Toko-toko buku mulai memajang judul yang sebelumnya hanya hidup di kepala dan luka Keysha:
> "Air Mata yang Disuarakan" — Niki Nuraeni
Cover-nya sederhana. Warna pastel dengan siluet perempuan yang duduk memeluk dirinya sendiri, dikelilingi bunga-bunga yang mulai tumbuh. Tapi isi buku itu... menghantam banyak hati.
Dalam waktu seminggu, buku itu terjual 10.000 eksemplar.
Bukan karena sensasi. Tapi karena isi tulisannya menyentuh bagian terdalam perempuan-perempuan yang pernah diminta diam.
> “Saya baca bab tentang memilih hidup… dan malam itu saya berkemas keluar dari rumah yang menyiksa.”
“Saya pinjamkan buku ini ke ibu saya yang jadi istri kedua. Sekarang kami menangis bareng.”
“Saya bukan korban Raka, tapi saya korban ayah saya yang poligami dan kasar. Buku ini buat saya berani terapi.”
Keysha membacanya sambil menangis di sofa rumah kecil mereka. Dimas duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya.
“Sekarang kamu ngerti, kan, kenapa kamu nggak boleh mundur dari tulisan ini?”
Keysha mengangguk pelan. “Aku cuma perempuan biasa, Dim. Tapi ternyata luka biasa pun… bisa menyembuhkan banyak.”
---
Sementara itu, di sudut lain kota, Amanda menyendiri di rumah besar yang kini terasa dingin. Ia mematikan semua notifikasi media sosialnya. Tapi namanya terus muncul.
Ia membaca buku Keysha diam-diam, tanpa suara. Ia tak pernah menyangka perempuan yang dulu ia anggap lemah dan menjijikkan itu... kini menjadi suara banyak hati.
Di bab 6 buku itu, Amanda menemukan kalimat yang membuatnya terdiam:
> “Kadang, luka perempuan bukan cuma datang dari laki-laki. Tapi dari sesama perempuan yang ikut menyalahkan mereka karena ‘tidak tahu tempat.’ Padahal, kita semua tahu: tempat perempuan bukan untuk diinjak.”
Air mata Amanda jatuh perlahan. Untuk pertama kalinya... ia merasa kalah bukan karena kalah nama. Tapi karena Keysha menang sebagai manusia.
---
Di kantor Raka, suasana mencekam. Beberapa investor menarik diri. Beberapa kontrak kerja sama dibatalkan. Bukan karena skandal secara langsung, tapi karena "citra perusahaan yang tidak lagi sejalan dengan nilai keberagaman dan etika."
Raka membanting ponsel ke meja.
“Semua ini karena perempuan itu! Karena dia nulis seenaknya dan bikin seolah-olah aku monster!”
Asistennya hanya menunduk. Tak berani berkata apa pun.
Di dunia luar, Keysha tidak pernah menyebut nama. Tapi kebenaran punya caranya sendiri untuk dikenali, meski tak disebut.
Dan sekarang, Raka mulai merasakan konsekuensi dari semua pilihan yang dulu ia anggap biasa.
---
Sore itu, Keysha mendapat email dari organisasi perempuan internasional yang berbasis di Belanda.
> “Kami tertarik untuk mengundang Anda menjadi pembicara dalam forum Women Resilience Talk di Amsterdam, sebagai penulis sekaligus penyintas yang telah membangun ruang aman bagi sesama.”
Keysha terdiam lama.
Dulu, dirinya hanya perempuan yang menangis sendirian di kamar hotel, bertanya kenapa dunia tidak adil pada perempuan yang mencintai.
Sekarang, ia diundang untuk berdiri di panggung dunia—bukan untuk menangis, tapi untuk menyampaikan suara.
---
Dimas pulang sore itu dengan membawa makanan kesukaan mereka: mie tek-tek dan es teh manis.
“Ada apa?” tanyanya, melihat senyum Keysha yang mengembang pelan.
“Aku diundang ke Amsterdam,” jawab Keysha sambil menunjukkan email itu.
Dimas menatap layar, lalu wajah istrinya. “Wow. Jadi kamu akan pidato internasional?”
Keysha menatap Dimas dengan mata basah. “Aku masih perempuan yang sama, Dim. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku... aku merasa cukup.”
Dimas tersenyum, lalu menariknya ke pelukan.
“Kamu bukan cuma cukup. Kamu luar biasa.”
---
Tiga hari kemudian, Keysha tampil sebagai tamu dalam talk show TV nasional. Tapi ia menetapkan syarat: tidak boleh menyebut nama siapa pun yang terlibat dalam masa lalunya. Tidak ada dramatisasi. Hanya ruang berbagi.
Di akhir wawancara, pembawa acara bertanya,
> “Jika kamu bisa bicara pada dirimu yang dulu… yang masih terluka, masih mempertanyakan cinta, masih menggenggam luka… apa yang ingin kamu sampaikan?”
Keysha menatap kamera, lalu berkata dengan suara lembut:
> “Kamu nggak salah karena mencintai.
Tapi kamu akan salah jika kamu terus menyakiti dirimu sendiri demi mempertahankan cinta yang salah.”
“Lepaskan. Bukan karena kamu menyerah. Tapi karena kamu berhak hidup.”
Dan malam itu, media sosial kembali meledak. Bukan karena viral. Tapi karena banyak hati menemukan dirinya di dalam kalimat itu.
---
Amanda menonton acara itu dari kamarnya. Ia memeluk bantal dan membisu.
Bukan karena marah. Tapi karena kini, ia mulai paham: semua luka tidak harus dibalas. Kadang… cukup diakui.
Ia membuka lembar kosong di laptopnya, mengetik pelan:
> “Untuk pertama kalinya, aku ingin meminta maaf. Bukan untuk kembali, tapi untuk memulai bab baru. Tanpa dendam. Tanpa ego.”
---
Di akhir minggu itu, Keysha duduk di atas ranjang, menatap langit malam dari jendela.
“Dim?”
“Hm?”
“Kalau semua ini nggak pernah terjadi… mungkin aku masih jadi perempuan yang terus bertanya, kenapa hidup begini-begini saja.”
Dimas menoleh, mengusap rambutnya yang tergerai.
“Dan sekarang?”
Keysha tersenyum. “Sekarang aku tahu… luka memang menyakitkan. Tapi jika kita punya keberanian, luka juga bisa jadi cahaya.”