Bab 17

Suasana di Pengadilan Agama pagi itu jauh lebih ramai dari biasanya. Para wartawan, aktivis perempuan, hingga netizen yang dulu hanya mengenal Keysha lewat tulisan, kini berdiri berjejer membawa poster kecil bertuliskan:

> “Keysha adalah kami.”

“Bukan aib, tapi keberanian.”

“Perempuan berhak didengar.”

Keysha berdiri di balik gerbang besi sambil menarik napas panjang. Mengenakan gamis putih tulang dan kerudung biru senada, ia tampak tenang, meskipun dada dalamnya masih menyimpan gelombang besar.

Dimas berdiri di sampingnya. “Kalau kamu mundur hari ini, aku pun akan tetap bangga padamu.”

Keysha menoleh dan tersenyum kecil. “Tapi aku nggak akan mundur. Aku datang untuk menyelesaikan ini dengan kepala tegak.”

---

Di dalam ruang sidang, Raka tampak gelisah. Jas hitamnya tak mampu menutupi raut wajah yang mulai kehilangan kendali. Amanda duduk di belakangnya, mengenakan blazer mahal dan lipstik merah darah, tapi sorot matanya tidak sekokoh biasanya. Kini, yang membuat mereka tertekan bukan hanya publik, tapi juga kebenaran yang tak bisa mereka kendalikan.

“Sidang hari ini akan membahas bukti tambahan dari pihak tergugat dan pelaporan balik atas pelanggaran privasi,” ujar hakim.

Bu Lestari berdiri, membuka dokumen, dan menyampaikan dengan suara mantap.

> “Yang Mulia, kami telah melaporkan penyebaran video pribadi yang dilakukan tanpa izin oleh pihak saudari Amanda. Kami juga menyerahkan rekaman pernyataan dari Nia R., mahasiswi yang pernah melaporkan penggugat atas penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan emosional.”

Ruangan mendadak hening. Bahkan suara ketikan juru catat berhenti sejenak.

Raka terbelalak. “Itu… bohong! Sudah diselesaikan secara internal!”

Hakim mengetuk palu. “Penggugat harap tenang. Semua bukti akan ditelaah oleh majelis.”

---

Keysha diminta maju ke mimbar saksi.

Langkahnya pelan tapi pasti. Ia berdiri di depan semua mata yang menilainya: ada yang meremehkan, ada yang mendukung, ada yang penasaran. Tapi kali ini, ia tidak datang sebagai korban. Ia berdiri sebagai perempuan yang selamat dari badai dan memilih bicara.

“Yang Mulia… saya tahu saya bukan perempuan sempurna. Saya pernah memilih jalan salah, pernah mencintai orang yang salah. Tapi saya juga pernah mencintai diri saya sendiri terlalu sedikit sampai saya rela dilukai berkali-kali.”

Suara Keysha terdengar jelas, meski sempat bergetar.

“Saya menulis karena saya ingin sembuh. Bukan karena ingin menjatuhkan siapa pun. Saya bersuara bukan karena benci, tapi karena saya pernah diam terlalu lama. Dan diam… hampir membunuh saya.”

Suasana ruang sidang menjadi sunyi. Bahkan Raka pun tak bisa memotong. Amanda menggenggam tasnya kuat-kuat, mencoba menyembunyikan getaran tangannya.

---

Usai persidangan, di luar ruang sidang, wartawan berebutan mendekati Keysha. Tapi ia tidak menjawab satu pun pertanyaan. Ia hanya menatap ke arah para pendukungnya yang berdiri dengan mata berkaca.

Seorang perempuan muda berkerudung menangis saat memeluknya pelan.

“Terima kasih, Mbak. Karena kamu, aku berani lapor sekarang. Aku juga istri kedua, tapi aku nggak bisa bersuara.”

Keysha tersenyum. “Sekarang… kamu nggak sendiri.”

---

Di rumah, Amanda menutup semua media sosial. Komentar buruk mulai menumpuk. Beberapa merek mulai menarik kerja sama, dan bahkan stasiun TV tempat ia menjadi bintang tamu mulai menunda siaran ulangnya.

“Semua ini salahmu!” bentaknya pada Raka.

“Kau pikir aku yang suruh perempuan itu muncul di masa lalu?! Ini semua karena dia cari perhatian!”

Amanda tertawa sinis. “Atau karena kamu memang gak pernah bisa selesai sama masa lalumu?”

Raka tak menjawab.

Hubungan mereka, yang dulu dibangun atas ambisi dan ego, kini mulai retak di atas panggung kebohongan yang mereka buat sendiri.

---

Malam itu, Keysha duduk di beranda rumah kontrakan mereka bersama Dimas. Udara Jakarta yang lembap tidak cukup untuk menyapu penat hari itu. Tapi ada ketenangan yang baru: bukan karena masalah selesai, tapi karena kebenaran akhirnya bersuara.

“Besok hasil sidang baru akan diumumkan,” ujar Dimas. “Apa pun hasilnya, kamu udah menang, Key.”

Keysha menatap langit.

“Aku cuma ingin hidup dengan damai, Dim. Kalau nanti aku bisa menulis buku dari kisah ini, aku gak akan pakai nama mereka. Aku cuma ingin perempuan lain tahu… bahwa mereka layak didengar.”

Dimas tersenyum sambil meraih tangan Keysha. “Dan kamu akan jadi suara itu. Karena kamu… tidak lagi diam.”

Keysha menarik napas dalam.

Untuk pertama kalinya sejak lama, malam terasa damai. Bukan karena hidupnya telah bersih dari luka, tapi karena ia telah memilih untuk tidak lagi menyerah.

---