Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Gedung Pengadilan Agama kembali dipenuhi wajah-wajah yang ingin melihat akhir dari kisah yang selama ini mereka ikuti dari layar kaca dan sosial media.
Keysha tiba lebih awal pagi itu. Ia mengenakan gamis biru tua dan kerudung hitam polos. Sederhana, namun justru membuatnya tampak kuat dan anggun. Ia tidak lagi takut pada kamera, tidak lagi gelisah dengan tatapan penuh penilaian. Hari ini, ia datang sebagai dirinya sendiri — tanpa pembelaan, tanpa penyamaran.
Dimas menggenggam tangannya. “Apa pun keputusannya, kamu udah menang dalam hidupmu sendiri, Key.”
Keysha tersenyum. “Aku gak pernah mengira akan sampai sejauh ini. Tapi aku bersyukur… aku nggak jalan sendirian.”
---
Di dalam ruang sidang, hakim membuka dokumen hasil pertimbangan. Semua mata tertuju padanya, seolah menanti takdir diumumkan dalam satu kalimat. Raka duduk dengan wajah pucat, sementara Amanda tampak gelisah, tangannya bermain dengan ujung roknya, sesuatu yang tidak biasa bagi wanita yang biasa tampil percaya diri.
Hakim membuka sidang dengan suara mantap.
> “Setelah mempertimbangkan semua bukti, pernyataan saksi, serta pelaporan balasan terhadap pelanggaran privasi, maka pengadilan memutuskan untuk MENOLAK gugatan Raka Firmansyah terhadap Keysha Ayu Lestari.”
Keysha menahan napas.
> “Lebih lanjut, pengadilan menyatakan bahwa penyebaran video pribadi oleh Amanda Dewi merupakan pelanggaran terhadap hukum perlindungan data pribadi dan berpotensi ditindaklanjuti dalam jalur pidana oleh kepolisian. Oleh karena itu, pengadilan memberi rekomendasi agar saudari Keysha melaporkan hal ini ke instansi yang berwenang.”
Amanda sontak berdiri. “Tapi saya hanya ingin kebenaran keluar!”
Hakim menatapnya tajam. “Kebenaran tidak pernah dimenangkan lewat pelanggaran hukum, Ibu Amanda.”
Raka menunduk. Rahangnya mengeras. Reputasinya sebagai pria terhormat mulai runtuh. Bisik-bisik dari rekan bisnis dan kerabat telah lama menggerogoti nama baiknya, dan hari ini… runtuh sudah semua pembelaan dirinya.
Keysha memejamkan mata sejenak. Bukan karena puas. Tapi karena akhirnya, suara kecil di dalam dirinya tak lagi diabaikan.
---
Begitu sidang selesai, Keysha melangkah keluar dari gedung dengan langkah ringan. Seperti melepaskan beban yang selama ini mengikatnya.
Para pendukungnya kembali bersorak pelan. Seorang ibu mendekatinya dan berkata lirih, “Terima kasih karena sudah bicara, Nak. Kamu tidak tahu, suara kamu menyelamatkan banyak perempuan.”
Keysha tersenyum. “Saya bukan siapa-siapa, Bu. Saya cuma satu dari banyak yang pernah memilih diam. Tapi saya ingin jadi salah satu yang mulai bicara.”
Dimas memeluknya dengan penuh bangga. “Kita pulang?”
Keysha menatap langit. “Belum.”
---
Malam itu, di rumah kontrakan mereka, Keysha duduk menatap layar laptop. Puluhan email masuk dari penerbit besar, jurnalis, bahkan organisasi perempuan internasional yang ingin mengangkat kisahnya dalam bentuk buku, dokumenter, hingga kampanye sosial.
Salah satu email paling mengejutkan datang dari seorang editor senior di sebuah penerbit mayor:
> “Kami ingin menerbitkan buku berdasarkan kisah Anda, namun dengan satu syarat: kami ingin Anda sendiri yang menuliskannya. Dari hati, seperti selama ini.”
Keysha terdiam lama. Air mata menetes perlahan di pipinya.
Dimas datang membawa dua cangkir teh hangat. “Kabar baik?”
Keysha mengangguk. “Mereka ingin aku menulis buku tentang kisahku. Tentang semua luka, keberanian, dan perjalanan ini.”
Dimas tersenyum. “Sudah waktunya dunia tahu versi lengkapnya. Bukan dari potongan video, bukan dari gosip media. Tapi dari perempuan yang menjalaninya sendiri.”
Keysha menyeka air matanya. “Tapi aku gak mau tulis tentang pembalasan. Aku mau tulis tentang penyembuhan.”
“Dan itu kenapa mereka butuh kamu,” ucap Dimas lembut. “Karena kamu menulis bukan untuk menyakiti… tapi untuk menyembuhkan.”
---
Sementara itu, Amanda mulai merasakan efek nyata dari perbuatannya. Undangan tampil di TV dibatalkan. Beberapa sponsor mundur. Bahkan salah satu kerabatnya menyarankan agar ia "diam dulu dari publik" untuk sementara.
Di balik topeng kesempurnaan yang selama ini ia pakai, Amanda menyadari: dendam tak pernah benar-benar menang. Ia hanya membuat luka berpindah tempat.
Di kamarnya yang sepi, ia menatap cermin. Lama. Dan untuk pertama kalinya, ia tak melihat musuh dalam bayangan. Ia melihat dirinya sendiri — penuh amarah, penuh luka yang belum diselesaikan sejak lama.
Tapi apakah ia akan berubah? Waktu yang akan menjawab.
---
Beberapa hari kemudian, Keysha dan Dimas menggelar diskusi kecil di sebuah komunitas perempuan muda. Di sana, Keysha berbicara bukan sebagai figur viral, tapi sebagai seseorang yang pernah melalui luka dan belajar menghadapinya.
> “Saya bukan contoh istri kedua yang sempurna. Tapi saya ingin jadi contoh bahwa siapa pun, dari status apa pun, berhak bangkit dan disembuhkan.”
Suasana hening. Beberapa peserta menyeka air mata.
> “Saya tidak menyuruh kalian berani berpisah, atau melawan. Tapi saya ingin kalian tahu: suara kalian berharga. Bahkan jika cuma didengar oleh diri sendiri.”
Tepuk tangan mengisi ruangan. Bukan karena Keysha menang. Tapi karena ia telah menjadi cermin kekuatan baru untuk banyak perempuan lain.
---
Malamnya, Keysha menulis di jurnal pribadinya:
> Aku tidak tahu akan seperti apa akhir kisahku. Tapi aku tahu, aku akan terus berjalan.
Dan jika luka ini adalah harga dari sebuah suara…
Maka aku akan membayarnya. Dengan penuh keberanian.