Bab 28

Pagi itu, dunia maya mendadak gaduh.

Sebuah berita muncul di layar-layar ponsel masyarakat Indonesia:

> “Raka Wicaksana Diusulkan Menjadi Wakil Menteri Komunikasi dan Informasi.”

Keysha yang sedang sarapan bersama Dimas hanya bisa menatap layar dengan napas tercekat. Tangannya gemetar.

“Ini bukan sekadar promosi jabatan,” ucapnya pelan. “Ini pernyataan simbolik bahwa dia masih berkuasa, dan luka kita dianggap tak penting.”

Dimas menatap wajah istrinya yang mulai memucat. “Kamu tahu harus apa?”

Keysha menarik napas dalam. “Aku nggak bisa diam.”

---

Siang itu, Keysha menghubungi Reyhan, juga dua pengacara dari komunitas advokasi perempuan.

“Aku minta bantuannya. Aku ingin mengadakan surat terbuka, ditandatangani oleh para penyintas, aktivis, dan tokoh publik yang pernah menyuarakan isu serupa. Kalau negara memilih lupa, maka biar publik yang mengingat.”

Reyhan langsung menyambut. “Kita buat gerakan digital. Petisi, surat terbuka, dan dokumentasi testimoni yang aman secara hukum. Tapi kamu harus siap. Serangan balasan bisa datang lebih gila.”

Keysha menatap layar Zoom rapat kecil mereka, lalu berkata dengan mantap:

> “Kalau aku diam saat dia naik jabatan, berarti aku mengkhianati semua perempuan yang pernah datang padaku membawa luka mereka.”

---

Tiga hari berikutnya, gerakan bertajuk #BukanPemimpinKami diluncurkan.

Isi surat terbukanya menggema:

> Kami, perempuan-perempuan yang pernah terluka, perempuan-perempuan yang pernah diam, menyatakan keberatan kami atas pencalonan seseorang yang diduga terlibat dalam praktik kekuasaan yang merugikan secara emosional, struktural, dan seksual terhadap perempuan.

Kami tidak menyebut nama. Tapi jika negara tetap membutakan diri, kami akan bantu mereka melihat.

Surat itu ditandatangani oleh lebih dari 300 orang, termasuk penulis, aktivis, dosen, psikolog, dan dua mantan jurnalis.

Tak lama kemudian, media sosial pun meledak:

> “Kalau kita percaya perempuan bicara di ruang terapi, kenapa kita diam saat mereka bicara di ruang publik?”

“Jangan jadikan kursi pejabat sebagai tempat pelarian dari pertanggungjawaban.”

“Kami bersama Keysha. Suara perempuan bukan ancaman. Mereka peringatan.”

---

Raka yang sedang melakukan pertemuan informal dengan tim politiknya mendadak menerima ponsel dari asistennya. Wajahnya menegang membaca semua berita dan trending topic.

“Ini sabotase,” katanya dingin. “Cuma karena satu buku murahan, reputasi saya hampir hancur?”

“Pak, petisi sudah mencapai lima puluh ribu tanda tangan dalam dua hari. Dan sekarang pihak kejaksaan juga sedang memverifikasi pernyataan korban lain.”

Raka menatap ke luar jendela. “Kalau mereka pikir bisa jatuhkan aku dengan tulisan dan air mata, mereka salah.”

Namun dalam hatinya, ia mulai goyah.

---

Di sisi lain, Keysha menerima kabar penting dari pengacara komunitas:

> “Keysha, bukti kronologis dari empat korban tambahan sudah cukup kuat untuk membuka jalur investigasi terbuka. Artinya, Raka bisa dipanggil untuk klarifikasi hukum sebagai pihak yang diduga melakukan pelanggaran etik dan kekerasan emosional.”

Keysha menggenggam ponselnya erat.

“Kalau dia datang, dia akan tampil sebagai pelaku. Bukan lagi hanya nama dalam bayang-bayang.”

“Ya,” jawab pengacara itu. “Dan semua dimulai dari kamu.”

---

Sore itu, Keysha berdiri di depan jendela rumahnya. Angin sore membelai wajahnya lembut, membawa aroma tanah dan suara anak-anak bermain dari kejauhan. Dunia di luar seolah tetap berjalan seperti biasa, padahal badai sedang mengaduk hidup banyak perempuan.

Dimas memeluk pinggangnya dari belakang.

“Kamu siap kalau nanti diancam?”

“Aku sudah diancam,” jawab Keysha tenang. “Tapi yang lebih menakutkan adalah... kalau aku tidak bicara sama sekali.”

Dimas mengecup pundaknya. “Aku bangga padamu.”

Keysha menoleh, menatap mata suaminya. “Aku bukan pahlawan. Aku cuma seseorang yang dulu diam, dan sekarang memutuskan cukup.”

---

Malamnya, Keysha dan Reyhan menerima satu lagi kejutan:

> “Keysha, salah satu mantan staf Raka dari masa kampanye politiknya dulu… siap memberi testimoni tertulis, bahkan bersumpah di depan hukum. Tapi dia minta identitasnya dilindungi ketat.”

Keysha membaca pesan itu dengan hati bergetar.

Gelombang ini tak lagi bisa dihentikan.

Luka yang dulu disimpan kini berubah menjadi gelombang keberanian. Satu demi satu, suara bangkit — tak dengan teriakan, tapi dengan kejujuran yang mendalam.

---

Keesokan harinya, di televisi nasional, seorang presenter membacakan pengumuman resmi dari Kementerian:

> “Mencermati gelombang protes publik, serta proses verifikasi etik dan hukum yang sedang berlangsung, pencalonan Raka Wicaksana sebagai Wakil Menteri ditangguhkan hingga proses selesai.”

Suara itu menyebar ke seluruh ruang tamu, ponsel, dan kantor-kantor.

Di ruang kerja Keysha, suasana hening. Dimas memeluk istrinya erat.

Kali ini, Keysha menangis — bukan karena takut, bukan karena sakit, tapi karena lega.

“Terima kasih… karena kamu tetap berdiri,” bisik Dimas.

Keysha memandang ke luar jendela, lalu menulis satu kalimat di jurnal harian:

> Kadang, kemenangan bukan soal membuat pelaku dihukum. Tapi membuat luka didengar, dan membuat mereka tahu… kita tak lagi diam.