Bab 23

Dingin Amsterdam menyeruak ke balik mantel hangat Keysha begitu ia melangkah keluar dari Schiphol Airport. Hembusan angin yang membawa aroma musim gugur menggelitik wajahnya, membuatnya menutup resleting jaket sampai leher.

“Ini pertama kalinya aku keluar negeri,” bisiknya, setengah tak percaya.

Dimas tersenyum di sampingnya. “Dan pertama kalinya kamu diundang bukan karena sensasi, tapi karena makna.”

Keysha mengangguk. “Aku cuma masih belum percaya, Dim. Beberapa bulan lalu aku hanya perempuan yang diselingkuhi dan dipermalukan. Sekarang… aku diminta bicara mewakili suara perempuan dari negaraku.”

Forum Women Resilience Talk akan berlangsung dua hari lagi. Tapi Keysha diundang lebih awal untuk ikut dalam sesi khusus bersama tokoh-tokoh perempuan dunia. Ada yang mantan korban human trafficking, ada yang aktivis pendidikan untuk istri muda di kawasan Afrika, dan ada pula perempuan berhijab dari Palestina yang menjadi jurnalis perang.

Di antara mereka semua, Keysha merasa paling sederhana. Tapi setiap orang yang menyapanya justru memperlakukannya sebagai teman seperjuangan, bukan selebriti. Dan itu, baginya, jauh lebih bermakna.

---

Dua hari kemudian, ruangan konferensi besar itu dipenuhi lebih dari 1.000 peserta dari seluruh dunia. Kamera media, penerjemah simultan, dan ratusan kursi terisi penuh.

Nama Keysha terpampang jelas di layar LED:

> "Keysha Ayu — Penulis Air Mata yang Disuarakan, Indonesia"

Saat namanya dipanggil, jantung Keysha berdetak lebih cepat. Tapi langkah kakinya tetap mantap. Ia mengenakan dress panjang berwarna dusty pink dan hijab satin krem. Penampilannya anggun, sederhana, namun berwibawa.

Sorotan lampu panggung membuat matanya sedikit menyipit. Tapi ia berdiri. Tegak.

Lalu ia mulai bicara.

> “Saya berdiri di sini, bukan sebagai tokoh besar. Tapi sebagai perempuan yang pernah duduk di lantai kamar mandi, menangis diam-diam karena merasa tidak punya suara.”

Ruangan hening. Semua telinga tertuju padanya.

> “Saya adalah istri kedua. Dulu saya malu untuk mengakuinya. Tapi lebih dari itu… saya adalah perempuan yang pernah percaya bahwa cinta mengharuskan saya menahan semua luka.

Saya salah. Cinta tidak pernah menuntut kita kehilangan harga diri.”

---

Di Indonesia, siaran langsung acara itu ditayangkan di kanal YouTube resmi organisasi. Tanpa disadari Keysha, jutaan mata menyaksikan pidatonya — termasuk Amanda.

Amanda duduk sendirian di ruang tamunya, layar laptop di pangkuannya, mata tak berkedip.

Saat Keysha melanjutkan pidatonya, Amanda menggenggam tangan sendiri begitu erat.

> “Saya tidak bercerita untuk menyudutkan. Saya bercerita agar perempuan lain tahu:

Kita boleh jatuh. Kita boleh salah mencintai. Tapi kita tidak boleh terus menyakiti diri sendiri demi mempertahankan ilusi kebahagiaan.”

Suara tepuk tangan perlahan terdengar, lalu menggelora.

Amanda tersenyum lirih. “Dia berhasil…”

---

Sementara itu, di sebuah ruang kerja mewah di Jakarta, Raka menatap layar laptopnya dengan wajah kaku. Ia menyaksikan pidato itu tanpa suara — namun isi tatapan Keysha tak bisa ia hindari.

Kata-katanya tak menyebut nama siapa pun. Tapi setiap kalimat terasa seperti cermin bagi semua yang selama ini ia anggap benar.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa kecil.

---

Kembali ke panggung, Keysha melanjutkan kalimat terakhirnya.

> “Saya menulis buku bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Tapi untuk menyelamatkan diri saya sendiri.

Dan kalau dari buku itu ada satu perempuan saja yang merasa punya keberanian baru… maka luka saya tidak sia-sia.”

Satu detik… dua detik… lalu seluruh ruangan berdiri memberi standing ovation. Kamera berputar menangkap wajah-wajah yang menangis, tersenyum, dan bangga. Para panelis lainnya pun berdiri dan memeluk Keysha bergantian.

Di sudut panggung, Dimas menatap istrinya dengan mata berkaca-kaca.

Ia tahu: Keysha telah menaklukkan bukan hanya rasa takut… tapi dunia.

---

Malam harinya, Keysha duduk di balkon hotel, mengenakan sweater tebal dan memandangi kanal Amsterdam yang tenang. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma air dan daun-daun basah.

Dimas datang membawakan secangkir teh.

“Kamu luar biasa hari ini.”

Keysha tersenyum. “Aku tadi nyaris gemetaran.”

“Tapi kamu nyampein semuanya… kayak kamu bicara buat seribu versi dirimu di masa lalu.”

Keysha menatap langit malam. “Aku pernah merasa hidupku selesai waktu ditinggal dan dipermalukan. Tapi ternyata, itu baru awal dari segalanya.”

Dimas meraih tangannya.

“Kalau sekarang kamu diminta memilih... jadi istri Raka yang kaya raya tapi hidup dalam luka, atau jadi perempuan biasa yang bebas bicara di hadapan dunia, kamu pilih mana?”

Keysha menjawab tanpa ragu. “Aku pilih jadi aku yang sekarang. Meskipun penuh luka… tapi sekarang aku berdiri tanpa takut lagi.”

---

Tiga hari setelah pidato itu, akun media sosial Keysha dibanjiri pesan dari berbagai negara. Banyak yang menerjemahkan pidatonya ke berbagai bahasa. Bahkan salah satu bagian pidatonya viral sebagai quote:

> “Luka bukan aib. Diam yang berkepanjanganlah yang mematikan.”

Penerbit meminta izin untuk menerbitkan versi internasional dari bukunya.

Dan seorang jurnalis dari BBC mengirim email berjudul:

> “Can We Tell Your Story to the World?”

---

Namun, dari semua pesan dan pujian itu, satu pesan membuat Keysha benar-benar menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya, ia tahu perjuangannya benar-benar sampai ke tempat yang ia tuju.

> “Hai, aku korban KDRT dari suamiku yang ustaz di kampung. Aku nggak bisa bicara ke siapa pun. Tapi setelah nonton pidatomu, aku beranikan diri lapor ke polisi tadi pagi. Makasih, Kak Keysha. Doain aku kuat ya.”

Keysha menutup ponselnya, lalu menulis di jurnal:

> Tuhan… ternyata luka yang kutanggung bukan sia-sia.

Sekarang aku tahu… air mata istri kedua ini,

Telah menjadi air mata kebangkitan bagi yang lain.