Pagi itu, udara Bandung terasa lebih segar dari biasanya. Tapi di dalam dada Keysha, ada sesuatu yang berat—bukan ketakutan, melainkan kesadaran bahwa apa yang ia lakukan kini bukan lagi untuk dirinya sendiri.
Pertemuan dengan perempuan misterius minggu lalu telah mengubah banyak hal. Gadis itu, yang selama ini hidup dalam trauma karena perlakuan Raka, membuka kebenaran lain yang lebih gelap. Bukan hanya soal kekerasan verbal dan kontrol emosional, tapi juga manipulasi yang dilakukan di balik layar—dengan uang, kuasa, dan reputasi.
Dan yang paling mengejutkan adalah: ada lebih dari satu.
Keysha menatap layar laptopnya pagi itu. Tulisan di bukunya sudah mencapai 40.000 kata. Setiap bab ditulis dengan kejujuran, tanpa menyebut satu pun nama. Tapi setiap kisah punya pesan: Perempuan tidak dilahirkan untuk diam saat dilukai.
Dimas duduk di sampingnya, membawakan kopi dan senyuman tenang.
“Kamu udah siap untuk final draft?”
Keysha mengangguk. “Tapi sebelum aku kirim ke penerbit… aku pengin buka ruang diskusi terbuka untuk para penyintas lain. Bukan sebagai selebgram, bukan sebagai korban. Tapi sebagai teman.”
Dimas menatapnya, kagum.
“Kamu benar-benar berubah.”
Keysha tersenyum. “Aku nggak berubah. Aku cuma pulang ke versi diriku yang dulu pernah hilang.”
---
Seminggu kemudian, Keysha membuka ruang diskusi daring bertajuk #RuangKeysha, sebuah Zoom meeting terbuka bagi siapa pun yang ingin bicara—tanpa kamera, tanpa tekanan. Hanya suara. Hanya cerita.
Di malam pertama, lebih dari 200 perempuan bergabung.
Ada yang menangis saat bercerita, ada yang hanya diam sambil mendengarkan. Tapi satu hal pasti: semua merasa tidak sendiri.
> “Aku istri ketiga. Dibuang waktu hamil.”
“Aku mantan kekasihnya yang dianiaya secara emosional.”
“Aku anak dari pernikahan poligami. Aku tahu rasanya jadi yang diabaikan.”
Keysha hanya mendengar. Tak memotong. Tak menghakimi. Dan di akhir sesi, ia hanya berkata:
> “Terima kasih karena sudah memilih bicara. Karena suara kalian… bisa menyelamatkan orang lain yang masih terjebak dalam diam.”
---
Namun ketika harapan mulai tumbuh, ancaman pun datang.
Sore itu, sebuah surat dikirim ke email pribadi Keysha — dari kantor hukum milik keluarga Raka.
> “Kami meminta Anda menghentikan seluruh kegiatan publikasi, penyebaran cerita yang berkaitan dengan klien kami, dan tidak menerbitkan buku tersebut dalam bentuk apapun. Jika tidak, Anda akan kami gugat atas pencemaran nama baik dan fitnah secara publik.”
Keysha membacanya dengan tangan gemetar.
Dimas, yang duduk tak jauh, langsung membaca ulang surat itu.
“Mereka mulai panik.”
Keysha menatap layar, lalu menatap suaminya.
“Mereka pikir mereka bisa membuatku diam lagi… seperti dulu.”
“Lalu, kamu mau apa?”
Keysha menghela napas, lalu berkata pelan namun pasti:
“Aku tidak menulis tentang Raka. Aku menulis tentang perempuan yang mencoba bangkit dari trauma.”
Dimas menggenggam tangan istrinya. “Mereka bisa gugat, bisa ancam… tapi yang mereka nggak bisa kendalikan adalah kebenaran.”
---
Penerbit menelepon malam itu, setelah mengetahui ancaman yang masuk.
“Kami siap membela secara hukum jika buku ini tetap diterbitkan, Mbak Keysha. Tapi keputusan tetap di tangan Anda. Apakah Anda ingin tetap lanjut?”
Keysha terdiam.
Di dalam dirinya, ada ketakutan kecil yang masih berbisik: Bagaimana jika aku kalah lagi? Bagaimana jika semua ini hanya membuat luka baru?
Tapi suara lain—yang lebih kuat, lebih jujur—berbisik lebih keras:
> “Jika kamu mundur hari ini, siapa yang akan berdiri untuk mereka yang belum bisa bicara?”
Keysha menjawab di telepon, mantap:
“Saya tetap lanjut.”
---
Tiga hari setelahnya, ancaman berganti dengan sindiran di media sosial. Akun-akun buzzer mulai muncul, menuduh Keysha memanfaatkan trauma untuk mencari popularitas. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai "perempuan gagal move on."
Tapi kali ini, Keysha tak membalas.
Ia tak menulis klarifikasi. Ia tak mengunggah tanggapan. Ia hanya diam.
Dan di balik diam itu, ia menulis bab terakhir bukunya.
---
"Untuk Mereka yang Masih Bertahan"
> *Jika kamu membaca ini dalam keadaan menangis… percayalah, aku pernah menangis dengan cara yang sama.
Jika kamu masih bertahan demi anak, demi harga diri, demi cinta…
Aku mengerti.
Karena aku pun pernah begitu.
Tapi hari ini aku ingin kamu tahu satu hal:
Jika kamu harus memilih antara tetap dicintai atau tetap hidup,
Pilihlah hidup.
Karena dari hidup… cinta bisa tumbuh lagi. Tapi dari luka yang kamu diamkan, yang tumbuh hanya kehancuran.*
---
Saat tulisan itu selesai, Keysha menangis. Tapi kali ini bukan karena hancur.
Tapi karena akhirnya, dia benar-benar pulih.
---
Seminggu kemudian, buku Air Mata yang Disuarakan resmi dicetak perdana. Penerbit menyelenggarakan peluncuran sederhana di sebuah toko buku kecil di Jakarta. Tanpa lampu sorot. Tanpa drama. Hanya ruangan hangat dengan perempuan-perempuan yang datang bukan untuk berfoto, tapi untuk saling mendengarkan.
Di hadapan mereka, Keysha berkata:
> “Buku ini bukan tentang saya. Tapi tentang kalian. Tentang setiap perempuan yang pernah dicintai dengan cara yang menyakitkan… lalu tetap memilih untuk menyembuhkan diri, bukan membalas.”
Tepuk tangan menggema. Pelan tapi tulus.
Dan malam itu, Keysha menatap buku yang kini ada di tangannya sendiri.
Ia tahu, hidupnya tak akan selalu mudah.
Tapi ia juga tahu satu hal:
Tidak ada lagi yang bisa membungkam perempuan yang sudah berani bicara.