Keysha menatap layar ponselnya cukup lama. Pesan dari Dimas masih terpampang di sana, seolah menantang semua logika dan perasaan yang sedang kacau.
> "Aku balik ke Jakarta. Ada yang perlu kita omongin. Urgent."
Tangannya gemetar. Dimas. Nama itu bukan hanya masa lalu—ia adalah cerita yang belum selesai. Pria yang dulu mencintainya dengan sepenuh hati… dan yang ia tolak demi mengejar pernikahan ‘suci’ dengan Raka.
Tapi apakah yang ia jalani sekarang layak disebut suci? Atau hanya sekadar perjanjian yang penuh air mata?
Keysha tak membalas pesan itu. Ia hanya meletakkan ponsel di meja, lalu masuk ke kamar mandi. Menatap wajahnya sendiri di cermin, ia nyaris tak mengenali siapa dirinya kini.
Lingkar hitam di bawah mata, kulit pucat, bibir yang kering. Rambutnya berantakan. Seperti seorang wanita yang sedang hancur perlahan.
“Keysha…” gumamnya. “Apa kamu bahagia?”
---
Di sisi lain kota, Raka tengah duduk di ruang rapat perusahaan keluarga milik Amanda. Ia dikelilingi orang-orang penting, tapi pikirannya melayang.
Semalam... ia kehilangan kendali lagi. Ia marah, membentak, bahkan mencengkram lengan Keysha terlalu keras.
Tapi anehnya, Keysha tidak melawan. Dia menangis... lalu memeluknya.
Raka menutup mata sejenak. Ada perasaan bersalah, tapi lebih besar rasa takut kehilangan. Keysha adalah tempat ia pulang saat semua hal terasa sempit. Tapi ia juga terlalu pengecut untuk melepaskan Amanda yang menopang karier dan nama baik keluarganya.
Dua dunia. Dua cinta. Dua kehancuran yang ia bangun sendiri.
---
Sementara itu, Keysha memberanikan diri keluar apartemen. Ia memilih mengenakan hoodie dan masker, menyamarkan wajahnya. Hati-hati ia menyusuri trotoar, menembus dinginnya angin pagi menuju sebuah kafe kecil di pojok Kemang.
Dimas sudah menunggu. Duduk di pojok ruangan, mengenakan jaket kulit dan topi hitam, tapi wajahnya masih persis seperti yang ia ingat—hangat, tenang, dan… sedikit lebih dewasa.
Keysha menarik napas panjang sebelum mendekat. “Dimas?”
Dimas berdiri dan langsung memeluknya. Erat. Lama.
Keysha terkejut. Tapi anehnya, pelukan itu justru menenangkan. Tidak menuntut, tidak menekan. Hanya... menyembuhkan.
“Aku kangen banget,” kata Dimas pelan.
Keysha duduk, menatap mata pria itu. “Kenapa kamu tiba-tiba kembali?”
Dimas tersenyum tipis. “Karena aku dengar kamu menikah… dengan seseorang yang nggak pernah aku bayangkan akan nyakitin kamu.”
Keysha terdiam.
“Kamu tahu, Key… aku dulu pergi karena kamu memilih dia. Tapi bukan berarti aku berhenti peduli. Setiap hari aku berharap kamu bahagia. Tapi sekarang aku dengar kabar kamu disembunyikan… disakiti… dan tetap bertahan?”
Keysha menggigit bibir bawahnya. Air matanya mulai menggenang.
“Dimas… aku… aku mencintainya.”
“Dan kamu yakin dia mencintaimu dengan cara yang sehat?”
Keysha tak bisa menjawab.
Dimas menarik napas. “Key, aku nggak datang buat merusak rumah tangga kamu. Tapi aku juga nggak akan diam saat orang yang paling aku sayang dijadikan pelampiasan ego.”
Keysha menunduk. Kata-kata Dimas seperti tamparan pelan yang membuatnya sadar: dirinya bukan hanya menderita secara batin, tapi juga kehilangan martabat sebagai wanita.
---
Sore harinya, saat Keysha pulang, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya dingin.
Pintu apartemen sedikit terbuka. Ia masuk perlahan, dan suara perempuan terdengar dari dalam kamar.
Suara yang ia kenal.
Amanda.
Dan Raka.
“Aku tahu kamu nyembunyiin dia di sini, Ra! Aku bukan bodoh! Jangan anggap aku nggak punya harga diri!”
“Dia istriku juga, Man. Nikah sah. Bukan simpanan!”
Keysha berdiri di balik dinding, jantungnya berdetak cepat. Tangannya gemetar.
Lalu suara pecahan terdengar.
BRAK!
“Aku istrimu yang SAH! Aku yang bawa nama keluargamu! Kamu pikir wanita murahan itu pantas disamakan denganku?”
Keysha menutup mulut, menahan isak.
Tapi ketika ia hendak pergi, langkahnya menginjak vas bunga kecil. Suara "KRAK!" terdengar nyaring.
Amanda keluar dari kamar. Tatapan matanya penuh kebencian.
“Oh... ternyata kamu memang ada di sini.”
Raka langsung menahan Amanda. Tapi wanita itu sudah meluncur ke arah Keysha.
Tamparan itu mendarat. Kencang. Pedih.
“Dengar ya, kamu cuma selingan. Dan kamu akan tetap jadi bayangan selama aku masih bernapas!”
---
Keysha tak melawan. Ia hanya menatap Amanda, lalu menatap Raka.
Yang ia temukan dari pria itu… hanyalah diam.
Diam yang menyakitkan lebih dari tamparan itu sendiri.
---