Bab 29

Ruang itu tenang, rapi, dan steril dari emosi. Dinding putihnya memantulkan suara kecil, membuat detak jantung terasa seperti genderang.

Keysha duduk di sisi kanan meja oval besar itu. Di hadapannya duduk dua penyidik perempuan, seorang mediator netral, dan… kursi kosong.

Kursi itu bukan sembarang kursi.

Itulah kursi yang akan diduduki Raka Wicaksana—lelaki yang dulu pernah dicintai, yang kemudian menjadi bayangan gelap dalam hidupnya… dan dalam hidup banyak perempuan lain.

Dimas menemaninya sampai pintu masuk, tapi tidak bisa masuk ke ruang mediasi. Keysha mengangguk sebelum melepas genggamannya.

“Aku akan baik-baik saja.”

Dimas hanya menatap dengan mata dalam, penuh kekaguman dan kekhawatiran.

“Kalau kamu ragu… ingat semua yang kamu perjuangkan.”

---

Pukul 09.03, pintu dibuka.

Raka masuk, mengenakan jas hitam, rambut disisir rapi, dan ekspresi wajah datar. Tak ada salam. Tak ada tatapan. Hanya langkah panjang dan kepala sedikit mendongak—seolah semuanya hanya formalitas belaka.

Ia duduk.

Untuk pertama kalinya, Keysha menatap matanya lagi setelah sekian lama.

Dan ia tak menemukan apapun di sana. Hanya kehampaan.

Mediator membuka sesi dengan suara tenang, “Hari ini bukan sesi penghakiman. Ini sesi investigatif, klarifikasi. Kami hadir sebagai penengah dan pencari kebenaran. Semua keterangan direkam dan dapat digunakan sebagai bahan hukum.”

Keysha mengangguk. Begitu pula Raka, dengan malas.

“Keysha Aulia, silakan mulai.”

Keysha menelan ludah. Tangannya sempat bergetar, tapi hanya sebentar. Ia menarik napas panjang, lalu mulai:

> “Saya bukan korban fisik. Tapi saya adalah saksi hidup. Saya pernah berada di rumah yang sama, berbagi ranjang dengan seseorang yang memanipulasi, merendahkan, dan mempermainkan perasaan serta martabat perempuan demi egonya.”

“Saya melihat sendiri bagaimana perempuan muda datang ke rumah kami, bukan sebagai tamu. Tapi sebagai korban ketergantungan, hadiah, dan janji palsu.”

“Dan setelah saya tinggalkan rumah itu, saya menjadi tempat pelarian banyak cerita. Dari Laras, dari Mira, dan dari beberapa lainnya. Mereka datang bukan karena saya jurnalis. Tapi karena mereka melihat seseorang yang pernah berdarah dan kini memilih berdiri.”

Suasana ruang itu hening.

Raka bersandar ke kursinya. “Semua yang dikatakan itu tidak ada bukti fisik. Hanya kata-kata. Saya tidak memaksa siapa pun. Mereka datang, karena mereka menginginkan sesuatu dari saya. Karier. Jabatan. Uang.”

Keysha menatapnya tajam. “Dan ketika mereka menolak syarat tak tertulis itu, mereka dibuang. Seperti aku dulu.”

Salah satu penyidik bertanya, “Apakah Saudara Raka mengenal perempuan bernama Laras Ayudia?”

Raka tersenyum sinis. “Tentu. Mantan staf magang. Tidak tahan tekanan kerja. Lalu menyalahkan saya karena gagal.”

“Dan Mira Salsabila?”

Raka terdiam sejenak. “Asisten rumah tangga yang bermasalah. Sudah saya keluarkan karena sikapnya tidak sopan.”

Keysha menahan napas. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada rasa malu. Bahkan tidak ada pengakuan sekecil apapun.

Penyidik perempuan satunya lalu berkata, “Kami memiliki dokumen dan testimoni tertulis dari empat perempuan lain, termasuk rekaman suara anonim dan tangkapan layar komunikasi.”

Raka mulai gelisah.

“Semua bisa direkayasa. Semua bisa dimanipulasi. Siapa yang bisa membuktikan itu asli?”

Mediator mencatat. “Nanti bagian forensik digital yang menilai. Sekarang kami ingin tahu, apakah Saudara Raka bersedia meminta maaf secara etik, meski belum ditentukan status hukumnya?”

Raka tertawa kecil. “Meminta maaf untuk apa? Untuk tidak memenuhi ekspektasi perasaan para perempuan itu?”

Keysha akhirnya bicara lagi, suaranya tenang, tapi tajam:

> “Permintaan maaf bukan buat kami. Tapi buat anak perempuan yang suatu hari mungkin baca berita tentang kamu. Yang akan bertanya... apakah benar lelaki yang dijadikan panutan, adalah lelaki yang pernah menyakiti ibunya atau teman-temannya.”

“Dan kalau kamu tetap mengelak, maka biarlah sejarah yang bicara. Karena luka kami tak lagi diam.”

Raka menunduk sebentar. Lalu ia berkata, lebih pada dirinya sendiri daripada siapa pun,

“Aku tidak pernah mengira kalian akan berani sejauh ini.”

---

Sesi itu selesai dalam dua jam.

Keysha keluar dari ruangan dengan tubuh lelah, tapi matanya terang.

Dimas langsung menyambut dan memeluknya.

“Gimana?”

Keysha mengangguk. “Dia tetap menolak mengaku. Tapi rekaman sudah jalan. Proses sudah terbuka.”

Di luar gedung, wartawan menunggu.

Tapi Keysha tidak memberi pernyataan. Ia hanya berjalan lewat, menggenggam tangan suaminya, dan tersenyum kecil ke arah langit.

---

Sore harinya, Keysha menulis di blog komunitas perempuan:

> Hari ini aku menatap matanya.

Dan aku sadar… aku tidak lagi takut.

Aku tidak ingin membalas. Aku hanya ingin kita didengar.

Karena ketika luka bicara… tak ada yang bisa menyangkal bahwa ia pernah ada.

> Kita tidak menginginkan kehancuran siapa pun.

Tapi kita menuntut tanggung jawab, agar luka yang sama tak terulang.

Dan jika suara kita dianggap mengganggu,

mungkin karena ia terlalu jujur untuk ditolak.

---

Sementara itu, berita mulai menyebar:

> “Raka Diperiksa Dalam Sesi Klarifikasi Etik dan Investigasi Awal.”

“Surat Dukungan untuk Keysha Tembus 100 Ribu Tanda Tangan.”

Raka duduk di ruang kerjanya, membaca semua itu.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa takut.

Bukan karena akan dipenjara.

Tapi karena ia sadar…

Perempuan yang pernah ia anggap lemah, kini memegang kekuatan yang bahkan tak bisa dibungkam oleh kekuasaan.

-