Bab 16

Pagi itu, Jogja diselimuti kabut tipis. Tapi di dalam ruang kerja kecil pengacara Bu Lestari, Keysha duduk tegak, dengan map berisi data lengkap di tangannya. Wajahnya masih menyisakan kelelahan setelah badai video viral semalam, tapi sorot matanya lebih tajam daripada sebelumnya.

“Jadi kamu siap buat melawan balik?” tanya Bu Lestari sambil menyesap teh panas.

Keysha mengangguk. “Aku nggak mau sekadar bertahan. Aku ingin memperjuangkan suara semua perempuan yang selama ini dituduh gila… hanya karena berani marah.”

Bu Lestari tersenyum kecil. “Kamu tahu, kebanyakan kasus seperti ini... perempuan selalu diminta diam. Tapi kamu memilih berdiri. Dan itu… membuatmu istimewa.”

Dimas, yang duduk di samping Keysha, menambahkan, “Kami juga punya bukti kalau Amanda menyebarkan video itu dengan sengaja. Ada jejak digitalnya.”

Bu Lestari membuka laptop, menunjukkan isi draf laporan hukum.

> “Pelanggaran privasi dan pencemaran nama baik, dengan niat menjatuhkan kredibilitas pribadi dan profesional.”

“Kalau ini kita kirim hari ini,” ujar Bu Lestari, “Amanda bakal dipanggil paling lambat minggu depan.”

Keysha menatap kalimat itu lama-lama. Napasnya terasa lebih berat. Tapi perlahan, ia berkata:

“Aku siap.”

---

Sore harinya, Amanda mengadakan wawancara eksklusif di sebuah stasiun TV daring. Dengan make-up sempurna dan gaya bicara yang dikontrol penuh, ia menjawab semua pertanyaan dengan citra ‘istri sah yang sabar’.

“Saya tahu, suami saya pernah berbuat salah. Tapi saya memilih diam. Karena saya percaya, rumah tangga itu diselesaikan di dalam rumah. Bukan diumbar ke dunia.”

Wartawan itu menimpali, “Tapi banyak yang menilai tindakan Anda menyebar video pribadi adalah bentuk pembunuhan karakter.”

Amanda tersenyum tipis.

“Kalau karakter itu palsu sejak awal, pantaskah disebut pembunuhan… atau pembongkaran?”

Netizen terbelah. Tapi angka simpati untuk Amanda mulai merosot. Semakin banyak yang menyadari: ada niat menjatuhkan, bukan hanya membela diri.

---

Di malam yang sama, Dimas menerima pesan tak terduga dari seseorang anonim melalui email:

> “Kalau kamu ingin bantu Keysha, telusuri kasus lama Raka tahun 2017. Dia pernah dilaporkan oleh mahasiswinya sendiri. Tapi kasusnya ditutup oleh ayahnya.”

Dimas membaca ulang pesan itu dua kali.

“Key… kamu tahu soal ini?”

Keysha menggeleng. “Aku tahu Raka punya masalah masa lalu, tapi dia selalu menutup-nutupinya.”

Dimas memencet nomornya yang tersambung ke Bu Lestari. “Kami dapat petunjuk baru. Ini bisa jadi bukti penting untuk menjatuhkan kredibilitas Raka di pengadilan.”

---

Keesokan harinya, mereka terbang ke Jakarta. Sidang lanjutan akan digelar dalam dua hari, dan Keysha harus mempersiapkan lebih dari sekadar argumen: ia butuh keberanian yang lebih besar dari sebelumnya.

Dalam perjalanan, Keysha duduk di dekat jendela pesawat, memandangi awan-awan putih yang berarak. Dimas meraih tangannya.

“Kamu kelihatan tenang.”

Keysha tersenyum tipis. “Aku udah nggak punya apa-apa untuk ditakuti. Nama baikku udah diseret, videoku udah dipermalukan… Tapi aku masih hidup. Dan selagi aku hidup, aku akan terus bicara.”

Dimas memandangi Keysha dalam diam. Di wajah perempuan itu kini tidak lagi ada keraguan. Yang ada hanyalah ketegasan dan… ketulusan.

---

Setiba di Jakarta, mereka langsung menuju kantor pengacara Bu Lestari. Di sana, tim hukum sudah menyiapkan berkas laporan resmi terhadap Amanda dan satu dokumen tambahan: rekaman kesaksian mahasiswi bernama Nia, yang dulu pernah melaporkan Raka atas pelecehan emosional dan penyalahgunaan kuasa.

Dalam video, Nia berkata:

> “Aku takut waktu itu, karena dia dosen terkenal dan anak orang terpandang. Tapi saat aku lihat Mbak Keysha berani berdiri, aku sadar… mungkin sudah waktunya kebenaran keluar.”

Keysha menutup laptop pelan, menahan napas.

“Aku nggak nyangka… ada perempuan lain yang lebih dulu terluka.”

“Dan sekarang,” ucap Bu Lestari tegas, “kalian akan maju bukan cuma untuk diri sendiri. Tapi untuk perempuan-perempuan yang dikorbankan demi ego laki-laki seperti Raka.”

---

Malam itu, Keysha memutuskan menulis satu tulisan pendek di blog-nya. Kali ini, bukan tentang luka, bukan tentang kemarahan. Tapi tentang harapan.

---

“Bukan Untuk Membalas”

> *Aku tidak ingin membalas. Karena balas dendam adalah luka yang diwariskan.

Yang aku inginkan hanyalah akhir yang adil—bukan hanya untukku, tapi untuk semua perempuan yang pernah memilih diam karena takut dunia tak berpihak.

Aku tidak sempurna. Tapi aku bukan tokoh antagonis dalam cerita siapa pun.

Aku hanya manusia yang ingin sembuh.

Dan kini… aku tidak lagi sembunyi.*

---

Postingan itu dibagikan lebih dari 200.000 kali dalam 24 jam. Tagar #BersuaraUntukKeysha menjadi trending. Para penyintas KDRT, pelecehan, dan istri kedua yang selama ini tak dianggap, mulai bersatu membagikan cerita mereka.

Keysha membaca satu per satu komentar masuk. Beberapa membuatnya menangis.

> “Aku istri kedua yang dibuang. Kamu memberi aku keberanian.”

“Aku pernah dianggap gila karena marah. Sekarang aku tahu, aku hanya manusia.”

“Kita mungkin bukan korban sempurna, tapi kita tetap layak didengarkan.”

---

Dan malam itu, di kamar kecil penginapan mereka, Keysha memeluk Dimas. Bukan karena takut. Tapi karena bahagia.

“Aku mungkin akan kalah di pengadilan nanti, Dim… Tapi aku sudah menang dalam hidupku sendiri.”

Dimas membalas pelukannya dengan hangat.

“Dan kamu… telah menyelamatkan lebih banyak orang dari yang kamu sadari.”