Bab 8: Aku yang Mengajakmu

Bab 8 – Aku yang Mengajakmu

Siang itu, taman sekolah nggak seramai biasanya. Jam istirahat kedua, tapi banyak siswa masih di dalam kelas karena ada guru piket keliling.

Rafa duduk di bangku kayu dekat kolam kecil. Di tangannya ada bekal roti isi buatan ibunya, tapi belum disentuh. Matanya melamun ke permukaan air yang berkilau kena sinar matahari.

Dia lagi mikirin Naya.

Sudah dua hari nggak terlalu ketemu. Cuma saling lihat di lorong. Sekilas. Tanpa interaksi berarti.

“Jangan-jangan... aku kebanyakan kode kemarin ya?”

Tiba-tiba—

“Rafa.”

Suaranya muncul.

Tegas, tapi nggak galak.

Tajam, tapi nggak kasar.

Rafa noleh cepat. Naya berdiri di depannya, dengan wajah datar khasnya... tapi kali ini ada yang beda. Tatapan matanya. Kayak... nggak sengaja ngeluarin sinar lembut.

“Eh, Kak Naya. Duduk yuk.” Rafa tepuk bangku di sebelah.

Tanpa banyak kata, Naya duduk. Tasnya ditaruh di pangkuan. Jemarinya saling menggenggam. Rafa langsung nahan napas. Ini... Naya yang dateng sendiri?

“Kamu nggak makan?” tanya Naya, lirih.

“Lagi nggak nafsu. Kenyang liat yang cantik duduk di samping.” Rafa langsung senyum jahil.

Naya memutar bola mata. Tapi... nggak ngomel.

Rafa makin bingung.

“Ada yang pengen aku omongin,” ucap Naya pelan.

“Wah... nembak aku ya?” goda Rafa lagi.

“Serius.”

Rafa langsung diam. Tegap.

“Aku ngomong ke ibu... soal kamu,” lanjut Naya, tanpa melihat wajah Rafa.

Mata Rafa melebar. “Tentang aku?”

“Iya. Tentang anak kelas 10 yang suka gangguin aku tapi bikin aku ngomong lebih lembut dari biasanya.”

Rafa bengong. “Ibu kamu marah?”

Naya geleng. “Enggak. Ibu malah penasaran. Dia bilang, kalau kamu bisa bikin aku berubah... berarti kamu orang baik. Ibu juga bilang...” suara Naya makin pelan, “...suruh kamu main ke rumah.”

Beberapa detik sunyi.

Rafa masih belum percaya.

“Beneran nih? Aku... diundang?”

Naya menatapnya singkat. Lalu ngangguk.

“Hari Minggu. Jam tiga sore. Jangan bawa teman. Jangan pake kaus kutang. Jangan nyelonong ke dapur.”

Rafa ngakak. “Wah, aku kirain ini prank. Seriusan? Kak Naya yang ngajak aku ke rumah?”

“Iya. Tapi jangan GR dulu. Ini cuma kenalan biasa. Ibu pengen tahu kamu kayak apa. Aku juga... pengen tahu... kalau kamu nggak bakal ngelucu terus di depan orang tua.”

“Aku bisa serius kok,” ujar Rafa, senyum pelan.

“Bagus.”

“Tapi aku tetep bakal panggil Kakak: Mbak Pendek.”

“Sekali lagi kamu panggil itu, aku batalkan undangan.”

“Ups. Mbak... Naya.” Rafa senyum lebar.

“Gitu dong.”

Mereka diam sebentar. Tapi diam yang hangat. Seperti dua anak sekolah yang baru saling membuka pintu satu sama lain.

Lalu Naya berdiri.

“Aku ke kelas dulu.”

“Oke.” Rafa berdiri juga.

Tapi sebelum Naya benar-benar pergi, dia sempat menoleh sedikit.

“Jangan telat hari Minggu. Jangan bikin malu aku.”

“Aku bakal dandan kayak cowok sholeh!”

“Jangan lebay.”

Naya pergi sambil tersenyum tipis.

Rafa duduk lagi. Tapi kali ini... dia bersandar sambil melotot ke langit.

“YA ALLAH INI SERIUS? KAK NAYA YANG NGUNDANG GUE?”

Dan dia teriak pelan ke roti di tangannya.

“Bro, kita punya janji penting minggu ini. Jangan basi ya.”