Sore itu langit Jakarta mendung. Awan menggantung rendah seperti mewakili perasaan yang menggumpal di dada Keysha. Ia duduk di sebuah ruang privat milik komunitas perempuan, bersama Reyhan — wartawan muda yang mempertemukannya dengan dua perempuan lain: Laras dan Mira.
Tak ada kamera. Tak ada catatan. Hanya segelas teh hangat, bantal-bantal kecil, dan tiga hati yang pernah remuk.
Laras duduk sambil meremas jemarinya sendiri. Ia mengenakan kerudung hitam polos dan mata yang penuh was-was. Sementara Mira — perempuan muda berusia 23 tahun, hanya menunduk. Bekas luka di pergelangan tangan kirinya terlihat samar-samar.
Keysha menatap mereka lembut.
“Terima kasih udah datang. Aku tahu… ini nggak mudah.”
Laras mengangkat wajahnya pelan. “Aku... dulu pikir aku sendirian. Ternyata kamu juga pernah ada di tempat aku berdiri. Di tempat Mira berdiri.”
Keysha tersenyum tipis. “Aku juga dulu pikir gitu. Tapi ternyata kita banyak. Hanya saja, kita dilatih untuk diam.”
Mira akhirnya bicara, dengan suara pelan dan hampir tak terdengar. “Aku kerja di rumah dia. Di rumah Raka. Dulu... waktu istri sah-nya lagi umrah.”
Keysha mengangguk pelan. Ia tak perlu mendengar semua detail. Yang penting, Mira bicara.
“Dia baik banget di awal. Kasih uang, kasih perhatian. Tapi... setelah aku nolak, dia mulai teror aku. Akhirnya aku dipecat. Dan... dan... aku sempat hamil,” Mira menunduk, bahunya bergetar.
Laras meneteskan air mata.
“Dia manajerku waktu aku kerja magang di divisi PR perusahaannya. Awalnya dia mentor yang sangat... mendukung. Tapi setelah aku nolak ikut ke hotel ‘buat diskusi proyek,’ aku dibekukan, nggak dapat rekomendasi, dan akhirnya resign.”
Keysha menghela napas panjang. Ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan mereka berdua.
“Kalian nggak salah. Dan sekarang... luka kalian sudah mulai punya bentuk. Nggak perlu semua orang tahu. Tapi kalian tahu… kalian nggak sendiri lagi.”
---
Setelah pertemuan itu, Keysha memutuskan satu hal besar: ia akan menulis buku keduanya. Tapi kali ini, bukan tentang dirinya.
Ia akan menulis dengan izin, mengganti nama-nama, dan memberi panggung bagi suara yang selama ini terkubur.
Dimas mendukung sepenuhnya.
“Mau judulnya apa?” tanya Dimas sambil menuang teh di meja kerja Keysha.
Keysha menatap naskah yang baru ditulis satu halaman.
“Kami Pernah Diam. Tapi sekarang... kami memilih bicara.”
---
Namun dunia tak selalu tenang ketika kebenaran mulai terdengar.
Malam itu, sebuah paket tanpa nama datang ke rumah Keysha.
Isinya satu flashdisk dan satu kertas kecil bertuliskan:
> “Hati-hati. Kamu pikir kamu sedang menyuarakan kebenaran? Satu langkah lagi, semua tentang masa lalumu akan kuangkat. Kamu bukan sebersih itu.”
Keysha terdiam. Tangannya sedikit gemetar.
Dimas langsung merebut kertas itu dan membacanya.
“Aku curiga ini dari orang suruhan Raka.”
Keysha mengangguk. “Dia mulai panik.”
Dimas menatap Keysha lekat. “Kamu masih yakin mau terusin semua ini?”
Keysha menatap layar laptop-nya. Naskah Kami Pernah Diam terbuka, dan kalimat terakhir yang ia tulis sore tadi adalah:
> “Mereka tidak ingin jadi terkenal. Mereka hanya ingin tidak dihantui seumur hidup oleh rasa bersalah atas sesuatu yang bukan kesalahan mereka.”
Dengan suara mantap, ia menjawab,
“Aku nggak bisa mundur hanya karena takut. Karena kalau aku mundur... siapa lagi yang bisa mereka datangi?”
---
Beberapa hari kemudian, Reyhan datang dengan berita mengejutkan. Salah satu korban lain — bukan Laras atau Mira — bersedia bicara di media, asalkan wajahnya diblur dan identitas disamarkan.
Keysha takjub. Ini langkah besar.
“Dia bilang... ‘Keysha bikin aku percaya bahwa aku layak didengar tanpa harus disalahkan.’” ujar Reyhan.
Keysha mengangguk. Matanya berkaca.
“Aku akan bantu. Bukan sebagai penulis. Tapi sebagai perempuan yang tahu rasanya... takut, sendiri, dan dipojokkan.”
---
Malam itu, Keysha membuka halaman kosong di jurnal pribadinya dan menulis:
> Luka kita bukan untuk pamer. Tapi jika disimpan terlalu lama, ia membusuk.
Ternyata, ketika kita bicara... luka itu tidak lagi sakit. Ia berubah jadi jembatan.
Dan jauh di sudut kota Jakarta, Raka membaca laporan dari tim medianya. Semakin banyak artikel yang menyuarakan perempuan korban kekuasaan struktural. Tak ada nama yang disebut, tapi pola-pola mulai terbaca.
Raka melempar dokumen ke meja. “Hancurkan dia. Bikin publik nggak percaya lagi sama dia.”
Asisten yang dulu pernah berdiri tegak, kini hanya bisa menunduk, lalu berkata pelan:
“Pak… masyarakat sekarang udah beda. Mereka nggak mudah dibungkam dengan fitnah.”
Raka menatap tajam. “Kau di pihak siapa?”
Asisten itu menunduk. Dan diam-diam, mulai memikirkan resign.
---
Keesokan harinya, Keysha menghadiri acara komunitas penulis perempuan. Di sesi tanya jawab, seorang gadis SMA mengangkat tangan, suara bergetar.
“Kak… kalau Kakak dulu nggak nulis, apa Kakak tetap bisa pulih?”
Keysha tersenyum.
“Kalau aku nggak nulis, mungkin aku masih menyalahkan diriku sendiri.
Tulisan bukan cara semua orang sembuh. Tapi bagiku… menulis adalah cara aku bicara saat aku tak punya siapa pun.”
Gadis itu mengangguk pelan. “Aku juga pengen sembuh. Tapi aku belum berani.”
Keysha mendekat, memeluk gadis itu dan berbisik:
> “Nggak apa-apa. Yang penting… kamu tahu kamu berhak sembuh.”