Bab 27

Sinar matahari pagi menyusup pelan ke jendela rumah Keysha. Ia baru saja menyesap teh hangatnya ketika ponselnya bergetar. Pesan dari Reyhan muncul di layar:

> “Kejaksaan sedang mempertimbangkan membuka investigasi informal. Tapi mereka butuh minimal satu pernyataan resmi dari korban atau saksi.”

Keysha menelan ludah. Ini bukan hal kecil.

Ia tahu, jika ia setuju, bukan hanya namanya yang dipertaruhkan — tapi juga keamanan para perempuan lain yang selama ini berdiri di belakang layar.

Dimas masuk ke dapur dan melihat ekspresi istrinya. “Apa itu?”

Keysha memberikan ponselnya. Dimas membaca cepat, lalu duduk di seberangnya.

“Ini langkah besar. Tapi juga langkah berat.”

Keysha mengangguk. “Aku takut. Tapi... lebih takut kalau perempuan-perempuan itu nggak dapat keadilan karena aku memilih diam.”

Dimas diam sesaat, lalu berkata pelan, “Aku nggak akan maksa kamu. Tapi kalau kamu pilih berdiri... aku akan berdiri di sampingmu.”

---

Hari itu, Keysha menemui Laras dan Mira. Mereka bertiga duduk di ruang komunitas, bersama dua aktivis hukum perempuan.

“Aku nggak akan maksa kalian,” ucap Keysha pelan. “Tapi kejaksaan sedang mempertimbangkan buka jalur penyelidikan. Tapi kita butuh satu langkah awal.”

Laras menarik napas panjang. “Kalau aku maju... aku bakal dipecat dari kerjaanku sekarang. Aku satu-satunya yang bantu keuangan adik-adik.”

Mira mengangguk. “Aku takut, Kak. Tapi... aku juga muak merasa hina terus-terusan. Padahal aku nggak salah.”

Mereka bertiga saling pandang, dan dalam keheningan itu, Keysha berkata pelan, “Kalau kalian belum siap... aku yang akan jadi saksi pertama. Aku nggak bisa bawa semua cerita kalian ke hukum, tapi aku bisa buka jalan.”

Mata Laras berkaca-kaca. Mira langsung memeluk Keysha.

“Kakak nggak harus ngelakuin semua ini sendiri…”

Keysha memeluk mereka balik. “Aku tahu. Tapi aku mau jadi suara pertama yang mengetuk pintu keadilan.”

---

Dua hari kemudian, Keysha berdiri di depan gedung kejaksaan, mengenakan blazer hitam dan jilbab abu-abu. Di sampingnya, Dimas menggenggam tangannya erat.

Langkah mereka terasa berat tapi pasti.

Di dalam ruang pertemuan tertutup, ia duduk bersama dua jaksa perempuan. Tidak ada kamera. Tidak ada wartawan.

Hanya suara, kebenaran, dan keberanian.

“Saya bersedia memberi keterangan sebagai saksi,” ucap Keysha mantap. “Saya tidak melapor sebagai korban kekerasan fisik, tapi saya pernah mengalami tekanan mental, pengabaian hak sebagai istri, serta kesaksian pribadi dari korban-korban lain yang datang ke saya dengan pola yang serupa.”

Jaksa perempuan itu mengangguk pelan.

“Apakah Ibu bersedia hadir jika kami lanjutkan ke tahap investigasi formal?”

Keysha menarik napas panjang.

“Saya siap. Tapi saya minta satu hal: lindungi mereka yang masih takut.”

---

Sore itu, usai keluar dari kejaksaan, Keysha tidak langsung pulang. Ia dan Dimas berjalan di taman kecil dekat situ, duduk di bangku sambil menikmati udara yang mulai dingin.

“Aku nggak tahu ini akan berakhir kayak apa,” ujar Keysha pelan.

“Tapi kamu tahu kamu sudah mulai sesuatu yang besar,” balas Dimas.

Keysha menoleh. “Aku nggak pernah bayangin hidupku akan seperti ini. Dulu aku cuma pengen jadi istri yang bahagia. Sekarang... aku jadi orang yang harus melindungi banyak perempuan.”

“Karena kamu memang kuat. Bukan karena nggak pernah takut. Tapi karena kamu tetap jalan meski takut.”

Keysha memegang tangan Dimas erat. “Kalau nanti kita punya anak perempuan… aku pengen dia tumbuh tahu bahwa suara ibunya pernah membantu perempuan lain berdiri.”

---

Di sisi lain kota, Raka duduk gelisah di ruang kerjanya yang mewah. Asistennya masuk dengan wajah tegang.

“Pak, kami dapat informasi dari dalam. Keysha sudah menyampaikan keterangan resmi ke kejaksaan.”

Raka mencengkeram sandaran kursinya.

“Dia nekat.”

Asisten itu menambahkan, “Dan katanya… ada potensi korban lain ikut maju. Bahkan beberapa aktivis dan pengacara sudah siap dampingi.”

Wajah Raka berubah pucat.

“Bersihkan semua. Kontak media. Siapkan pernyataan bantahan. Sebarkan ‘kebetulan’ soal masa lalu Keysha. Bikin masyarakat ragu.”

“Tapi, Pak—”

“Lakukan!” bentaknya.

Namun bahkan asistennya kini mulai berpikir dua kali: Apakah mempertahankan jabatan Raka pantas dengan harga diamnya para korban?

---

Malam harinya, Keysha menerima surat elektronik dari salah satu korban yang dulu menolak bicara:

> “Kak Keysha, saya dengar Kakak sudah maju ke kejaksaan.

Saya... ingin ikut bicara. Tapi saya nggak mau muncul di media.

Saya hanya mau ikut menyampaikan kronologi saya secara tertulis.

Kalau Kak Keysha percaya saya, saya akan kirim semuanya minggu ini.

Terima kasih sudah berani duluan. Saya ikut karena Kakak lebih dulu membuka jalan.”

Keysha menahan air matanya, menatap layar sambil menggigit bibir.

Ia membalas:

> “Aku percaya kamu. Dan kamu nggak perlu jadi siapa-siapa untuk layak didengar. Aku tunggu ceritamu. Dengan segala hormat.”

---

Di dalam jurnalnya malam itu, Keysha menulis:

> *Aku pernah berdiri di depan cermin dan merasa hidupku hancur. Tapi hari ini, aku berdiri di depan hukum, bukan untuk membalas…

Tapi untuk menghentikan luka yang berulang.

Diam dulu adalah pilihanku.

Tapi sekarang, diam bukan lagi aman.

Karena terlalu banyak yang menyalahgunakan kebisuan kita.*

---