Malam itu hujan turun deras. Di rumah pantai kecil yang sunyi, Keysha sedang melipat pakaian ke dalam koper. Ia dan Dimas sudah sepakat, besok pagi mereka akan pindah ke kota lain—lebih jauh, lebih tenang.
Tapi rencana mereka tak sempat dijalankan.
Suara mesin mobil berhenti di depan halaman. Lampu depan menyinari pagar bambu kecil yang basah oleh hujan. Keysha berdiri kaku di ambang jendela, tubuhnya gemetar ketika melihat sosok itu keluar dari mobil.
Raka.
Berdiri tegap dalam jas hujan hitam, matanya menyapu pekarangan seolah membawa badai bersamanya.
Ketukan keras terdengar di pintu.
BRAK. BRAK. BRAK.
"Keysha! Buka pintunya! Aku tahu kamu di dalam!"
Keysha mundur pelan. Dimas segera berdiri di hadapannya, melindungi.
“Biarkan aku yang hadapi,” ucap Dimas tegas.
Tapi sebelum sempat membuka pintu, Raka mendobraknya dengan bahu. Daun pintu terbuka keras, dan untuk pertama kalinya, tiga hati yang terhubung dalam simpul luka bertemu di ruangan yang sama.
Wajah Raka basah oleh hujan, tapi matanya menyala penuh amarah.
“Kamu pikir kamu bisa kabur selamanya dariku, Keysha?!”
Dimas berdiri tegap di antara mereka. “Cukup, Raka. Jangan ganggu dia lagi.”
“Diam kamu!” Raka menunjuk tajam. “Ini urusan rumah tangga kami!”
Keysha menatapnya, perlahan maju. “Bukan lagi. Kita sudah tidak satu rumah… tidak satu hati… bahkan tidak satu arah.”
“Jangan sok kuat, Key!” Raka menunjuk wajahnya. “Kamu itu tetap istri aku! Aku yang bawa kamu dari kehidupan biasa ke dunia yang kamu impikan!”
Keysha menahan napas. “Dunia yang kamu sebut impian itu penuh luka. Aku harus sembunyi, harus ditampar, harus diam ketika dihina—itu bukan dunia, Raka. Itu penjara.”
“Dan kamu memilih lelaki ini buat selamat?!” Raka melirik Dimas tajam.
Keysha berdiri lebih tegak. “Aku nggak milih siapa-siapa, Raka. Aku cuma milih satu hal: diriku sendiri.”
---
Raka tertawa miring. Tapi tawanya getir, seperti pria yang tahu semuanya mulai terlepas dari genggamannya.
“Selamat ya. Kamu sukses menjatuhkan nama baik aku di depan publik. Kamu nulis tentangku, bikin semua orang benci aku.”
Keysha menatapnya dingin. “Aku tidak menyebut namamu sekali pun. Tapi kalau kamu merasa terwakili... mungkin karena semua itu benar.”
Wajah Raka mulai berubah. Tangannya mengepal.
Tapi Dimas langsung melangkah ke depan, siap menjaga.
“Berani kamu sentuh dia lagi, Raka… aku nggak akan diam.”
Untuk beberapa detik, hanya suara hujan yang terdengar. Ketegangan menggantung, menyesakkan dada.
Akhirnya, Raka mendesis, “Kalian pikir ini selesai? Kalian pikir kalian menang?”
Dia melangkah mundur. “Baik. Kita lihat siapa yang benar-benar bisa hidup tenang setelah ini.”
Lalu Raka pergi, meninggalkan rumah kecil itu dengan amarah yang belum selesai.
---
Beberapa jam setelah kepergian Raka, Keysha duduk di teras belakang, menatap laut yang tenang, kontras dengan badai yang baru saja berlalu.
Dimas datang membawa selimut, duduk di sampingnya.
“Kamu gemetar,” katanya pelan.
“Aku nggak takut, Dim. Tapi aku trauma.”
Dimas memegang tangan Keysha. Hangat dan pelan.
“Kalau kamu lelah, kamu boleh istirahat di bahuku.”
Keysha tersenyum kecil. “Boleh. Tapi bukan untuk bersandar selamanya. Aku masih harus berdiri sendiri.”
Dan malam itu, meski tubuh mereka dekat, hati mereka tetap saling memberi ruang.
Karena cinta yang sehat bukan soal memiliki.
Tapi soal mendampingi… tanpa memaksa.