Bab 6: Nada yang Berubah

Bab 6 – Nada yang Berubah

Hari-hari berjalan seperti biasa. Tapi di kepala Naya, banyak hal yang berubah—tanpa bisa dia kendalikan sepenuhnya.

Rafa makin sering muncul.

Muncul pas dia di perpustakaan.

Muncul pas dia antre di koperasi.

Muncul pas dia baru keluar toilet!

Selalu dengan senyum itu.

Senyum usil, tapi nggak pernah kelewat batas.

Senyum tulus, tapi selalu bikin hati Naya serasa ditoyor dari dalam.

Dan sialnya, Naya mulai kehilangan power buat ngomel dengan cara yang biasa.

---

Pagi itu, Naya duduk di bangku taman sekolah. Tangan kirinya megang kertas tugas OSIS, tangan kanan gelas plastik es teh. Udara masih adem. Matahari baru naik sedikit.

Lalu datanglah si tinggi menyebalkan itu, seperti biasa... duduk di sebelah tanpa izin.

"Halo, Mbak," kata Rafa sambil selonjoran duduk di sampingnya.

Naya mendongak sekilas. Kali ini... dia nggak mendelik. Nggak ngomel.

"Hai," jawab Naya pelan, tanpa menoleh.

Rafa agak kaget, tapi matanya langsung berbinar.

"Wah... ini hal langka. Kak Naya nyapa duluan," ucap Rafa dengan mata membulat dramatis.

"Aku cuma bales," sahut Naya santai.

"Tapi nadanya halus," kata Rafa, menyeringai.

"Karena kamu belum ngelakuin hal menyebalkan," jawab Naya sambil nyeruput es tehnya.

"Berarti kalau aku diem terus gini, kamu bakal terus lembut?" goda Rafa.

"Jangan GR," balas Naya datar.

Rafa hanya tertawa kecil, duduk diam, lalu melirik wajah Naya dari samping.

Beberapa detik, mereka nggak ngomong apa-apa. Tapi suasana nggak aneh. Justru... nyaman.

---

"Aku tuh bingung," ujar Naya tiba-tiba.

"Bingung apa?" tanya Rafa pelan.

"Kamu itu adik kelas... tapi kenapa ya, kamu berani banget deketin aku?"

Rafa mengangkat bahu. "Soalnya aku suka."

"Berarti kamu deketin semua cewek yang kamu suka?" Naya menatap curiga.

"Enggak," jawab Rafa cepat.

"Trus kenapa aku?"

Rafa menoleh, menatap mata Naya yang kini menunggu jawaban.

"Karena kamu satu-satunya yang bikin aku pengen ngedeket... walau dimarahin tiap hari," ucap Rafa pelan, tulus.

Naya terdiam. Tangannya mencengkram gelas plastik lebih erat.

"Rafa..." ucapnya lembut.

"Iya?" Rafa menoleh pelan.

"Aku ini bukan cewek yang... gampang dibikin senyum."

"Aku tahu," jawab Rafa kalem.

"Aku juga bukan tipe yang suka digombalin."

"Aku nggak gombal."

"Aku lebih tua dari kamu."

"Cuma dua tahun. Bukan nenek-nenek juga," canda Rafa.

Naya melotot pelan. "Rafa."

"Ups. Salah nada ya?"

Naya narik napas, lalu berkata, "Tapi kamu lucu."

"Aku?" Rafa kelihatan kaget dan senang.

Naya angguk kecil. "Iya. Kamu kayak anak anjing... nyebelin, tapi susah diusir."

Rafa ngakak. "Anjing? Wah... ganti dong. Yang lebih keren dikit kek... kucing Persia?"

"Enggak cocok. Kamu terlalu heboh buat jadi kucing," sindir Naya sambil tersenyum kecil.

Rafa cuma ketawa. Tapi dalam hatinya... meledak.

---

"Aku seneng loh," ucap Rafa pelan.

"Seneng apa?" tanya Naya.

"Kamu nggak marah-marah hari ini."

"Jangan berharap tiap hari kayak gini, ya," balas Naya cepat.

"Yaelah. Baru juga lembut lima menit."

"Tapi cukup bikin kamu seneng, kan?" tanya Naya sambil menatapnya singkat.

Rafa diam. Terpaku. Senyumnya pelan.

"Iya," jawab Rafa. "Banget."

---

Bel tanda masuk berbunyi. Naya berdiri, merapikan kertas tugasnya.

"Aku duluan," katanya.

Rafa ikut berdiri. "Makasih udah nggak bentak aku hari ini."

Naya melirik ke belakang sambil jalan. "Jangan bikin aku bentak besok, ya."

"Ganggu? Aku ngerasa lagi deketin, bukan gangguin," jawab Rafa mantap.

Naya berbalik cepat. "Jangan GR."

"Tapi aku seneng banget loh hari ini."

"Rafa," ucap Naya lagi.

"Hmm?"

"Jangan panggil aku pendek mulu."

"Terus... panggil apa dong?" tanya Rafa penasaran.

Naya diam. Lalu jalan lagi tanpa menjawab.

Tapi dari punggungnya, Rafa bisa lihat... tangan kanan Naya sedikit mengepak ke samping, kayak menahan sesuatu. Dan Rafa tahu, itu pasti senyum yang dia sembunyiin.

---

Rafa duduk lagi sebentar, nyender ke pohon.

"Suaranya mulai lembut... hatinya pasti nyusul." gumamnya sambil senyum kecil.