Bab 22

Satu minggu sebelum keberangkatan ke Amsterdam, hidup Keysha terasa seperti rollercoaster emosi yang tenang. Ia bangun pagi dengan kepala penuh persiapan: materi pidato, latihan bahasa Inggris, hingga detail kecil seperti gaun yang akan ia kenakan di forum internasional nanti.

Namun, hari itu, ada satu hal yang tak ada dalam daftar agendanya: telepon dari Amanda.

Panggilan itu masuk pukul 10.15 pagi. Nama Amanda tak muncul di layar, hanya nomor asing. Tapi Keysha tahu… ia tahu dari cara jantungnya berdetak pelan namun berat.

Ia sempat membiarkannya berdering. Tapi entah mengapa, jari-jarinya akhirnya menekan tombol angkat.

“Halo?”

Suara di seberang sana sempat hening.

Kemudian terdengar suara yang dulu pernah menyakiti, tapi kali ini terdengar sangat... rapuh.

> “Keysha… ini Amanda.”

Keysha terdiam.

“Maaf aku mengganggu. Aku tahu aku nggak berhak menghubungi kamu. Tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Langsung. Tanpa kamera. Tanpa publik. Hanya aku… dan kamu.”

Keysha menarik napas dalam.

“Untuk apa?” tanyanya pelan.

Amanda terdengar menghela napas. “Untuk berdamai. Kalau kamu bersedia.”

---

Keysha datang ke kafe kecil di Jakarta Selatan dengan hati waspada tapi tidak lagi penuh dendam. Ia mengenakan atasan putih polos dan celana panjang sederhana, tanpa make-up berlebihan. Kali ini, ia datang sebagai Keysha yang sudah pulih.

Amanda duduk di sudut kafe, mengenakan blus krem dan celana kain gelap. Rambutnya yang dulu selalu ditata kini diikat sederhana. Wajahnya tampak lelah. Bukan karena fisik. Tapi karena batin yang penuh beban.

Keysha duduk di depannya. Tak ada pelayan yang mereka panggil. Tak ada basa-basi. Hanya dua perempuan… yang pernah saling menyakiti karena satu lelaki, kini duduk di meja yang sama.

“Aku nggak minta maaf supaya kamu memaafkan. Aku tahu luka yang aku buat mungkin nggak bisa sembuh dengan kata-kata,” Amanda memulai dengan suara tenang.

Keysha menatap langsung ke matanya. “Kalau kamu sadar, kenapa kamu tetap lakukan semua itu dulu?”

Amanda tersenyum kecil, getir. “Karena aku takut. Takut kehilangan dia. Takut jadi perempuan yang ditinggal. Dan aku pikir… kalau aku bisa menjatuhkan kamu, aku bisa mempertahankannya.”

Matanya berkaca.

“Tapi ternyata, aku nggak kehilangan dia. Aku kehilangan diriku sendiri.”

Keysha menggenggam cangkir kosong di depannya.

“Dulu kamu bilang aku perempuan murahan. Tapi sekarang kamu tahu… aku cuma perempuan yang terlalu mencintai orang yang salah.”

Amanda mengangguk. “Dan aku… perempuan yang takut mengaku kalah.”

Hening sesaat.

Lalu Amanda mengeluarkan sebuah amplop. Ia dorong ke hadapan Keysha.

“Aku nulis surat ini sebelum aku punya keberanian bicara langsung. Tapi sekarang, aku tetap ingin kamu baca nanti. Bukan sekarang.”

Keysha menerimanya tanpa berkata-kata.

Amanda tersenyum tipis. “Kamu menang, Keysha. Tapi bukan karena kamu menghancurkan kami. Kamu menang… karena kamu memilih menyembuhkan.”

Air mata Amanda jatuh tanpa bisa ia tahan.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka saling mengenal, Keysha melihat Amanda sebagai perempuan. Bukan rival. Bukan musuh. Tapi sesama manusia yang juga terluka.

---

Sepulang dari kafe itu, Keysha duduk di sofa rumahnya, membuka amplop pelan.

Di dalamnya, hanya satu lembar surat dengan tulisan tangan rapi:

> *Keysha…

Aku minta maaf, bukan untuk dibalas. Tapi supaya aku bisa mulai menata hidupku tanpa kebencian.

Waktu aku melihatmu berdiri di pengadilan, aku iri. Tapi sekarang aku sadar, yang aku iri bukan dirimu. Tapi keberanianmu.

>

Aku pernah bilang kamu lemah. Ternyata kamu adalah yang paling kuat di antara kita semua.

>

Semoga setelah ini, kita nggak lagi jadi bayangan satu sama lain.

Semoga hidupmu damai.

— Amanda*

Keysha menahan napas, menatap surat itu lama. Tak ada senyum. Tak ada air mata. Hanya… kedamaian yang selama ini ia cari.

Ia tahu, ini bukan tentang persahabatan. Bukan tentang berdamai total.

Tapi ini adalah akhir dari kebencian yang mengikat mereka selama ini.

---

Malam itu, Keysha menulis dalam jurnal pribadinya:

> Hari ini aku bertemu masa laluku dalam bentuk yang berbeda.

Kami tak saling peluk, tak saling maafkan dengan dramatis. Tapi kami sama-sama mengaku... bahwa kami terluka.

Dan kadang, itu cukup untuk melepaskan beban yang selama ini mengunci langkah kita.

---

Beberapa hari kemudian, Keysha dan Dimas bersiap untuk keberangkatan ke Amsterdam. Dalam koper kecilnya, Keysha menyelipkan dua hal yang tak tercatat dalam daftar:

Buku pertamanya: Air Mata yang Disuarakan

Surat dari Amanda

“Siap?” tanya Dimas, menarik koper ke depan pintu.

Keysha tersenyum. “Siap berdiri untuk semua perempuan yang pernah merasa tak punya suara.”

Pesawat yang membawa mereka ke Eropa akan terbang malam itu.

Dan bagi Keysha… ini bukan lagi tentang dirinya. Tapi tentang suara yang tak boleh lagi dibungkam. Di mana pun. Oleh siapa pun.