Bab 24

Langit Jakarta masih sedikit mendung ketika pesawat dari Amsterdam mendarat di Soekarno-Hatta. Keysha memandangi jendela kecil pesawat, menyaksikan tanah kelahirannya kembali setelah perjalanan yang mengubah hidupnya.

Bersama Dimas, ia melangkah keluar dari terminal internasional. Tak ada penyambutan media besar-besaran. Hanya beberapa staf penerbit dan dua aktivis perempuan yang menunggu dengan senyum hangat dan pelukan erat.

“Selamat pulang, Kak Keysha,” ucap salah satu aktivis, memeluknya. “Kamu udah bukan hanya suara kita… kamu cahaya buat banyak dari kami.”

Keysha tersenyum penuh haru. “Aku cuma menulis luka. Tapi kalian yang membuatnya punya makna.”

---

Hari-hari pertama pasca-kepulangan terasa padat namun menyenangkan. Ia diundang di berbagai diskusi komunitas, kelas menulis trauma healing, dan beberapa kampus mengundangnya sebagai pembicara tamu. Namun di tengah segala kesibukan itu, Keysha menjaga satu hal: ia tetap pulang ke rumah, tetap memasak sendiri untuk Dimas, dan tetap mencatat di jurnal hariannya.

Tapi hidup selalu punya cara menggoyang ketenangan.

Pagi itu, di antara tumpukan email yang ia terima, sebuah pesan dengan subjek mencolok membuatnya berhenti:

> "Investigasi Proyek Gelap: Korban Lainnya Ingin Didengar."

Dari: Reyhan, Wartawan Independen

Keysha membuka email itu pelan-pelan.

> *Halo Mbak Keysha,

Nama saya Reyhan. Saya wartawan lepas yang sedang menyusun investigasi mengenai jaringan kekuasaan dan kekerasan emosional yang dilakukan oleh figur publik laki-laki terhadap perempuan di balik layar.

Saya membaca buku Mbak Keysha, dan dari sana, dua korban baru menghubungi saya. Mereka bukan publik figur, bukan istri, bukan selingkuhan. Tapi mereka sama-sama pernah dilukai oleh… R, dengan pola yang sangat mirip.

Mereka tidak berani bicara ke publik. Tapi mereka percaya pada Mbak Keysha.

Bolehkah saya minta waktu bertemu, bukan untuk wawancara, tapi untuk menyampaikan pesan mereka secara pribadi?*

Keysha menatap layar cukup lama. Kali ini, bukan trauma yang membuatnya diam — tapi beban moral. Ia tak lagi hanya menceritakan luka sendiri. Kini, ia berdiri membawa suara mereka yang belum punya ruang.

---

Sore itu, di sebuah kafe sepi di bilangan Cipete, Keysha bertemu Reyhan. Wartawan itu tampak muda, idealis, dan sopan.

“Ada dua perempuan yang menghubungi saya. Salah satunya mantan mahasiswa magang di perusahaan milik R. Satu lagi mantan staf rumah tangga yang dipecat tiba-tiba saat hamil,” ujar Reyhan perlahan. “Keduanya tidak saling kenal. Tapi pola ceritanya… sangat mirip.”

Keysha menggenggam cangkir kopinya, mencoba menenangkan napasnya.

“Mereka… percaya saya bisa bantu?”

“Mereka bilang: ‘Kami tahu dia nggak akan pernah dihukum secara hukum. Tapi kalau Keysha bersedia menyampaikan cerita kami, mungkin luka kami punya bentuk.’”

Keysha menatap Reyhan. “Tolong sampaikan ke mereka… aku nggak akan tulis apapun tanpa izin. Tapi kalau mereka mau, aku akan dengar. Aku akan hadir. Bukan sebagai penulis. Tapi sebagai perempuan yang pernah merasa tak punya siapa-siapa.”

---

Malamnya, Dimas menatap Keysha saat mereka duduk di beranda rumah kecil mereka. Lampu gantung kuning menyorot lembut wajah istrinya yang mulai terlihat lelah.

“Sayang… aku tahu kamu kuat. Tapi kamu nggak harus menanggung semua cerita ini sendirian.”

Keysha tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi mereka datang bukan karena aku siapa-siapa. Mereka datang karena aku juga pernah jadi mereka.”

Dimas menarik napas pelan, lalu menatap Keysha serius.

“Aku pengen tanya sesuatu yang udah lama aku simpan.”

Keysha menoleh, sedikit cemas. “Apa?”

Dimas menggenggam tangannya. “Kamu udah pulih. Kamu udah bantu banyak orang. Tapi... apa kamu mau mulai lagi hidup yang baru… sebagai seorang ibu?”

Keysha terdiam.

Pertanyaan itu seperti kilat di langit yang tenang.

“Aku nggak mau kita ngeburu waktu,” lanjut Dimas pelan. “Tapi aku ngebayangin... bagaimana kalau suatu hari anak perempuan kita nanti baca bukumu. Dia tahu ibunya bukan perempuan sempurna. Tapi ibunya perempuan yang memilih berdiri.”

Air mata Keysha mengalir pelan, tanpa suara.

“Dulu aku takut punya anak, Dim. Takut dia akan tahu ibunya pernah disia-siakan. Tapi sekarang… aku ingin dia tahu bahwa ibunya pernah berdarah-darah, dan tetap bangkit.”

---

Malam itu, sebelum tidur, Keysha membuka jurnalnya dan menulis:

> Hari ini aku ditanya, apakah aku siap menjadi ibu?

Kupikir jawabannya adalah: aku siap… bukan karena luka sudah sembuh. Tapi karena luka itu telah berubah bentuk — jadi pelindung, bukan lagi belenggu.

---

Beberapa hari kemudian, Keysha menerima pesan dari Reyhan:

> Keduanya bersedia bertemu. Bukan untuk diwawancara. Tapi hanya ingin duduk bersama perempuan yang tidak akan menilai. Mereka percaya kamu bisa membantu mereka berdamai dengan diri sendiri.

Keysha hanya membalas singkat:

> Kapan dan di mana. Aku akan hadir.

Dan malam itu, ia kembali membuka laptop, menulis bab baru di naskah buku keduanya:

---

Judul sementara:

“Kami Pernah Diam.”

> Buku pertama adalah tentang air mata yang tumpah dari diriku.

Buku kedua adalah tentang air mata yang tak pernah sempat mengalir dari mereka…

Tapi kali ini, aku akan bantu mereka bersuara.

Karena dunia harus tahu:

Perempuan yang diam bukan berarti lemah.

Kadang, mereka hanya menunggu tempat yang aman untuk bicara.