam,
tapi malam yang… menolak bicara.
Langit menurunkan gerimis halus,
mengaburkan cahaya lentera roh di sepanjang lorong barak kelas buangan.
---
Di dalam kamar kecilnya, Arya Bima duduk bersila.
Tubuhnya nyaris tak bergerak,
tapi di balik ketenangan itu…
> ...pertempuran hebat sedang berlangsung.
Bukan pertempuran otot. Bukan juga duel teknik.
Tapi sesuatu yang lebih sunyi — dan lebih berbahaya:
perlawanan antara tubuh, sistem, dan jiwa yang menolak dikendalikan.
Tubuhnya terasa berat.
Tapi bukan karena lelah.
Bukan karena luka, bukan karena tenaga yang habis.
Melainkan… karena ketidakseimbangan.
Chi dalam tubuhnya tidak lagi mengalir di jalur meridian seperti biasa.
Ia berputar, bertabrakan, lalu berbelok… seperti arus liar yang menolak dibendung.
Sejak ia menggunakan Langkah Tak Terdaftar untuk ketiga kalinya,
sesuatu dalam dirinya mulai menuntut—keras.
---
> “Harga belum lunas.”
“Kekuatanmu melebihi izinmu.”
“Bayar.”
---
Suara itu terdengar jelas.
Bukan datang dari luar.
Bukan makhluk roh.
Bukan guru.
Bukan artefak.
> Tapi dari dalam jiwanya sendiri.
Dan bukan suara asing.
Suara itu telah berbisik sejak lama —
sejak malam di mana Sekte Keluarga Bima dibakar habis oleh orang-orang yang kini memegang jabatan suci.
---
Arya menarik napas. Dalam. Berat.
Udara masuk ke paru-paru, tapi tak cukup untuk mengenyahkan tekanan itu.
Ia duduk lebih tegak. Jemarinya bersila.
Chi-nya bergolak — seperti api hitam yang menari di ruang kosong.
> [Sistem: Ketidakseimbangan Jiwa – 63%]
[Resonansi Energi Asing – Aktif]
[Tingkat Pembayaran Tertunda: KRITIS]
---
> “Bayar dengan umur.”
“Bayar dengan nyeri.”
“Bayar dengan kenangan.”
---
Arya membuka mata.
Tatapannya gelap. Tapi bukan karena takut.
> “Baik.”
> “Ambil yang perlu. Tapi jangan salah mengira... bahwa aku akan menyerah.”
Arya membuka matanya perlahan.
Tetes peluh menuruni leher dan punggungnya,
menyatu dengan hawa dingin yang menusuk dari dalam.
Ia mengulurkan tangan ke arah batu hitam retak,
tersimpan rapi dalam kotak segel tiga lapis.
Batu itu bergetar. Pelan.
Seperti sedang menunggu keputusan… dan pengorbanan.
> “Harga kali ini... apa?” bisiknya.
---
[Sistem: Gunakan Pilihan.]
> ① Kehilangan rasa pada tangan kanan selama 3 hari
② Melupakan satu nama yang kau simpan
③ Menunda pemulihan luka organ dalam selama 7 hari
---
Diam.
Waktu berjalan. Nafas Arya tenang, tapi batinnya seperti medan badai.
Ia menatap tiga pilihan itu.
Masing-masing bukan sekadar penderitaan, tapi bagian dari hidupnya.
Dan akhirnya… tangannya bergerak.
Ia memilih opsi kedua.
[Konfirmasi: Nama akan dilupakan.]
[Memproses...]
Seketika—nyeri tajam menembus kepalanya.
Bukan seperti luka, tapi seperti… dicabut dari dasar jiwanya sendiri.
---
Arya terjatuh duduk.
Napasnya tercekat.
Tubuhnya kaku, seperti baru kehilangan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Ia menutup mata.
Mencoba mengingat.
Mencoba menangkap bayangan itu—yang biasa muncul begitu mudah.
Tapi sekarang…
Hampa.
---
Dan saat ia mencoba menyebutkan satu nama…
…yang selama ini selalu terlintas di ujung pikirannya,
…yang selalu ada saat malam sunyi,
…yang ia pikir tak akan pernah hilang—
Kini, bahkan wajahnya pun tak bisa dibayangkan.
> “Siapa…?”
Ia membuka buku kecilnya.
Halaman kosong menunggu — seperti malam itu sendiri.
Dan dengan tangan gemetar, ia mulai menulis:
> Malam ini, aku memilih untuk melupakan.
Tapi lebih buruk dari melupakan… adalah sadar bahwa kau pernah ingat,
…dan sekarang tidak lagi.
> Ini bukan sistem.
Ini… keputusasaan yang kubungkus dalam logika.
---
Di luar kamar, suara langkah pelan terdengar.
Hampir tak ada suara. Hanya gesekan ringan sandal di papan kayu.
Nadira.
Ia berdiri diam di balik tirai bambu yang tak sepenuhnya tertutup.
Ia tidak bicara. Tidak mengetuk.
Hanya… menyaksikan.
Menatap sosok Arya —
…yang duduk membungkuk di atas meja kecil,
…yang menggenggam dadanya pelan,
…bukan karena luka fisik, tapi karena kehilangan yang tak bisa dijelaskan oleh kata, atau teknik, atau sistem mana pun.
> “Apa yang dia hadapi… bukan sekadar sistem.”
“Dia... sedang memakan dirinya sendiri, sedikit demi sedikit, hanya untuk bisa tetap berjalan.”
---
Keesokan harinya.
Kelas pagi kembali berlangsung seperti biasa.
Arya duduk di bangku paling belakang.
Tempat yang sama. Postur yang sama.
Tapi kali ini… tatapannya kosong.
Bukan kosong karena ketidakpedulian,
melainkan seperti sesuatu di dalam dirinya telah hilang —
dan ia belum memutuskan apakah akan mencarinya kembali… atau membiarkannya pergi selamanya.
---
Dari sisi lain ruangan, Nadira memperhatikan diam-diam.
Biasanya, ia selalu melihat sesuatu mengelilingi Arya —
seperti bayangan gelap yang melindungi sekaligus mengancam.
Namun hari ini…
Yang ia lihat hanyalah seorang pemuda.
Bukan sosok misterius, bukan ancaman tersembunyi.
> Hanya seseorang yang berjalan sendirian…
dalam kehampaan yang bahkan tidak mengganggu siapa pun.