Hujan sore itu turun deras, mengguyur kaca jendela apartemen lantai 20 yang sudah berkabut. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi kopi dingin di meja kecil dekat balkon. Di sudut ruangan, Keysha berdiri diam memeluk tubuhnya sendiri, mengenakan gaun tidur sutra yang membalut tubuh mungilnya.
Ia tak berkedip menatap ke luar jendela, meski pikirannya sama sekali tak berada di sana.
Pintu apartemen terbuka tiba-tiba. Lelaki itu masuk. Setelan jasnya basah sebagian, rambutnya sedikit acak-acakan.
“Aku pulang,” katanya singkat.
Keysha tidak menjawab. Raka menutup pintu dan menggantung jasnya tanpa menatap wanita yang menjadi istrinya secara agama selama hampir delapan bulan.
“Kamu pulang jam sebelas malam, Ka.”
“Macet.” Jawabannya pendek.
“Kamu dari rumah Amanda?”
Pertanyaan itu keluar lirih, nyaris seperti gumaman.
Raka terdiam sejenak, lalu berjalan ke arah dapur. Ia membuka lemari, mengambil segelas air mineral, dan meneguknya pelan. “Iya. Dia sakit.”
“Oh…”
Keysha menunduk. Ia menggenggam ujung bajunya, meremasnya perlahan. “Aku tadi masak sop ayam kesukaanmu. Tapi sekarang udah dingin.”
Raka tak menjawab.
Keysha akhirnya melangkah pelan ke dapur. “Setidaknya kabarin, Ka. Aku nunggu dari magrib. Bahkan aku takut ke kamar mandi sendiri, nahan pipis kayak anak kecil.”
Raka mendengus, meletakkan gelasnya agak kasar ke meja.
“Keysha, aku baru pulang. Bisa nggak, tolong, jangan mulai drama sekarang?”
“Drama?” matanya berkaca. “Nunggu suami pulang itu drama?”
“Bukan soal itu. Tapi kamu tahu kondisi kita. Amanda mulai curiga. Kamu harusnya bisa ngerti posisi aku.”
Keysha mengangkat wajahnya, berani. “Kalau memang aku istrimu… kenapa aku yang harus bersembunyi terus? Kenapa bukan Amanda?”
“Karena Amanda istri sahku di mata semua orang!” bentak Raka, nadanya mulai naik.
Keysha terpaku. Dada sesaknya terasa seperti diikat. Mata Raka berubah—tak lagi hangat seperti dulu. Suara lembut yang dulu membuatnya luluh, kini berubah menjadi senjata yang melukai hati.
“Aku juga istrimu. Kita menikah, Ka. Bukan kumpul kebo!”
Raka melangkah cepat, menarik tangan Keysha kasar hingga tubuh perempuan itu terhentak ke dinding.
“Jangan bandingkan posisi kalian. Jangan paksa aku buat pilih!”
Matanya merah. Nafasnya memburu. Keysha menahan tangisnya, meski pipinya mulai panas. Ia tak suka diperlakukan seperti ini. Tapi entah kenapa... ia terlalu mencintai Raka untuk melawan sepenuhnya.
Tubuh Raka menempel pada tubuhnya. Tangan lelaki itu bergetar di pinggang Keysha.
“Aku capek…” bisik Raka, suaranya melembut tiba-tiba. “Jangan tinggalkan aku, Key…”
Keysha terdiam. Tangannya terangkat perlahan, memeluk pinggang pria itu. Hatinya perih, tapi ia tetap jatuh pada luka yang sama.
Raka mencium keningnya pelan, lalu turun ke bibirnya. Lembut. Dalam. Tapi terasa hampa.
Dan seperti malam-malam sebelumnya, Keysha kembali menyerahkan segalanya, berharap cinta bisa menjadi pengganti keadilan.
---
Pagi Hari
Keysha terbangun sendiri. Raka sudah pergi. Di samping tempat tidur, hanya ada bekas lipatan jas dan dasi yang belum sempat disetrika. Di meja makan, ada secarik kertas kecil bertuliskan:
> “Aku ada meeting pagi. Jangan keluar dulu. Amanda lagi curiga. Aku kabari malam.”
Tidak ada pelukan pagi. Tidak ada kecupan selamat tinggal. Tidak ada "aku sayang kamu".
Keysha menarik napas panjang. Ia berjalan ke dapur dan menuang teh yang semalam ia buat. Sudah dingin, pahit, dan hambar. Persis seperti hidupnya.
Ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi WhatsApp masuk. Nama itu muncul. Nama yang sudah lima tahun tak muncul di layar ponselnya.
[Dimas – 07.12 AM]
> "Aku balik ke Jakarta. Ada yang perlu kita omongin. Urgent."
Keysha menatap layar ponsel itu lama. Jantungnya berdetak kencang. Dimas... sahabat kecilnya, cinta pertamanya, pria yang pernah ia tolak demi memilih menikah dengan Raka.
Dan sekarang, saat hatinya nyaris hancur... Dimas kembali?