Bab 15

Dua hari sebelum sidang lanjutan, Keysha sedang duduk di balkon rumah kecil di Jogja yang disewa Dimas untuk persiapan kasus mereka. Di tangannya ada secangkir teh panas, sementara matanya menatap langit sore yang mulai jingga.

Untuk sesaat, semuanya tampak tenang.

Tapi ketenangan itu runtuh hanya dalam hitungan detik.

Notifikasi ponsel masuk bertubi-tubi. Grup WhatsApp, pesan Instagram, bahkan surel dari pihak media.

Salah satu pesan Dimas membuat jantungnya mencelos:

> “Key, video kamu dan Raka viral. Amanda nyebarin CCTV rumah lama. Kamu terlihat... teriak, lempar barang. Mereka bilang kamu yang kasar.”

Tubuh Keysha langsung membeku. Tangannya gemetar saat membuka tautan video.

Dan benar saja.

Di layar, terlihat cuplikan lama—dirinya dan Raka di ruang tamu. Ia sedang menangis, berteriak, dan melempar bingkai foto ke lantai. Suaranya terdengar histeris.

> “Aku capek, Rak! Kamu cuma datang seminggu sekali, dan sisanya aku kayak tahanan di rumah ini!”

> “Kamu tahu konsekuensi jadi istri kedua, kan?!”

> “Kalau tahu begini, mending aku nggak pernah nerima jadi istrimu!”

Dan kemudian, video berhenti. Tanpa konteks. Tanpa penjelasan.

Komentar di media sosial meledak.

> “Ternyata dia yang gila!”

“Pantes Raka ninggalin dia.”

“Drama queen banget.”

“Amanda bener, dia cuma cari panggung!”

Keysha duduk diam. Matanya mulai berkaca. Bukan karena videonya disebar… tapi karena itu memang dirinya yang dulu.

Dirinya yang penuh kemarahan. Dirinya yang tidak tahu cara mencintai dengan benar karena terlalu sibuk bertahan dalam luka.

---

Dimas pulang tergesa, menemukan Keysha duduk di lantai dengan mata merah.

“Keysha…” bisiknya, meraih bahu perempuan itu.

“Video itu nyata, Dim. Itu aku.”

“Ya. Tapi itu bukan kamu yang sekarang.”

Keysha menatapnya. “Tapi mereka semua lihatnya cuma itu. Sekarang, semua tulisan dan keberanianku kayak sia-sia. Mereka lihat aku histeris, kasar, nggak stabil…”

Dimas memegang tangannya.

“Mereka lihat potongan kecil dari cerita besar. Dan mereka lupa… bahwa bahkan perempuan sekuat apa pun, punya titik rapuh.”

---

Malam itu, Keysha menulis lagi.

---

“Potongan Luka”

> Kadang orang hanya melihat satu halaman, lalu merasa paham isi seluruh buku.

Mereka lupa bahwa dalam tiap ledakan amarah, sering kali ada rasa sakit yang terlalu lama dipendam.

Mereka lupa… bahwa perempuan juga manusia.

Jika hari ini kalian melihatku melempar barang dan berteriak, maka biarkan aku beri tahu:

Itu adalah satu-satunya bahasa yang bisa aku pakai… ketika suaraku tak lagi didengar.

---

Postingan itu langsung dibagikan ribuan kali. Sebagian mulai tersentuh, sebagian tetap mencibir. Tapi satu hal yang berubah: Keysha tidak lagi takut.

Karena ia mulai mengerti satu hal penting:

Ia tak perlu membuktikan dirinya ke dunia. Ia hanya perlu berdamai dengan dirinya sendiri.

---

Esok harinya, Amanda mengadakan konferensi pers kecil.

Dengan wajah tenang dan senyum penuh kemenangan, ia berkata:

> “Saya hanya ingin publik tahu, siapa sebenarnya Keysha. Bukan dari tulisannya, tapi dari sikap dan rekamannya sendiri.”

Salah satu wartawan bertanya, “Bukankah menyebarkan video pribadi bisa dianggap pelanggaran privasi?”

Amanda tersenyum licik. “Kalau itu video di rumah suami saya, berarti itu bukan ‘pribadi’—itu hak saya juga.”

Dan dunia makin percaya padanya.

---

Namun di sisi lain, Dimas dan Keysha mulai menyusun strategi hukum. Mereka mendatangi pengacara senior, Bu Lestari—seorang aktivis hukum perempuan yang dikenal membela para penyintas kekerasan dalam rumah tangga.

“Video itu bisa jadi bumerang bagi Amanda,” ujar Bu Lestari. “Dia menyebarkan materi pribadi tanpa izin. Kalau kita arahkan dengan benar, justru bisa balik menyeretnya ke jerat pidana.”

Keysha terkejut. “Jadi aku bisa membalasnya… secara hukum?”

“Bukan membalas,” Bu Lestari tersenyum. “Tapi menegakkan keadilan.”

---

Malam itu, sebelum tidur, Keysha duduk di depan cermin. Ia menatap wajahnya sendiri—wajah yang dulu sering ia benci, ia tangisi, bahkan ingin ia sembunyikan dari dunia.

Tapi kali ini, ia tersenyum tipis.

> “Kamu pernah bodoh, pernah jatuh cinta terlalu buta, pernah memilih yang salah…

Tapi kamu juga pernah bertahan, pernah memilih bangkit, dan berani bicara.

Dan itu… sudah cukup.”

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Keysha memaafkan dirinya sendiri.

Dan itu lebih kuat dari semua penghakiman dunia.