Pagi itu, Keysha masih sibuk membalas email dari penerbit kecil yang tertarik menerbitkan tulisannya dalam bentuk novel. Namun, tak lama setelah itu, sebuah kabar mengejutkan datang.
> “Amanda memposting tangkapan layar percakapan pribadi antara kamu dan Raka sebelum menikah siri.”
Keysha menegang.
Tangannya gemetar saat membuka media sosial. Di sana, Amanda menulis:
> “Semua orang berhak tahu bagaimana kisah ini dimulai. Dia bukan korban. Dia tahu dia istri kedua sejak awal, dan tetap masuk ke rumah tangga kami.”
Disertai foto-foto percakapan lama antara Keysha dan Raka—screenshots yang diambil di luar konteks.
> “Aku rela jadi istri kedua asal kamu tetap sayang.”
“Jangan bilang siapa-siapa, nanti Kak Amanda tahu.”
“Aku akan sabar nunggu kamu datang tiap malam minggu…”
Keysha menutup ponselnya. Wajahnya pucat.
Semua komentar langsung menyerangnya lagi.
> “Jadi dia memang tahu dari awal?”
“Fix pelakor!”
“Drama doang ternyata.”
“Kasihan Amanda…”
Dimas langsung memeluknya dari belakang.
“Key… denger aku. Itu masa lalu kamu. Dan kamu bukan perempuan yang sama lagi.”
Keysha menggeleng pelan. “Tapi mereka semua pikir aku pendosa yang haus perhatian…”
“Ada ratusan ribu orang yang tetap berpihak padamu. Dan satu orang yang akan tetap pegang tanganmu walau semua orang melepas.”
Keysha menatapnya. “Kamu?”
“Selalu,” jawab Dimas, mantap.
---
Sementara itu, Raka duduk di ruang sidang privat bersama pengacaranya.
“Surat panggilan sudah dikirim ke alamat lama Keysha. Kalau dia mangkir, kita minta keputusan sepihak.”
“Bagus,” gumam Raka, dingin. “Aku akan seret dia ke pengadilan. Kalau perlu, aku buat dia dianggap tidak layak jadi perempuan.”
“Pak Raka yakin ini bukan balas dendam?”
Raka tersenyum tipis. “Ini pelajaran.”
---
Hari itu, Keysha menerima kabar: ia digugat balik oleh Raka dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penipuan pernikahan. Ia duduk terpaku cukup lama sebelum akhirnya berdiri dan mengambil laptop.
Ia membuka blog-nya. Menulis.
---
“Jika Dosa Itu Bernama Perjuangan”
> Ya, aku tahu sejak awal bahwa dia sudah menikah. Ya, aku tahu aku salah. Tapi yang kalian tak tahu, adalah bahwa aku mencintainya saat aku belum tahu cara mencintai diriku sendiri.
Dan hari ini… aku bukan membela diriku. Aku mengakui: aku memang pernah salah jalan. Tapi tidak salah mencintai.
Yang salah… adalah orang-orang yang membuatku membayar mahal, bahkan setelah aku bertobat.”
---
Tulisan itu kembali meledak.
Komentar membanjiri. Banyak yang tersentuh karena keberanian Keysha untuk mengakui masa lalu tanpa menyalahkan siapa pun.
> “Gue nangis bacanya.”
“Jujur dan tulus. Kamu berani.”
“Semua orang pernah salah. Tapi nggak semua orang bisa jujur dan bangkit.”
“Jangan biarin mereka matiin sinar kamu.”
---
Malamnya, Dimas mengajak Keysha duduk di teras belakang rumah kecil mereka yang kini seperti benteng perlindungan.
“Besok kamu harus putuskan, Key. Mau hadapi pengadilan… atau lepas semua ini dan kita pergi ke luar negeri. Aku punya kesempatan studi dan kamu bisa nulis buku di sana.”
Keysha menatapnya. Lama.
“Kalau aku pergi, aku kalah.
Tapi kalau aku diam di sini…
Mungkin aku bisa jadi suara untuk perempuan yang lebih lemah dari aku.”
Dimas tersenyum. “Maka besok… kita hadapi bersama. Aku di sebelah kamu.”
Keysha mengangguk, perlahan. Dan malam itu, ia tak menangis.
Karena untuk pertama kalinya, ia merasa menjadi pejuang. Bukan korban.
---