Keysha duduk di depan koper kosong, menatap pakaian yang tergantung di lemari dengan perasaan asing. Semua baju itu dulu dibeli oleh Raka—dengan label mahal, warna pilihan, bahkan parfum yang harus disesuaikan dengan selera suaminya.
Dan hari ini, untuk pertama kalinya, Keysha memilih bajunya sendiri. Untuk pergi. Bukan untuk dinanti.
“Cuma yang perlu aja,” pesan Dimas lewat pesan suara.
“Aku udah siapin tempat. Aman. Jauh dari Jakarta. Dekat pantai. Nggak ada siapa-siapa.”
Keysha mengepak pelan. Satu kemeja putih favoritnya, satu jilbab pastel, dan buku catatan tempat ia menulis seluruh cerita luka. Sisa barang akan ia tinggalkan.
Bukan karena tak penting—tapi karena hidupnya yang baru tak membutuhkan masa lalu sebagai beban.
---
Sementara itu, di kediaman Raka yang megah, Amanda duduk sambil menyesap anggur, matanya menatap layar laptop yang menampilkan tulisan blog viral Istri Bayangan.
“Dia makin populer,” gumamnya sinis. “Perempuan murahan dengan naskah penuh air mata sok suci.”
Di sebelahnya, seorang pria muda bersetelan hitam berdiri tegap.
“Sebar artikel ini malam ini juga,” ucap Amanda dingin. “Kita bikin dia dikenal, tapi dengan nama dan aib.”
“Baik, Bu Amanda. Semua data sudah kami dapatkan.”
Amanda menyeringai. “Mari kita lihat berapa banyak orang masih peduli pada istri kedua… kalau rahasianya dibuka satu per satu.”
---
Raka memutar ulang video CCTV apartemen milik pria kenalannya. Ia melihat dengan mata merah—detik saat Dimas datang, saat Keysha menangis, saat mereka duduk berdua di balkon. Tak ada pelukan. Tak ada sentuhan. Tapi amarah Raka membuncah.
“Dia lebih pilih lelaki itu?” gumamnya.
Ia meraih ponsel dan mengetik sesuatu, lalu menghapus. Mengetik lagi. Menghapus lagi.
Akhirnya, ia hanya menulis:
> Raka [20.41]
“Kamu pikir kamu bisa lari dari aku? Kita belum selesai, Keysha. Kita tidak akan pernah selesai.”
---
Malamnya, Keysha duduk di halte kecil yang sepi, ditemani angin lembut dan suara detak jantung yang makin cepat. Dimas datang beberapa menit kemudian, membawa mobil sederhana dan satu jaket tebal.
“Maaf nunggu lama,” katanya pelan.
Keysha tersenyum tipis. “Nggak apa. Aku bahkan nunggu delapan bulan untuk hari ini.”
Dimas membuka pintu mobil. “Kamu yakin nggak mau pamit sama siapa pun?”
Keysha menggeleng. “Pamit buat apa? Mereka nggak pernah menganggap aku ada.”
Dimas mengangguk pelan. Saat mobil mulai melaju menjauhi hiruk-pikuk Jakarta, Keysha menatap ke luar jendela. Hujan turun perlahan, seperti mengguyur luka-luka yang ia tinggalkan di belakang.
---
Pagi harinya, berita menyebar:
> “Viral: Istri Kedua Pengusaha Jakarta Diduga Menjalin Hubungan Gelap dengan Pria Lain”
– dilengkapi foto-foto dan potongan tulisan blog pribadi
Netizen geger. Komentar berhamburan.
> “Dasar pelakor sok suci.”
“Mau jadi istri orang, eh masih selingkuh.”
“Drama banget hidupnya.”
“Salut sih nulisnya bagus, tapi ya tetep pelakor.”
Keysha yang baru sampai di rumah pantai kecil milik teman Dimas langsung melihat berita itu lewat ponselnya. Tangannya gemetar. Matanya menatap kosong.
Dimas datang dari belakang, melihat layar, lalu langsung memeluknya.
“Mereka bisa hancurin nama kamu, Key... tapi bukan harga dirimu.”
Keysha menunduk. Air mata mulai jatuh. Tapi tak ada tangisan kali ini. Hanya diam. Dan dalam diam itu, lahirlah tekad baru.
“Aku akan jawab mereka. Tapi bukan dengan marah. Bukan dengan aib. Tapi dengan kebenaran.”
---
Malam harinya, Keysha membuka blog Istri Bayangan. Ia menulis bab terbaru:
---
“Ketika Cinta Berubah Jadi Teror”
> Aku tak pernah minta dilahirkan sebagai istri kedua. Tapi aku jatuh cinta. Dan cinta itu membutakanku, hingga aku tidak sadar: aku sedang mengurung diriku dalam cinta yang tak membebaskan. Hari ini, aku bukan lagi perempuan yang sama. Aku tidak sedang melarikan diri. Aku sedang menyelamatkan hidupku.”
> Dan untuk siapa pun yang berpikir aku adalah pelakor, izinkan aku bertanya:
Jika kamu menjadi aku—dicintai, dijanjikan, lalu disembunyikan dan dipukul…
Masihkah kamu mau diam?”
-