Keysha duduk di depan laptopnya sepanjang malam. Jari-jarinya menari pelan di atas keyboard, tapi pikirannya bergerak cepat. Setiap kata yang ditulis bukan sekadar curahan hati—tapi bagian dari penyembuhan luka yang selama ini ia bungkam.
Ia menulis dengan penuh air mata, tapi kali ini bukan karena kelemahan. Air mata itu hadir sebagai bukti: ia masih punya hati yang hidup, walau dicabik berkali-kali oleh janji yang tak ditepati.
---
“Aku menikah karena cinta… tapi ternyata, aku hanya diberi tempat, bukan kedudukan.”
“Aku mencintainya sepenuh hati, bahkan ketika ia hanya setengah hadir dalam hidupku.”
“Kini aku sadar… yang harus kuselamatkan bukan pernikahan. Tapi diriku sendiri.”
---
Pukul tiga dini hari, ia mengakhiri tulisan panjang itu dan menyimpannya dalam file berjudul: “Air Mata Istri Kedua.”
---
Pagi harinya, Dimas datang dengan membawa dua gelas kopi.
“Pagi,” sapanya lembut.
Keysha tersenyum. Senyuman kecil yang terasa lebih jujur dari senyuman manis palsu yang biasa ia buat di hadapan Raka.
“Kopi dingin?” tanya Dimas.
“Dingin kayak hubungan rumah tangga aku?” candanya pelan.
Dimas terkekeh, lalu duduk di sebelahnya.
“Aku udah mutusin satu hal, Dim,” ujar Keysha, menatap lurus ke arah jendela yang menghadap gedung-gedung tinggi.
“Apa itu?”
Keysha menoleh. “Aku mau pergi dari pernikahan ini. Tapi bukan sebagai korban.”
Dimas menatapnya dalam. “Kamu yakin?”
“Aku udah capek jadi bayangan. Capek menunggu seseorang yang bahkan nggak bisa bicara tegas kalau aku ini penting atau tidak.”
---
Di tempat lain, Amanda tak tinggal diam.
Ia menghubungi seseorang—seorang wartawan gosip yang haus sensasi.
“Aku punya foto-foto istri simpanan yang bisa bikin nama keluarga besar jatuh,” katanya dingin. “Tapi tunggu aba-aba dari aku.”
Setelah menutup telepon, Amanda tersenyum puas. Ia pikir ia akan menang.
Tapi tak ia sangka, senjata yang disiapkannya ternyata sedang disiapkan pula oleh lawan yang selama ini ia anggap lemah.
---
Keysha duduk berhadapan dengan seorang pengacara muda yang direkomendasikan Dimas.
“Aku ingin perceraian yang tenang,” katanya. “Tanpa menuntut harta, tanpa gugat apa pun. Aku cuma ingin bebas dari pernikahan yang membunuh diriku pelan-pelan.”
Pengacara itu mengangguk pelan. “Kamu siap kalau ini akan jadi skandal?”
Keysha tersenyum. “Aku sudah jadi skandal sejak pertama kali jadi istri kedua, Mas.”
---
Malamnya, Raka datang tanpa kabar.
Ia tampak lebih tenang. Tapi matanya menyimpan emosi yang belum terselesaikan.
“Boleh bicara?” katanya saat Keysha membukakan pintu.
Keysha mempersilakannya masuk. Tidak ada pelukan. Tidak ada air mata.
Raka duduk di sofa, sementara Keysha tetap berdiri.
“Aku minta maaf soal kemarin,” ucap Raka, suaranya pelan.
“Sudah biasa,” jawab Keysha datar.
Raka mendongak. “Aku serius. Aku bingung. Aku takut kehilangan kamu. Tapi hidupku rumit, Key…”
Keysha mengangguk. “Dan aku bukan solusi dari kerumitan itu, kan?”
Raka terdiam.
Keysha mendekat. Duduk berhadapan dengannya. Mata mereka bertemu, tapi Keysha sudah bukan wanita yang dulu.
“Aku pernah berpikir kamu rumahku. Tapi sekarang aku sadar… kamu cuma tempat singgah sementara yang membuatku kehilangan arah.”
“Key…”
“Aku akan pergi, Ra.”
Wajah Raka tegang. “Kamu mau cerai?”
Keysha menunduk. “Bukan karena aku nggak cinta… tapi karena aku lebih cinta pada diriku sendiri sekarang.”
Raka berdiri. “Aku nggak bisa kehilangan kamu, Key.”
“Lalu kenapa kamu biarkan aku terus merasa seperti perempuan yang disembunyikan?” Suaranya naik sedikit. “Kenapa kamu biarkan Amanda mempermalukan aku? Kenapa kamu diam saat aku ditampar di depanmu?!”
Kali ini, Raka tidak bisa menjawab.
Karena ia tahu, semua itu benar.
---
Setelah Raka pergi, Keysha duduk kembali di hadapan laptopnya. Ia membuka file-nya, mengedit halaman terakhir.
> “Aku akan pergi. Bukan untuk melarikan diri. Tapi untuk menghidupkan diriku sendiri kembali. Karena jadi istri kedua bukan dosa… tapi membiarkan diri dilukai tanpa melawan, itulah kesalahan.”