Bab 12

Jakarta masih basah oleh sisa hujan semalam saat Amanda membuka berkas-berkas di mejanya. Di tangannya kini ada salinan rekam medis milik Keysha—hasil investigasi diam-diam dari koneksi gelap yang ia miliki.

Riwayat depresi ringan. Riwayat terapi pasca kehilangan ayah. Semua catatan itu kini di tangan orang yang tak punya empati.

“Kalau dia bisa main jadi korban, aku bisa main jadi pahlawan,” ucap Amanda sambil tersenyum tipis.

Ia membuka ponsel, merekam video selfie dengan gaya anggun yang penuh akting.

> “Assalamu’alaikum. Aku Amanda, istri sah Raka. Aku hanya ingin menyampaikan… aku mendoakan perempuan yang pernah hadir dalam pernikahan kami agar mendapatkan kedamaian dan tidak lagi mencari perhatian lewat luka. Setiap rumah tangga pasti punya ujian. Tapi menyebar luka untuk divalidasi itu bukan penyembuhan... itu pamer luka.”

Ia menyebut nama Keysha secara terang-terangan di akhir video.

Dan seperti bom waktu, video itu viral dalam hitungan jam.

---

Keysha duduk di dalam kamar kecil penginapan, menatap layar ponselnya dengan napas terengah. Video itu menusuknya bukan karena kata-katanya, tapi karena begitu liciknya Amanda memainkan narasi.

Komentar publik mulai terpecah.

Sebagian mulai meragukan Keysha.

Sebagian tetap membelanya.

Sebagian menyerangnya lebih kejam.

> “Drama queen.”

“Kalau udah nikung suami orang, ngapain sok victim?”

“Amanda lebih elegan sih.”

“Dua-duanya sama aja, rebutan laki-laki jelek.”

Dimas masuk ke kamar dan menemukan Keysha memeluk lutut di pojok ruangan. Matanya kosong.

“Dia… bawa nama aku,” bisik Keysha. “Aku nggak siap kalau semua aibku dibuka…”

Dimas mendekat, mengusap rambutnya lembut. “Kamu nggak harus kuat hari ini. Tapi kamu nggak boleh hilang.”

Keysha memejamkan mata. “Kenapa mereka bisa menyakiti aku sebanyak ini? Apa aku salah memilih cinta… atau salah jadi perempuan?”

Dimas menarik napas. “Kamu salah percaya pada orang yang salah. Tapi kamu nggak salah jadi diri sendiri.”

---

Di tempat lain, Raka duduk bersama seorang pengacara licik yang sudah sering menangani kasus keluarga besar mereka.

“Bisa dibuktikan kalau dia tidak stabil secara emosional?” tanya Raka.

Pengacara itu mengangguk. “Dengan riwayat psikis dan cerita-cerita di blog, bisa diarahkan sebagai fiksi yang menghasut.”

“Bagus. Aku ingin hak pengasuhan penuh kalau nanti kami punya anak.”

“Pak Raka, dia bahkan belum—”

“Aku tahu!” Raka membanting meja. “Tapi aku mau dunia tahu, dia itu perempuan berbahaya. Labil. Penuh drama. Dan aku yang layak dikasihani.”

Pengacara itu hanya mengangguk.

Dalam pikirannya, Raka sudah bukan ingin kembali bersama Keysha. Ia ingin menghancurkannya.

---

Sore itu, Keysha kembali ke blognya dan mengetik perlahan.

---

“Luka yang Dipermainkan”

> Aku tidak ingin terkenal. Aku hanya ingin suara yang selama ini dibungkam, didengar. Tapi kini, luka-lukaku dijadikan panggung oleh orang-orang yang pernah menyakitiku. Jika diam membuat mereka menang, maka hari ini… aku memilih menulis lagi. Bukan untuk balas dendam. Tapi untuk bangkit.”

---

Komentar datang lagi. Kali ini lebih banyak yang kembali ke pihaknya.

> “Tulisannya jujur banget.”

“Terus semangat, Kak Keysha.”

“Kamu inspirasi buat perempuan-perempuan yang selama ini diam.”

“Jangan kalah sama yang main cantik padahal toxic.”

---

Malam hari, Keysha dan Dimas duduk di beranda. Cahaya rembulan membasuh wajah mereka.

“Aku capek, Dim… Tapi aku nggak mau mundur.”

Dimas mengangguk pelan. “Kamu boleh berhenti sejenak. Tapi jangan pernah menyerah.”

Keysha menatap Dimas, matanya berkaca.

“Kalau mereka menyakiti kamu karena dekat sama aku… apa kamu akan tetap tinggal?”

Dimas menjawab tanpa ragu, “Aku nggak peduli dunia bilang apa. Aku tinggal bukan karena kamu sempurna. Tapi karena kamu nyata.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Keysha memeluk seseorang bukan karena takut…

Tapi karena ia merasa aman.

---