Langit Jakarta pagi itu mendung. Kabut tipis menggantung di jalan-jalan ibu kota saat Keysha berdiri di depan gedung Pengadilan Agama. Gedung itu tampak tinggi dan dingin, jauh dari hangatnya harapan. Dimas berdiri di sampingnya, menggenggam tangan perempuan yang kini mulai berani menghadapi masa lalunya.
“Kalau kamu nggak siap, kita bisa tunda,” bisik Dimas.
Keysha menggeleng. “Aku nggak akan kabur lagi, Dim. Aku bukan Keysha yang dulu.”
Dengan gamis hitam polos dan kerudung abu-abu, Keysha melangkah masuk ke gedung yang akan mempertemukannya dengan luka terbesar dalam hidupnya: Raka.
---
Suasana ruang sidang tertutup itu hening namun menegangkan. Di sebelah kanan, duduk Raka dengan jas gelap yang rapi dan tatapan dingin. Di sebelahnya, pengacara tua berwajah licik yang sudah dikenal sering memutarbalikkan fakta.
Keysha duduk di sisi lain, berseberangan langsung dengan Raka. Hatinya berdegup kencang, namun ia berusaha menstabilkan napasnya. Dalam benaknya, terngiang semua malam yang ia habiskan dalam ketakutan: suara pintu dibanting, tangan yang mencengkeram, dan ancaman yang tak pernah benar-benar berhenti.
Ketukan palu dari hakim mengawali sidang.
> “Perkara nomor 142/PAJKT/2025, gugatan atas nama Raka Firmansyah terhadap Keysha Ayu Lestari mengenai pencemaran nama baik, permintaan pembatasan publikasi konten pribadi, dan permohonan hak moral atas rumah tangga.”
Keysha mengangkat wajahnya.
Ia bahkan belum pernah mendengar istilah "hak moral atas rumah tangga" sebelumnya. Tapi jelas, ini bukan lagi tentang kebenaran—ini tentang kekuasaan.
Raka diberi kesempatan berbicara lebih dulu.
“Yang Mulia,” ucap Raka dengan nada tenang, “saya menggugat bukan karena ingin menghukum. Tapi saya tidak bisa membiarkan nama saya dan keluarga besar saya tercemar hanya karena perempuan ini ingin jadi selebriti lewat kisah sedihnya.”
Keysha menahan emosi.
“Semua tulisan di blog-nya mengarah ke saya, meski dia tidak pernah menyebut nama. Tapi siapa pun yang tahu cerita kami pasti tahu itu tentang saya.”
Pengacaranya menambahkan, “Kami juga membawa bukti bahwa tergugat telah menyimpan dan menyebarkan tangkapan layar percakapan pribadi, serta mengarang cerita tanpa dasar yang menimbulkan opini negatif terhadap klien kami.”
Hakim menatap Keysha.
“Bagaimana tanggapan tergugat?”
Keysha berdiri. Tubuhnya gemetar. Tapi suara hatinya jauh lebih kuat dari rasa takut.
> “Yang Mulia… saya menulis bukan untuk mencemarkan siapa pun. Saya hanya bercerita tentang rasa sakit yang saya alami. Saya tidak menyebut nama. Saya hanya mengungkapkan luka—yang selama ini saya simpan sendiri.”
Ia menarik napas.
> “Kalau tulisan saya menyentuh banyak orang… mungkin karena mereka juga mengalami hal yang sama. Tapi saya tak pernah meminta orang membenci siapa pun. Saya hanya… ingin tidak merasa sendiri.”
Hakim mencatat sambil mengangguk pelan.
---
Usai sidang, Keysha berjalan keluar bersama Dimas. Tapi kerumunan wartawan sudah menunggu di luar. Mikrofon dan kamera diarahkan ke wajahnya yang mulai pucat.
> “Mbak Keysha, benar Anda menikah siri dengan Pak Raka?”
“Benarkah semua tulisan di blog itu tentang beliau?”
“Apa Anda tidak takut akan kalah di pengadilan?”
Keysha menatap ke arah kamera. Pandangannya tak gentar.
> “Saya tidak menulis untuk menang. Saya menulis karena saya tahu—diam adalah bentuk kematian paling sunyi. Dan saya… memilih hidup.”
Dimas segera menarik tangan Keysha dan membawanya menjauh dari kerumunan.
---
Di tempat lain, Amanda menyaksikan tayangan siaran langsung melalui tabletnya. Ia menggeleng pelan sambil tersenyum mengejek.
“Kuat juga dia,” gumamnya.
Tapi ia tak akan kalah semudah itu.
Ia membuka laptop dan membuka folder rahasia. Di dalamnya, ada video—rekaman saat Keysha dan Raka bertengkar hebat di rumah lama mereka. Sebuah CCTV kecil yang Amanda pasang diam-diam, semula untuk memata-matai Raka, kini menjadi senjatanya yang paling tajam.
“Kalau dia bisa menang lewat kata-kata…
Aku akan menang lewat bukti visual. Dan dunia akan melihat siapa Keysha sebenarnya.”
Amanda menghubungi seseorang lewat video call.
“Sebarkan video ini seminggu sebelum sidang lanjutan. Biar dia nggak punya ruang untuk membela diri.”
---
Malamnya, Keysha dan Dimas duduk di balkon rumah pantai sederhana mereka. Cahaya rembulan menyoroti wajah Keysha yang tampak lelah tapi tetap bersinar dengan tekad.
“Besok, kita terbang ke Jogja buat konsultasi hukum tambahan,” ucap Dimas sambil menyerahkan amplop berisi data dan kontak pengacara perempuan senior yang dulu pernah membantu korban KDRT.
Keysha mengangguk. “Aku ingin semua ini diselesaikan dengan benar. Aku nggak akan balas dengan fitnah… tapi aku juga nggak akan diam lagi.”
Dimas menatapnya lembut. “Kamu tahu? Kamu bukan korban lagi, Key. Kamu… sudah jadi penyintas.”
Keysha tersenyum tipis.
“Belum. Tapi aku menuju ke sana.”
Dan di malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Keysha memejamkan mata tanpa dihantui rasa bersalah. Karena ia tahu: kebenaran akan menyakitkan, tapi bukan berarti harus ditakuti.
---