Bab 5

Keysha memandangi langit pagi dari balkon apartemen. Tangannya menggenggam secangkir teh yang mulai mendingin. Angin berhembus lembut, tapi pikirannya berkecamuk keras. Semalam, ia dipeluk oleh pria yang dulu ia tinggalkan. Hari ini, ia ditinggalkan oleh pria yang dulu ia perjuangkan mati-matian.

Dimas sudah pulang sejak subuh, setelah memastikan Keysha dalam keadaan aman. Ia tak menyentuh, tak meminta apa-apa, hanya menjaga. Dan itulah yang membuat Keysha nyaris menangis lebih dalam.

Ia menarik napas panjang, mencoba menyusun kekuatan yang sempat tercerai-berai.

Ponselnya bergetar.

[Raka — 09.12 AM]

> “Aku minta maaf. Aku hilang kendali. Aku cuma... nggak sanggup bayangin kamu sama laki-laki lain.”

Keysha memandangi pesan itu lama.

Tidak ada tanya: “Apa kamu baik-baik saja?”

Tidak ada permintaan: “Apa pipimu masih sakit?”

Hanya... cemburu.

Raka memang tidak pernah suka kehilangan. Tapi bukan berarti ia tahu cara menjaga.

Keysha membalas singkat.

> “Aku butuh waktu sendiri.”

Pesan itu dibaca, tapi tidak dibalas.

---

Di sisi lain kota, Raka meremas setir mobilnya kuat-kuat. Wajahnya tegang, matanya merah. Ia merasa kalah. Bukan oleh Dimas—tapi oleh kenyataan bahwa Keysha tak lagi selemah dulu.

Ia pernah berpikir Keysha tak akan pernah berani pergi. Ia pikir, wanita itu terlalu mencintainya untuk membantah. Tapi semalam… Keysha membiarkan lelaki lain memeluknya. Dan lebih parah lagi—ia tidak menghentikannya.

“Keysha milikku,” gumamnya, penuh emosi. “Tidak ada satu lelaki pun yang bisa merebut dia dariku. Bahkan cinta lamanya.”

Raka meraih ponsel dan menghubungi seseorang.

“Amanda... aku ingin bicara. Kita ketemuan sore ini.”

---

Sore itu, Amanda sudah menunggu di sebuah restoran mahal. Ia datang dengan setelan dress merah anggur, makeup sempurna, dan senyum yang penuh racun.

“Akhirnya sadar siapa yang paling penting, ya?” katanya sambil menyilangkan kaki.

“Aku nggak datang untuk itu,” ucap Raka cepat. “Aku ingin kita buat perjanjian.”

Amanda menatapnya curiga.

“Aku akan tetap bersamamu, secara hukum dan sosial. Kita akan tetap tampil sebagai pasangan ideal di publik. Tapi jangan ganggu Keysha lagi.”

Amanda menyipitkan mata. “Kau masih membela dia?”

“Dia istri sahku. Dan aku punya tanggung jawab.”

Amanda tertawa kecil, sinis. “Oke, kita lihat berapa lama kau bisa tahan antara dua wanita. Karena kalau aku tahu kau lebih pilih dia daripada aku… aku pastikan semua yang kamu miliki hancur. Termasuk perusahaan ayahku yang kau pegang sekarang.”

Raka terdiam. Diam yang penuh tekanan.

Amanda menyender santai. “Dan satu lagi… aku juga punya sesuatu tentang Keysha.”

Raka menoleh cepat. “Apa maksudmu?”

Amanda menyeringai. “Tunggu saja.”

---

Di apartemen, Keysha menerima email misterius dari pengirim tak dikenal. Saat ia buka, matanya membelalak.

Foto-foto dirinya bersama Dimas—di kafe, di balkon apartemen, bahkan saat Dimas memeluknya—semua terekam. Diambil dari sudut tersembunyi.

Napas Keysha tercekat. Tangannya gemetar.

“Ini... ancaman?” gumamnya.

Tak lama, sebuah pesan masuk lagi.

[Pengirim Tak Dikenal]

> “Kau wanita murah. Hanya pelengkap dalam pernikahan yang sah di atas dusta. Siap jika semua ini kubuka ke media?”

Keysha memegang dadanya. Sakit. Tapi tidak sama seperti dulu.

Kali ini... ia tidak akan lari.

---

Malam itu, Dimas menelepon. Suaranya terdengar khawatir.

“Key... ada seseorang yang menyewa detektif buat ngawasin kamu. Aku dapat info itu dari kenalanku. Mungkin orang itu dekat dengan Raka… atau istrinya.”

Keysha menarik napas panjang. “Berarti mereka ingin menghancurkan aku secara perlahan.”

“Jangan takut. Aku di sini. Kita bisa lapor polisi.”

Keysha terdiam. Lalu berkata, “Aku nggak akan lari lagi, Dim.”

“Terus kamu mau apa?”

“Melawan.”

Untuk pertama kalinya, suara Keysha tidak bergetar. Matanya tidak berkaca. Ia berdiri di depan kaca, menatap bayangannya sendiri yang mulai berubah.

“Aku akan lawan mereka... dengan harga diriku. Bukan sebagai istri kedua. Tapi sebagai perempuan yang berhak bahagia.”

---

Dan malam itu, ia membuka laptop. Menulis semua kisahnya. Tentang pernikahan rahasia. Tentang luka. Tentang tamparan yang menyakitkan. Tentang diam yang lebih menyiksa dari bentakan.

Ia menulis bukan untuk membalas. Tapi untuk menyuarakan dirinya yang selama ini dibungkam oleh cinta dan ketakutan.

Di akhir halaman pertama, ia menulis satu kalimat:

> “Jika mencintai membuatku kehilangan jati diri, maka aku akan mencintai diriku sendiri lebih dulu.”