Bab 19

Matahari pagi menembus jendela rumah kecil Keysha dan Dimas. Suara burung yang bersahutan di luar seolah menyambut semangat baru di dalam hati Keysha. Di atas meja kayu mungil yang mulai penuh dengan coretan, kertas, dan laptop, duduk Keysha dengan pandangan penuh tekad.

Tiga minggu setelah sidang terakhir, hidupnya terasa seperti fase baru. Tak ada lagi panggilan media, tak ada pengadilan, tak ada penghakiman. Yang ada hanyalah satu: proses penyembuhan.

Buku yang diminta penerbit besar kini mulai ditulisnya dengan sepenuh hati. Setiap paragraf yang ia ketik adalah serpihan luka yang berhasil ia ubah jadi pelajaran. Ia tak menyebut nama. Ia tak membalas dendam. Ia hanya menulis tentang perjalanan menjadi utuh kembali.

> “Aku pernah memilih mencintai seseorang lebih dari mencintai diriku sendiri. Dan itu… adalah kesalahan yang paling panjang proses sembuhnya.”

Tiba-tiba, suara notifikasi email terdengar. Keysha menoleh sebentar, lalu mengernyit. Satu pesan masuk dari akun tak dikenal, dengan subjek yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat:

> “Tentang Raka — Ada yang belum kamu tahu.”

Tangannya sempat ragu untuk mengklik. Tapi rasa ingin tahu mengalahkan rasa takut.

> “Saya adalah mantan sahabat bisnis Raka. Dulu saya ikut terlibat dalam beberapa perusahaannya sebelum akhirnya saya mundur karena tidak tahan dengan cara dia memperlakukan perempuan.

Saya tahu ini mungkin bukan urusan saya. Tapi saya baru tahu siapa kamu setelah melihat sidangmu viral. Dan saya pikir kamu harus tahu…

Ada perempuan lain. Bukan hanya Nia. Bahkan bukan hanya Amanda. Ada satu perempuan… yang sampai hari ini masih menyembunyikan semuanya karena trauma. Saya tidak bisa menyebut namanya. Tapi saya bisa bantu kamu menghubunginya jika kamu siap.”

Keysha membeku di tempat.

Ada lagi?

Selama ini ia berpikir dirinya adalah korban satu-satunya yang pernah dekat secara personal. Tapi kalau yang dikatakan orang ini benar… berarti ada sesuatu yang jauh lebih dalam dan gelap tentang siapa Raka sebenarnya.

Dimas masuk ke ruangan, membawa dua gelas teh.

“Kamu kelihatan pucat. Ada apa?”

Keysha menyerahkan laptopnya. Dimas membaca pelan-pelan, lalu mendesah panjang.

“Menurut kamu, kita harus tanggapi ini?”

Keysha menunduk. “Aku nggak tahu… Tapi bagian dari diriku merasa... kalau aku diam sekarang, aku mungkin sama saja dengan mereka yang pernah menutup mata.”

Dimas duduk di sebelahnya. “Kita bisa jawab dengan hati-hati. Tanpa terburu-buru. Tapi kalau memang ada yang masih menyimpan luka karena Raka… dan mereka butuh suara, mungkin kamu bisa jadi jembatannya.”

Keysha mengangguk pelan. Ia tahu, jalan yang akan ditempuh tak akan mudah. Tapi ia juga tahu, jika dia punya suara, maka ia juga punya tanggung jawab.

---

Malam itu, Keysha membalas email tersebut.

> Terima kasih sudah menghubungi saya. Jika memang ada perempuan lain yang perlu ruang aman untuk bicara, saya bersedia membantu — bukan sebagai tokoh publik, tapi sebagai sesama perempuan yang pernah terluka.

Silakan beri tahu saya jika dia siap bicara, bahkan jika itu hanya lewat surat. Saya janji tidak akan menyebarkan apapun tanpa izin.

Pesan itu dikirim. Dan Keysha hanya bisa menunggu.

---

Beberapa hari berlalu.

Keysha kembali fokus pada bukunya. Ia menulis bab demi bab dengan jujur. Kadang ia menangis di tengah-tengah, kadang tertawa getir membaca tulisannya sendiri. Tapi setiap kali tangannya berhenti, ia mengingat satu hal:

> Jika kisah ini bisa menyelamatkan satu perempuan saja dari luka yang sama, maka setiap kata akan tetap layak ditulis.

Penerbit sudah mengirimkan ilustrasi sampul buku. Judul yang mereka pilih sederhana, namun sangat mencerminkan isi:

"Air Mata yang Disuarakan"

Oleh: Niki Nuraeni

Keysha menyentuh layar ponsel tempat desain itu dikirim. Jantungnya berdebar. Ia tak pernah mengira kisah luka bisa berubah menjadi harapan seperti ini.

Tapi tepat malam itu, email kedua dari akun misterius kembali masuk.

> “Dia siap bertemu. Tapi tidak di tempat umum. Dia memilih tempat yang tenang. Jika kamu bersedia, kami bisa atur pertemuan minggu depan, di sebuah rumah perlindungan untuk perempuan di Bandung.”

Keysha membaca ulang berkali-kali. Dimas membacanya juga dan menatap Keysha dengan cemas.

“Kamu yakin siap menghadapi ini?”

Keysha menatap suaminya — ya, pria yang mencintainya bukan karena luka, tapi karena dirinya yang ingin sembuh.

“Aku nggak bisa lanjut nulis kalau aku tahu ada yang masih tertinggal… tanpa pernah didengarkan.”

---

Satu minggu kemudian, Keysha dan Dimas tiba di Bandung. Di sebuah rumah perlindungan yang terletak di balik jalan kecil, sunyi dan dikelilingi taman sederhana, Keysha menunggu. Matanya menatap pintu kayu yang sebentar-sebentar terbuka untuk penghuni lain.

Hingga akhirnya, seorang perempuan muda berkerudung cokelat susu muncul, ditemani seorang konselor.

Dia tampak gugup, langkahnya kecil, dan matanya merah. Tapi saat melihat Keysha, dia langsung menunduk — dan air matanya mengalir.

“Terima kasih…” bisiknya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Karena kamu… aku nggak merasa sendiri lagi.”

Keysha mendekatinya perlahan. “Kamu nggak harus cerita sekarang. Aku di sini… cuma untuk dengar.”

Dan di ruangan sunyi itu, tanpa kamera, tanpa media, terjadilah pengakuan. Bukan untuk viral. Tapi untuk menyembuhkan luka yang selama ini dibungkam oleh ketakutan.

---

Malam harinya, di hotel kecil tempat mereka menginap, Keysha menulis satu kalimat baru di halaman bukunya yang masih kosong:

> “Air mata yang terdengar… bisa jadi pelita untuk mereka yang masih dalam gelap.”

---