Bab 7: Cerita untuk Ibu

Bab 7 – Cerita untuk Ibu

Sore di rumah. Matahari mengintip malu-malu di balik tirai jendela kamar. Udara agak gerah, tapi di dalam hati Naya... ada hal lain yang bikin dadanya sesak.

Bukan karena tugas.

Bukan karena deadline OSIS.

Tapi karena... seorang adik kelas, bernama Rafa.

Dia duduk di lantai, menyandarkan punggung ke sisi tempat tidur. Buku pelajaran terbuka di pangkuan, tapi tak satu huruf pun dibaca. Pandangannya kosong, pikirannya ke sekolah, ke bangku taman, ke kalimat-kalimat Rafa yang terlalu santai tapi entah kenapa... masuk ke dalam.

Tiba-tiba, suara pintu kamar diketuk pelan.

Tok-tok.

"Naya, boleh masuk, Nak?" suara ibunya terdengar dari luar.

"Boleh, Bu."

Pintu terbuka, dan Ibunya Naya—dengan daster bunga dan ikat rambut sederhana—masuk sambil bawa sepiring kue kering dan segelas teh hangat.

"Lagi belajar?" tanya Ibu sambil duduk di pinggir tempat tidur.

Naya mengangguk pelan. "Iya... belajar sambil mikir."

"Mikir apa tuh? Tumben wajah kamu kayak lagi nahan ketawa tapi kesel." Ibu menyodorkan kue.

Naya senyum kecil. Lalu diam sebentar.

"Bu..." Naya menatap teh di depannya.

**"Hmm?"

"Aku... akhir-akhir ini... lagi deket sama seseorang."

Ibu terdiam. Tapi wajahnya tenang. Menunggu.

"Adek kelas. Kelas 10." lanjut Naya pelan.

Mata Ibu langsung berbinar, tapi suaranya tetap datar. "Oh ya? Baru pertama kali kamu cerita soal cowok. Biasanya... galaknya kamu tuh udah bikin cowok kabur duluan."

Naya senyum pahit. "Aku tahu. Aku memang... agak susah dideketin."

"Bukan agak. Emang susah." Ibu tertawa pelan. "Kamu itu kalo ngomong bisa setajam silet. Mana ada cowok yang tahan."

"Tapi yang ini... dia tahan."

Ibu diam. Wajahnya mulai serius.

"Namanya siapa?"

**"Rafa. Kelas 10-A. Anak baru."

Ibu mengangguk. "Ceritain dong. Kenapa kamu bisa deket sama dia?"

Naya menarik napas. "Awalnya dia gangguin aku. Ngelihatin terus. Duduk di sebelah aku terus. Bikin aku kesel."

"Terus?"

"Aku marahin dia. Berkali-kali. Tapi dia nggak kapok. Dia malah makin senyum-senyum, makin nempel."

"Dan kamu makin kesel?"

"...nggak juga." Naya mengangkat alis sedikit. "Itu masalahnya, Bu. Aku mulai... ngerasa nyaman."

Ibu tersenyum. "Akhirnya, anak Ibu ini ngerasain juga ya... ada cowok yang bikin senyum sendirian."

Naya memukul kecil bantal di sampingnya. "Bu, jangan godain dong."

"Bukan godain. Ibu seneng loh. Udah lama Ibu mikir kamu ini terlalu galak, terlalu kuat, terlalu... mandiri." suara ibu makin lembut. "Ternyata ada juga yang bisa nembus tembok kamu."

"Dia orang pertama, Bu." Naya berkata pelan. "Orang pertama yang bikin aku... ngomong pakai nada lembut."

Ibu memandangi anak perempuannya dengan penuh kasih. Matanya hangat. Tulus.

"Berarti dia spesial ya?"

Naya diam. Lalu mengangguk pelan.

"Spesial, tapi nyebelin."

Ibu tertawa lagi.

"Ibu pengen kenal deh sama si Rafa."

"Hah? Serius, Bu?"

"Iya lah. Masa anak yang berani deketin kamu cuma dikenal lewat cerita doang?"

"Tapi dia... adek kelas, Bu."

"Trus kenapa? Yang penting dia sopan, tulus, dan bisa bikin kamu jadi lebih... manusiawi."

Naya nyengir. "Aku selama ini bukan manusia ya, Bu?"

"Kamu terlalu keras buat ukuran anak SMA."

Mereka tertawa bareng.

Beberapa detik, sunyi. Hanya suara jam dinding berdetak.

"Undang aja dia main ke rumah. Biar Ibu kenalan," kata Ibu tiba-tiba.

"Ngundang gimana, Bu... kayak anak SD aja..."

"Justru karena masih sekolah, Ibu pengen tahu dia seperti apa. Masa kamu jalanin perasaan sendiri tanpa tahu dia anaknya gimana? Kalau cuma kamu yang ngerasa suka, tapi dia nggak serius, kan kamu yang rugi."

Naya mengangguk pelan. Menatap keluar jendela.

Angin sore pelan-pelan mengayun tirai putih tipis di kamarnya.

"Oke. Nanti aku coba ajak dia main."

"Nanti?" Ibu memiringkan kepala.

"Kalau dia nggak bikin aku kesel minggu ini." Naya senyum geli.

"Udah lah, kamu suka juga kan."

"Iya, tapi gengsi."

**"Nah, gengsi itu yang bikin kamu sendirian terus."

---

Malamnya, Naya duduk di meja belajar sambil nulis tugas. Tapi kepalanya dipenuhi satu pertanyaan:

“Gimana ya... ngajak Rafa ke rumah tanpa bikin aku keliatan baper?”

Senyumnya pelan.

"Dasar bocah ngeselin..."