Keysha baru saja keluar dari kantor penerbitan kecil yang tertarik memuat tulisan-tulisannya dalam bentuk kumpulan kisah. Blog anonim yang ia tulis dengan nama samaran Istri Bayangan telah dibaca ribuan orang hanya dalam dua minggu. Cerita-ceritanya menyentuh, jujur, dan menyakitkan—karena memang ditulis dari luka yang nyata.
Ia tersenyum kecil sambil menatap langit Jakarta yang mulai jingga.
Untuk pertama kalinya, Keysha merasa... ia benar-benar hidup.
Namun, saat ia sampai di apartemennya, seorang pria bersetelan gelap sudah berdiri di depan pintu. Bukan Dimas. Bukan kurir.
Raka.
Wajahnya tegang, rahangnya mengeras, dan matanya… dingin. Bukan tatapan cinta. Tapi tatapan milik pria yang terluka… dan siap menyakiti balik.
"Masuk," ucapnya singkat.
Keysha berdiri mematung. "Aku nggak mau bicara kalau kamu—"
BRAK!
Raka mendorong pintu lebih dulu. Langkah kakinya berat dan penuh tekanan. Ia masuk tanpa diundang.
“Kamu pikir kamu bisa kabur dari aku begitu aja, ha?” suaranya rendah tapi tajam.
Keysha mundur pelan. “Aku cuma mau pisah baik-baik, Ra. Kita selesai...”
“Selesai?” Raka tertawa miring. “Nggak ada yang selesai sebelum aku bilang selesai!”
Matanya liar. Bahunya menegang. Aura tubuhnya berubah menyeramkan. Keysha tak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya—bahkan saat bertengkar dengan Amanda pun tidak.
“Kamu tahu apa yang orang bilang di kantor sekarang? Bahwa istri keduaku selingkuh sama mantan pacarnya! Bahwa perempuan yang aku nikahi diam-diam sekarang jual cerita rumah tanggaku ke blog!”
“Aku nggak pernah nyebut nama kamu, Ra!” suara Keysha bergetar. “Aku cuma—”
“Diem!” bentaknya. “Kamu pikir kamu bisa malu-maluin aku gitu aja?!”
Tangan Raka mencengkeram lengan Keysha. Kuat. Kasar.
“Aku udah rela nikahin kamu. Sembunyiin kamu dari semua orang. Tapi kamu malah ngajak cerai, nulis cerita, dan bawa-bawa laki-laki lain ke hidup kamu?!”
Keysha mendorongnya sekuat tenaga. “Kamu nyembunyiin aku bukan karena melindungi. Tapi karena malu!”
Raka mendekat lagi, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Keysha.
“Aku cinta kamu, Key. Tapi kamu bikin aku gila.”
“Itu bukan cinta!” teriak Keysha. “Itu obsesi!”
BRAK!
Tangan Raka meninju lemari di samping mereka. Kayunya retak. Keysha menjerit pelan, ketakutan.
Beberapa detik kemudian, ponselnya berdering. Nama di layar: Dimas.
Raka melihatnya. Ia meraih ponsel itu dan melemparkannya ke lantai, hingga layar pecah.
“Mulai sekarang, kamu berhenti ketemu dia. Kamu denger?! Kalau kamu masih mau hidup tenang, jauhi dia!”
Keysha memelototinya. Air matanya mulai mengalir.
“Kenapa, Ra…? Kenapa kamu berubah sejauh ini?”
Raka menunduk, napasnya memburu. Tapi kemudian, ia kembali menatap Keysha dengan mata merah.
“Aku nggak berubah. Aku cuma nggak mau kehilangan kamu.”
Keysha terisak. Tapi kali ini bukan karena takut…
Melainkan karena sadar: Cinta yang tak membebaskan, adalah cinta yang menyiksa.
---
Setelah Raka pergi, meninggalkan ancaman dan jejak amarah di apartemen, Keysha mengunci pintu dan menangis di sudut kamar. Tubuhnya gemetar. Tapi di sela-sela ketakutan, ia tahu satu hal:
Ia tak boleh kembali.
Tak peduli seberapa sering Raka bilang cinta. Kalau cinta itu memukul, membentak, membatasi, dan mencengkeram… maka itu bukan cinta. Itu penjara.
---
Dimas datang malam harinya, setelah Keysha berhasil menghubunginya dengan ponsel cadangan.
Ia langsung memeluk Keysha saat melihat wajahnya yang sembab dan memar kecil di pergelangan tangan.
“Aku minta maaf. Aku nggak ada di sana.”
“Ini bukan salah kamu, Dim. Ini… luka yang aku biarkan terus tumbuh karena aku terlalu cinta.”
Dimas menatapnya lekat-lekat. “Kita pergi dari sini, Key.”
“Maksud kamu?”
“Keluar dari Jakarta. Dari semuanya. Kita mulai dari awal. Di kota yang nggak ada kenangan. Nggak ada ancaman. Nggak ada Raka atau Amanda.”
Keysha menatapnya, ragu. “Kalau aku pergi, aku kalah.”
“Kalau kamu tinggal… kamu bisa hancur.”
Dan untuk pertama kalinya, Keysha harus memilih:
Melawan di tempat yang membunuhnya perlahan… atau menyelamatkan diri sebelum semuanya terlambat.
---