Langkah kaki Keysha menyusuri koridor kantor hukum pagi itu terasa ringan, meski jantungnya berdetak tak karuan. Setiap langkah adalah keberanian yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit selama delapan bulan terakhir.
Delapan bulan menjadi istri kedua. Delapan bulan hidup dalam bayang-bayang. Delapan bulan penuh luka… yang kini ingin ia akhiri, dengan satu keputusan besar: bercerai.
Ia duduk di depan meja pengacara, menyerahkan map berisi salinan buku nikah siri, surat pernyataan, dan bukti-bukti perlakuan kasar secara verbal dan emosional dari Raka. Tak ada air mata, tak ada keraguan.
"Aku nggak mau uangnya, hartanya, apalagi namanya," ucap Keysha pelan. “Aku cuma ingin… bebas.”
Pengacara itu mengangguk. “Kami akan ajukan permohonan pemutusan nikah di Pengadilan Agama. Walaupun nikah siri, kita bisa ajukan ‘itsbat’ sekaligus perceraian. Ini bisa jadi kasus yang cukup kuat.”
Keysha menatap map yang baru saja ia tanda tangani. Rasanya seperti menutup pintu yang selama ini terbuka… hanya untuk disakiti.
---
Siang hari itu, Amanda menerima salinan surat pengajuan perkara. Namanya tercantum dalam keterangan pihak ketiga.
Alisnya terangkat. Matanya membaca lembar demi lembar, dan akhirnya ia tertawa.
“Berani juga perempuan itu…” gumamnya. “Tapi kau pikir setelah cerai, kau akan bebas begitu saja dari hidupku, Keysha?”
Ia meraih ponsel, menghubungi seseorang. “Aku mau kau cari semua informasi tentang perempuan bernama Keysha Ayunda. Masa lalu, keluarga, bahkan kucing peliharaannya pun aku mau tahu.”
“Baik, Bu Amanda.”
---
Sore itu, Raka sedang duduk di kantor ketika sekretarisnya masuk dan menyerahkan amplop. Surat dari Pengadilan Agama. Saat membukanya dan melihat isi surat itu, tangan Raka gemetar.
Keysha benar-benar mengajukan perceraian.
Untuk pertama kalinya sejak menikahi Keysha, Raka merasa kehilangan sesuatu yang nyata.
Bukan karena status, bukan karena kenyamanan. Tapi karena ia menyadari… selama ini Keysha adalah satu-satunya orang yang mencintainya tanpa syarat.
Dan kini, perempuan itu memilih melepaskan dirinya sendiri dari keterikatan yang menyakitkan.
Ia menghubungi Keysha, tapi ponsel wanita itu tak aktif.
Ia mengirim pesan:
> Raka [17.02]
“Tolong jangan lakukan ini. Kita bisa bicara. Aku akan benahi semuanya.”
Tapi tak ada balasan.
Dan untuk pertama kalinya... diam Keysha lebih menakutkan dari kata-kata marah.
---
Di sisi lain kota, Dimas mengajak Keysha ke sebuah tempat sederhana—bangunan bekas rumah tua yang sudah direnovasi menjadi galeri kecil. Ada lukisan, ada puisi tergantung di dinding, dan aroma cat akrilik yang khas memenuhi ruangan.
“Aku baru buka ini bulan lalu,” ujar Dimas, tersenyum bangga. “Namanya Galeri Luka.”
Keysha mengernyit. “Kenapa namanya… luka?”
“Karena semua orang punya luka. Tapi aku percaya… kalau luka dituang dalam karya, ia bisa menyembuhkan.”
Keysha berjalan menyusuri ruangan, membaca satu per satu puisi yang dipajang. Salah satunya membuatnya terdiam.
> “Kau tinggalkan aku tanpa pernah benar-benar datang.
Lalu marah saat aku memilih berdiri tanpa menunggu.”
Ia menoleh ke Dimas. “Ini puisi kamu?”
Dimas mengangguk pelan. “Buat kamu. Dulu. Saat kamu pergi.”
Keysha terdiam. Hatinya hangat dan getir dalam waktu bersamaan.
Dimas mendekat, tapi tidak menyentuh. Hanya berdiri cukup dekat agar Keysha tahu—ia tak sendirian.
“Key… aku tahu kamu sedang dalam masa sulit. Tapi kalau nanti semua ini selesai… izinkan aku jadi tempat pulangmu. Tanpa luka. Tanpa bayangan.”
Keysha menatap matanya. Tak menjawab. Tapi senyumnya cukup memberi harapan.
---
Malam itu, Amanda duduk di kamar sendirian. Wajahnya terlihat kalut. Ia menatap selembar foto Keysha bersama Dimas di galeri.
“Apa yang dilihat semua orang dari perempuan itu?” gumamnya sinis.
Ia membuka laptop, mengetik sesuatu di browser:
“Cara menjatuhkan reputasi istri kedua secara hukum.”
Amanda mungkin menang secara status. Tapi ia tahu… Keysha kini bukan wanita yang sama.
Perempuan itu mulai mengambil kendali.
Dan ia… mulai kehilangan kekuasaan.