Keysha belum pernah merasa selega mala
Bukan karena masalahnya hilang. Bukan karena luka di pipinya telah sembuh. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat sebagai perempuan utuh, bukan sekadar istri kedua yang harus diam, tunduk, dan disembunyikan.
Dimas duduk di sofa ruang tengah apartemen dengan tenang. Ia tidak banyak bicara, hanya menatap Keysha penuh perhatian. Teh madu yang ia bawa masih mengepul, dan sop jahe buatan tangannya memberi kehangatan yang jauh lebih menenangkan dibanding pelukan penuh luka dari Raka.
Keysha melirik pria di depannya. Wajah Dimas terlihat lebih matang sekarang. Dagu yang sedikit berjenggot, mata tajam tapi penuh ketulusan, dan senyum yang tak pernah berubah—masih sama seperti lelaki yang dulu selalu menemaninya belajar saat kuliah, sebelum ia memilih jalan hidup yang berbeda.
"Kamu tahu kan, kamu bisa cerita apa aja ke aku," ucap Dimas pelan.
Keysha menarik napas. "Aku bingung harus mulai dari mana."
Dimas tersenyum lembut. "Mulai dari apa yang bikin kamu luka."
Keysha menunduk, menahan sesak yang tiba-tiba datang. Tapi kali ini, dia tidak menahannya. Ia menangis. Menangis dalam diam. Air matanya mengalir begitu saja, seakan ada bendungan di dadanya yang pecah.
"Aku mencintainya, Dim... Tapi cinta yang nggak pernah cukup untuk bikin aku dianggap setara. Aku selalu kalah dari Amanda. Aku selalu diam, karena kupikir mungkin dia akan memilihku pada akhirnya..."
Dimas mendekat, meraih tangannya. Menggenggam erat. “Kalau kamu harus kalah untuk menang, mungkin itu bukan cinta... tapi pengorbanan yang disalahgunakan.”
Keysha terdiam. Kata-kata itu menyentaknya.
“Dia bukan orang jahat, Dim… Tapi kadang, dia berubah. Kasar. Dingin. Aku nggak tahu kapan dia mencintaiku… dan kapan aku hanya jadi pelampiasan karena rumah tangganya yang rusak.”
Dimas tak berkata apa-apa. Ia hanya mengusap punggung tangan Keysha dengan ibu jarinya.
“Pernikahan kami sah. Tapi hanya aku yang hidup di dalamnya. Dia tinggal di dua dunia, dan aku... hidup dalam bayangan.”
---
Sementara itu, di sebuah rumah mewah di kawasan elite Jakarta, Amanda duduk di ruang kerja, menatap layar laptopnya. Matanya tajam. Tak ada lagi air mata.
“Dia lemah,” gumamnya. “Tapi aku tidak.”
Ia membuka folder bernama "Dokumen Perjanjian Warisan"—surat yang akan menentukan siapa yang akan tetap berdiri di samping Raka jika semuanya terbongkar. Amanda tidak berniat melepaskan Raka. Bukan karena cinta, tapi karena status dan kekuasaan.
“Aku akan buat dia kembali tunduk padaku,” ujarnya pada dirinya sendiri. “Dan wanita itu… akan aku hancurkan pelan-pelan.”
---
Pagi harinya, Keysha terbangun dengan kepala yang sedikit ringan. Ia merasa aneh… karena malam itu, ia bisa tidur pulas tanpa pelukan Raka. Tanpa bisikan ‘sayang’ palsu. Tapi justru tidur terlelap dalam rasa tenang yang datang dari Dimas yang tertidur di sofa ruang tamu.
Ia berjalan pelan, menyelimuti Dimas yang masih terpejam.
“Terima kasih,” bisiknya. “Sudah hadir saat semua orang pergi.”
Tapi damai itu tak berlangsung lama. Sekitar pukul sembilan pagi, pintu apartemen digedor dari luar. Keras. Bertubi-tubi.
BRUK! BRUK! BRUK!
Keysha terlonjak. Dimas langsung terbangun dan refleks berdiri.
“RAKA!” suara pria itu menggema di luar pintu. “BUKA PINTU, KEYSHA!”
Keysha panik. Tangannya gemetar.
“Tenang,” ujar Dimas, menahan bahunya. “Kalau kamu takut, aku yang hadapi.”
Tapi sebelum Keysha bisa menjawab, pintu sudah terbuka dari luar—Raka memiliki kunci duplikat.
Lelaki itu masuk dengan mata merah, dasi yang belum sempurna diikat, dan wajah yang diliputi emosi meledak.
“Apa ini?! Kamu bawa laki-laki ke sini?! Di rumah yang aku bayar?!”
“Ra, aku cuma—”
BRAK! Raka membanting gelas di meja hingga pecah. Dimas langsung berdiri di depan Keysha, menahan tubuhnya.
“Jangan sentuh dia!” seru Dimas tajam.
“Siapa lo?!”
“Orang yang lebih menghargai dia daripada kamu, suaminya sendiri!”
Suasana memanas. Raka maju, tapi Dimas tetap berdiri tegas.
“Kalau kamu pukul aku, aku nggak akan diam. Tapi yang paling penting: aku tahu kamu menyakitinya. Fisik dan batin. Dan kalau kamu masih punya harga diri, kamu harus lihat perempuan ini bukan sebagai pelampiasan, tapi sebagai manusia.”
Raka menatap Keysha. Napasnya memburu. Tapi saat melihat luka di pipi wanita itu… ia terdiam.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa kalah. Bukan karena Dimas. Tapi karena dirinya sendiri.
Tanpa berkata apa-apa, ia pergi. Meninggalkan keduanya dalam hening.
---
Setelah pintu tertutup, Keysha jatuh terduduk. Tangisnya pecah.
Dimas memeluknya. Pelan. Hangat. Aman.
“Kalau kamu mau pergi dari semua ini… aku akan ikut,” bisik Dimas. “Aku akan jadi tempatmu pulang, tanpa luka.”
Dan di pelukannya, untuk pertama kali, Keysha merasa seperti wanita seutuhnya.
Bukan istri kedua.
Bukan perempuan simpanan.
Tapi… manusia yang layak dicintai.