Bab 26

Keysha membuka ponselnya pagi itu dengan perasaan aneh. Ada lebih dari seratus notifikasi dari Instagram, Twitter, dan email. Sebagian besar berasal dari tagar yang sedang naik daun:

#AirMataIstriKeduaHoax

Wajahnya langsung pucat. Tangannya gemetar ketika membuka tautan yang dikirim seorang sahabat komunitas. Di sana, terpampang sebuah artikel yang mencatut namanya:

> “Penulis Buku ‘Air Mata’ Ternyata Pernah Jadi Simpanan Pejabat?”

(Sumber anonim mengatakan ia pernah menerima transfer ratusan juta dan hadiah mobil dalam hubungan rahasia berdurasi dua tahun dengan seorang tokoh politik ternama.)

Keysha menutup layar. Napasnya terasa berat.

“Ini dimulai,” gumamnya.

Dimas yang baru keluar dari kamar mandi, melihat ekspresi wajah istrinya langsung waspada. “Apa itu?”

Keysha menunjukkan artikel itu. Dimas membacanya cepat.

“Ini… jelas fitnah. Dan gayanya familiar. Ini pasti bagian dari skenario Raka.”

Keysha mengangguk pelan. “Dia mulai membalikkan cerita. Mencoba menciptakan keraguan.”

---

Siang itu, Keysha menerima telepon dari penerbitnya.

“Mbak, kita tenang dulu ya. Jangan tanggapi di media sosial. Tapi tim legal kami sudah bergerak. Artikel itu tidak berdasar dan menggunakan sumber anonim. Kami siap dampingi, ya.”

Keysha menghela napas. “Terima kasih. Tapi saya juga nggak bisa diam terlalu lama.”

---

Malamnya, saat suasana rumah mulai tenang, Keysha menyalakan laptop dan menulis sebuah unggahan panjang di akun Instagram pribadinya:

> “Saya bukan perempuan sempurna. Saya pernah mencintai dengan cara yang salah. Tapi saya tidak pernah menjual luka saya demi sensasi.

Buku saya bukan tentang membalas dendam, tapi tentang menyelamatkan diri.

Dan kalau ada yang merasa terancam dengan keberanian perempuan-perempuan bicara… mungkin karena mereka tahu, cerita ini bukan fiksi.”

Dalam waktu kurang dari satu jam, kolom komentarnya dibanjiri dukungan. Dari pembaca, penyintas, aktivis, dan bahkan beberapa tokoh publik yang pernah membaca bukunya.

> “Kami percaya padamu, Keysha.”

“Kalau suara perempuan dibungkam pakai fitnah, kita semua bisa jadi korban selanjutnya.”

“Terus berdiri, Kak. Kamu cahaya bagi kami.”

Dimas memeluk bahu Keysha sambil menatap layar ponsel bersama.

“Kamu nggak sendirian. Sekarang banyak orang tahu… kamu sedang menghadapi kekuatan yang takut pada kebenaran.”

---

Sementara itu, di balik layar, sebuah podcast anonim dengan format suara saja bernama “Suara Tanpa Nama” merilis episode baru berjudul:

> “Saya Bukan yang Pertama, dan Mungkin Bukan yang Terakhir.”

Suara perempuan muda terdengar jelas — Mira.

> “Saya cerita bukan buat menjatuhkan siapa pun. Tapi karena saya nggak bisa tidur kalau diam terus.

Dia pikir karena saya staf rumah tangga, saya nggak akan didengar.

Tapi sekarang, saya mau bicara... meskipun nama saya disamarkan.

Saya ingin perempuan lain tahu… suara mereka juga penting.”

Podcast itu viral dalam waktu 12 jam.

Tagar baru pun naik: #KamiPernahDiam

---

Keesokan harinya, Reyhan mengirim pesan ke Keysha:

> “Keysha, ini gila. Setelah podcast Mira naik, lebih dari lima orang menghubungi akun komunitas kami. Mereka cerita hal yang sama: intimidasi, pelecehan, dikucilkan setelah menolak ajakan ‘khusus’ dari Raka.”

Keysha membalas:

> “Aku akan bantu kamu klasifikasi cerita mereka. Tapi kita pastikan keamanan mereka dulu, ya.”

---

Di sisi lain kota, Raka marah besar. Ia membanting gelas ke lantai ruang kerjanya.

“Kenapa masih ada suara-suara kayak gini? Kenapa kalian nggak bisa bungkam satu orang perempuan saja?!”

Orang kepercayaannya hanya menunduk, lalu berkata hati-hati, “Karena sekarang satu perempuan itu… sudah jadi suara banyak orang, Pak.”

---

Malam itu, Keysha duduk di depan laptop. Ia membuka naskah buku kedua, lalu mulai menambahkan satu bab baru:

---

Bab 9 — Mereka Ingin Kita Takut

> *Mereka bilang kita pembohong.

Mereka tuduh kita cari panggung.

Tapi mereka lupa… kalau panggung ini awalnya dibangun dari luka yang mereka sebabkan sendiri.

Fitnah bukan senjata yang baru. Tapi sekarang kita punya kekuatan baru: keberanian yang saling menular.

>

Dan saat satu perempuan bicara,

yang lain mulai bangkit.

Yang lainnya mulai percaya,

bahwa suara mereka pun pantas didengar.*

---

Keysha menatap halaman itu dengan dada sesak — bukan karena takut, tapi karena penuh.

Penuh dengan tekad.

Penuh dengan keberanian yang tak lagi bisa dikurung oleh ancaman.

---

Sebelum tidur, ia dan Dimas berbincang ringan di ranjang.

“Gimana rasanya diserang fitnah di pagi hari, dan disemangati ribuan orang di malam harinya?” tanya Dimas sambil menyentuh rambut Keysha lembut.

Keysha tersenyum. “Rasanya… capek, tapi juga terharu. Karena sekarang, akhirnya aku sadar... aku nggak berdiri sendirian.”

Dimas memeluknya. “Kalau nanti badai ini makin besar, aku tetap di sampingmu. Tapi aku tahu... kamu bahkan akan tetap berdiri kalau aku nggak ada.”

“Jangan ngomong gitu,” kata Keysha pelan.

Dimas mencium keningnya. “Aku serius. Kamu bukan perempuan yang butuh diselamatkan. Kamu perempuan yang menyelamatkan.”

Dan malam itu, mereka tertidur dalam ketenangan baru — bukan karena dunia sudah damai, tapi karena mereka tahu, mereka sedang memperjuangkan suara-suara yang selama ini dikubur oleh ketakutan.