Tamparan Amanda masih membekas. Kulit di pipi kanan Keysha terasa panas, nyut-nyutan, tapi anehnya… yang paling perih justru datang dari tatapan Raka. Tatapan kosong. Tak memihak. Tak membela.
Ia hanya diam. Membiarkan dua wanita yang ia nikahi saling menyakiti.
Amanda berdiri di ambang pintu, masih dengan napas terengah. Wanita itu mengenakan blouse hitam dan celana panjang ketat, wajah cantiknya kini berubah penuh amarah.
“Kau pikir kau siapa, hah?” katanya tajam. “Main belakang, kawin siri, lalu menempati apartemen ini seolah kau ratu? Dasar pelakor bodoh!”
Keysha menggenggam ujung bajunya. Ia menunduk. “Aku menikah secara sah…”
“Sah di atas kertas yang nggak diakui negara! Sah di mata lelaki pengecut!” Amanda menunjuk wajah Raka. “Kalau kau laki-laki, kenapa nggak dari awal bilang sama aku?!”
Raka menarik napas, lalu akhirnya berkata, “Karena kalau aku bilang… kamu nggak akan biarkan aku tenang.”
Amanda tertawa sinis. “Tenang? Kamu pikir aku pernah tenang jadi istrimu? Aku cuma boneka buat keluargamu, Ra! Dan sekarang… kamu tambah perempuan kampung buat dijadikan pelampiasan?!”
Keysha menggigit bibir. Darah di hatinya berdesir. Ia bukan perempuan kampung. Ia kuliah, bekerja, dan punya martabat. Tapi sekarang... semua itu terasa dirampas.
Amanda mendekat, menyentakkan bahu Keysha.
“Dengar ya baik-baik, kamu cuma akan tetap jadi istri bayangan. Tak akan pernah kuizinkan kamu berdiri sejajar denganku! Dan Raka… kalau kau tetap mempertahankan dia, aku akan bicara pada papamu. Lihat siapa yang akan tetap punya nama di surat warisan.”
Setelah kata-kata itu, Amanda keluar dengan langkah marah, membanting pintu dengan keras hingga kunci pintunya jatuh ke lantai.
---
Keysha terduduk di lantai. Matanya berkaca-kaca. Pundaknya bergetar. Tapi yang paling menyakitkan adalah... Raka masih belum bicara sepatah kata pun.
“Kenapa kamu diam?” lirihnya.
Raka berdiri kaku. “Aku nggak mau semua ini makin rumit, Key.”
“Makin rumit?” Keysha menatapnya dengan mata yang basah. “Kamu pikir aku main-main waktu bilang mau jadi istri kamu? Aku ninggalin semua, ninggalin keluarga, kerja, nama baik… demi kamu!”
Raka menunduk.
“Aku capek, Key. Masalah ini bukan sesimpel kamu dan aku. Ini soal warisan, bisnis keluarga, kehormatan. Kalau Amanda buka suara, nama keluargaku bisa hancur.”
Keysha tertawa pahit. “Jadi aku yang harus hancur demi nama keluargamu?”
Suara Keysha naik. Untuk pertama kalinya, ia berani melawan. Ia bukan lagi gadis lembut yang pasrah diperlakukan seperti bayangan.
“Kamu tahu yang lebih menyakitkan dari ditampar istri pertama kamu, Ka?”
“Apa?”
“Didiamkan suami sendiri, seolah aku ini hanya… perabotan yang tak layak dibela.”
Raka mendekat, mencoba menyentuhnya. Tapi Keysha menepis tangannya.
“Aku mencintaimu, Ra. Tapi aku juga punya harga diri.”
Raka menatapnya dalam. “Aku butuh kamu. Jangan pergi.”
Keysha berdiri. “Cinta tanpa pembelaan itu hanya nafsu yang dibungkus kelembutan, Ra.”
Dan dengan langkah pelan, ia berjalan masuk ke kamar, membiarkan Raka berdiri sendiri di ruang tamu—dikelilingi kebohongan dan keegoisannya sendiri.
---
Malam harinya, Keysha menerima pesan lagi dari Dimas.
> Dimas [21.33]
“Aku nggak tahu apa yang terjadi… tapi aku di depan apartemen kamu sekarang. Bisa ketemu?”
Keysha menggigit bibir. Tubuhnya masih gemetar. Wajahnya belum pulih. Tapi entah mengapa… ia membuka pintu.
Dan di sana, Dimas berdiri. Membawa dua bungkus makanan hangat dan satu termos kecil.
“Teh madu dan sop jahe,” katanya, tersenyum lembut. “Obat buat hati dan pipi yang memar.”
Keysha akhirnya menangis. Bukan karena sakit… tapi karena ada seseorang yang masih peduli.
Bukan karena ia cantik. Bukan karena ia muda. Tapi karena dia masih manusia.
Dimas mendekat, mengusap pipinya perlahan. Tak berkata-kata. Tapi dari tatapannya, Keysha tahu:
Ada cinta yang ingin menyembuhkan… bukan menguasai.
---