Bab 30 TAMAT

Tiga minggu setelah sesi investigasi itu, surat kabar pagi menampilkan headline yang membuat Indonesia kembali diam sejenak.

> “Raka Wicaksana Dinyatakan Bersalah Secara Etik dan Dicopot dari Semua Jabatan Publik.”

Di bawahnya, foto pria itu terpampang — bukan lagi dengan senyum kemenangan, melainkan dengan wajah suram, tertunduk, dan penuh kehampaan.

Keysha meletakkan cangkir tehnya perlahan. Ia membaca berita itu tanpa senyum, tanpa air mata. Hanya napas yang tertahan dan kemudian dilepas perlahan.

Dimas duduk di seberangnya, memandangi istri yang kini lebih dari sekadar perempuan biasa.

“Kamu nggak bilang apa-apa?” tanyanya pelan.

Keysha menggeleng. “Aku sudah bilang semuanya… ketika aku memutuskan bicara.”

---

Hari-hari berikutnya, Keysha kembali menjalani kehidupan seperti biasa — sesekali mengisi seminar tentang kekuatan perempuan, kadang menulis artikel untuk komunitas penyintas, dan sesekali hanya menjadi perempuan biasa yang menyiram bunga dan menulis jurnal.

Ia menolak semua undangan wawancara TV besar.

“Aku bukan selebriti,” ucapnya pada seorang produser. “Aku hanya ingin luka kami tidak dilupakan.”

Dan dunia mulai mengenalnya bukan sebagai istri kedua Raka, bukan pula sebagai korban, tapi sebagai Keysha Aulia — perempuan yang memilih berdiri, saat banyak memilih diam.

---

Satu sore di taman kota, Keysha duduk di bangku, mengawasi anak-anak kecil bermain. Seorang ibu muda menghampirinya, ragu-ragu.

“Maaf, Mbak… Ini Mbak Keysha, kan? Penulis Air Mata Istri Kedua?”

Keysha tersenyum ramah. “Iya, saya.”

Wanita itu duduk di sampingnya. “Saya cuma mau bilang, terima kasih. Karena Mbak, saya berani keluar dari rumah yang penuh kekerasan. Anak saya sekarang bisa tidur tanpa menangis.”

Keysha menatap perempuan itu, menahan haru. “Bukan karena saya. Tapi karena kamu sendiri sudah kuat dari awal. Saya cuma menyulut cahaya yang sudah kamu punya.”

Wanita itu menggenggam tangannya. “Kalau suatu hari kamu tulis buku baru… tolong tulis tentang harapan, ya.”

Keysha tersenyum, matanya basah. “Mungkin bukan buku. Tapi mungkin sebuah taman seperti ini… cukup.”

---

Di rumah, Dimas memeluk istrinya dari belakang saat mereka menonton matahari tenggelam dari balkon.

“Jadi… apa rencanamu selanjutnya?”

Keysha tertawa kecil. “Tidur lebih nyenyak. Berkebun. Baca novel romantis. Dan mungkin… akhirnya menulis cerita fiksi.”

“Tanpa luka?”

“Dengan luka… tapi bukan lagi sebagai darah. Hanya bekas. Yang sudah sembuh.”

Dimas mengecup keningnya. “Kamu cahaya, Sayang. Tapi bahkan cahaya pun butuh istirahat.”

---

Satu bulan kemudian, Keysha meresmikan ruang komunitas kecil bernama “Rumah Suara” — tempat aman bagi perempuan untuk berkumpul, bicara, dan menulis.

Tidak ada kamera. Tidak ada publikasi besar.

Hanya meja-meja kayu, tanaman gantung, dan rak buku berisi kisah-kisah penyembuhan.

Dan di dinding paling depan, tertulis satu kutipan:

> “Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi kita bisa menghentikan warisan luka agar tidak mewarisi masa depan.”

---

Suatu malam, di kamar yang hening, Keysha membuka jurnal terakhirnya. Ia menulis perlahan:

> Aku pernah menjadi perempuan yang menangis diam-diam di sudut kamar.

Aku pernah mencintai seseorang yang justru menghancurkanku perlahan.

Dan aku pernah mengira… bahwa luka itu adalah takdirku.

Tapi kini aku tahu, aku bukan hanya istri kedua.

Aku bukan hanya cerita di balik kekuasaan seorang pria.

Aku adalah suara.

Aku adalah cahaya dari air mata yang dulu kusembunyikan.

Dan ini… bukan awal dari season baru.

Tapi akhir dari kisah yang sudah selesai dengan tenang.

Tanpa dendam.

Tanpa balas.

Hanya penerimaan… dan cinta yang akhirnya pulang ke tempat yang layak.

Keysha menutup bukunya, meniup lilin kecil di meja, lalu tidur dalam dekapan Dimas — tanpa mimpi buruk, tanpa ketakutan.

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun…

tidak ada lagi air mata.

---

TAMAT.