Bab 10

Pagi itu, Keysha bangun dengan mata sembab dan tubuh yang masih lelah. Tapi ada satu hal yang berbeda: ia tidak bangun dalam ketakutan. Tidak ada suara teriakan. Tidak ada ancaman. Tidak ada ketukan keras di pintu apartemen. Hanya suara ombak dan hembusan angin pantai yang lembut menyapu tirai.

Ia membuka ponsel, dan pesan masuk menumpuk. Tapi yang membuatnya tercekat adalah notifikasi blog:

“Artikelmu ‘Ketika Cinta Berubah Jadi Teror’ telah dibaca 2,3 juta kali.”

“Ribuan komentar dukungan masuk.”

Tangannya gemetar.

Ia membuka kolom komentar dan membaca satu per satu:

> “Aku juga istri kedua. Terima kasih sudah mewakili perasaanku.”

“Kamu kuat. Teruskan menulis.”

“Cinta yang menyakiti bukan cinta. Terima kasih sudah menyadarkan.”

“Saya laki-laki, dan saya malu pada pria seperti Raka.”

“Kami percaya kamu.”

Keysha menutup ponselnya, menahan isak. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya, suaranya terdengar. Selama ini ia merasa tak berarti, tapi kini—jutaan orang membacanya. Dan mereka tidak membencinya. Mereka memahami.

---

Sementara itu, di rumah Amanda, amarah meledak seperti bom waktu.

“Kenapa komentar-komentarnya positif semua?!” bentaknya pada asistennya. “Kenapa dia jadi korban, bukan aku yang menang?!”

“Maaf, Bu. Sepertinya narasi dari blognya lebih menyentuh. Orang-orang percaya dia benar-benar disakiti.”

Amanda membanting gelas ke lantai.

“Naikkan artikel tandingan. Sebar video dan rekaman suara. Jangan kasih dia menang!”

“Bu, kalau kita salah langkah, bisa kena UU ITE. Nama Ibu juga bisa tercemar…”

Amanda terdiam. Tapi wajahnya makin kelam.

“Kalau perang ini nggak bisa kutangani lewat media… maka aku akan turun langsung ke lapangan.”

---

Sementara itu, Raka duduk sendirian di ruang kerjanya. Meja penuh berkas tak disentuh. Matanya hanya terpaku pada layar laptop yang menampilkan wajah Keysha—screenshot dari vlog anonim yang baru diunggah.

Dalam video itu, Keysha tidak menyebutkan namanya, tidak menyalahkan siapa pun. Tapi kata-katanya menampar keras:

> “Jika seseorang mencintaimu, dia tidak akan membuatmu takut.

Jika seseorang mencintaimu, dia tidak akan membuatmu sembunyi.

Dan jika seseorang mencintaimu…

Dia tidak akan menjadikan tubuhmu sebagai pelampiasan frustrasi.”

Raka menutup laptopnya keras-keras. Ia berdiri dan menendang kursinya.

“Aku akan cari dia. Aku akan bawa dia pulang. Aku yang memulai… dan aku yang harus mengakhiri semuanya.”

---

Sore hari itu, Dimas dan Keysha duduk di pinggir pantai, ditemani semilir angin dan suara deburan ombak. Keysha memakai dress panjang biru muda dan kerudung putih. Wajahnya lebih tenang, tapi masih ada trauma dalam sorot matanya.

Dimas menyerahkan secarik kertas pada Keysha.

“Apa ini?” tanya Keysha, membuka lipatan surat itu.

“Proposal pameran solo untuk kamu. Tentang tulisan kamu. Tentang perjalananmu. Aku mau bantu kamu naik ke atas panggung... bukan sebagai korban. Tapi sebagai penyintas yang membakar luka jadi cahaya.”

Keysha memandang Dimas. “Kamu yakin orang-orang siap lihat sisi gelapku?”

Dimas tersenyum. “Mereka sudah melihat. Dan mereka nggak pergi. Justru mereka mendekat.”

Keysha menahan haru. Di dunia yang dulu menilainya sebagai pengganggu rumah tangga orang, ada satu pria yang tak pernah menilainya kecuali sebagai perempuan yang pantas dicintai.

---

Namun kedamaian itu hanya sementara. Malamnya, Dimas mendapat pesan dari temannya yang bekerja di kepolisian.

> “Raka sudah tahu keberadaan kalian. Hati-hati. Dia cari kamu.”

Dimas langsung menatap Keysha. Wajahnya berubah tegang.

“Kita harus pergi dari sini.”

Keysha mengangguk pelan. “Aku udah capek lari.”

“Tapi kali ini… kita bukan lari karena takut. Kita pindah karena siap hidup baru.”

Dan malam itu, mereka kemasi semua barang.

Sementara di Jakarta, seorang pria bernama Raka sedang mengendarai mobilnya, dengan satu tujuan:

“Aku akan ambil dia kembali. Biar dunia tahu… siapa yang punya dia.”

---