Bab 5: Pacarnya Kakak yang Mana?

Bab 5 – Pacarnya Kakak yang Mana?

Hari itu langit cerah. Jam istirahat kedua, suasana sekolah nggak terlalu ramai karena banyak siswa ikut kegiatan ekskul.

Rafa baru aja turun sekolah lagi setelah tiga hari sakit. Tubuhnya masih agak lemas, tapi senyumannya makin nyebelin hari ini.

Dia bawa buku cetak dan dua lembar tugas yang belum kelar. Tapi tujuannya bukan ke ruang guru... melainkan ke taman kecil di belakang mushola, tempat yang biasa sepi dan adem karena ada satu pohon besar yang akarnya menjulur ke tanah seperti tali tambang raksasa.

Dan di bawah pohon itu...

Sudah duduk seseorang.

Rambut dikuncir rendah, ransel dipeluk di depan dada, dan buku catatan terbuka di pangkuan.

Naya.

Rafa melangkah pelan.

“Numpang duduk ya, Mbak,” katanya sambil langsung selonjoran di samping Naya, tanpa nunggu jawaban.

Naya mendongak sekilas. Ekspresinya datar. Tapi jari-jari tangannya kelihatan berhenti gerak di atas kertas.

“Kamu udah sembuh?” tanyanya pelan.

“Udah. Tapi masih pengen disuapin.”

Naya mencibir. “Ngimpi.”

Rafa nyengir makin lebar. Dia sandarin punggung ke batang pohon, melirik isi buku Naya yang penuh coretan tugas Biologi.

“Kak, aku mau nanya deh.”

“Apa?”

“Pacarnya kakak yang mana ya? Kok aku nggak pernah liat?”

Naya noleh cepat. “Hah?”

“Iya. Kakak cakep, pinter, galak... masa nggak ada yang nungguin di gerbang gitu?”

Naya menghela napas. “Aku nggak punya pacar.”

“Serius?”

“Iya.”

“Kenapa?”

Naya diam. Tatapannya ke buku lagi.

“Karena... aku terlalu pendek.”

Rafa menahan tawa. Tapi bibirnya tetap melengkung ke atas.

“Pendek?”

“Iya. Aku tau aku mungil banget buat ukuran cewek SMA. Banyak yang bilang aku kayak anak SMP. Nggak ada yang suka cewek kayak gitu.”

Rafa noleh, ngeliatin Naya yang sekarang nunduk. Tangannya mencengkram bukunya sendiri erat.

Senyum Rafa pelan. Matanya tajam tapi hangat.

“Yakin nggak ada yang mau sama kakak?”

Naya noleh dengan tatapan bingung.

Rafa senyum makin lebar. “Soalnya... aku ngerasa makin pendek, makin pengen duduk deket-deket terus.”

“Apaan sih?” Naya langsung buang muka, mukanya merah seketika.

Rafa ketawa kecil. “Mbak... itu kode loh.”

“Aku nggak mau nerjemahin,” sahut Naya cepat, buru-buru nutup bukunya.

“Berarti udah ngerti?”

“Enggak!”

“Tapi pipinya merah tuh.”

“Karena panas!”

“Padahal pohonnya rindang banget.”

Naya bangkit, berdiri sambil nyeret tasnya.

“Aku mau ke kelas. Jangan ikutin aku.”

“Tapi aku belum selesai kode-kodeannya.”

“Gak usah!”

“Kalau gitu langsung aja aku bilang—”

“Jangan!” Naya langsung noleh sambil tunjuk Rafa. “Jangan bilang yang aneh-aneh.”

Rafa angkat dua tangan. “Oke, oke.”

Naya diam sebentar. Lalu ngomong pelan.

“Jangan ganggu aku terus, ya.”

“Ganggu? Aku ngerasa lagi deketin, bukan gangguin.”

Naya berbalik cepat, jalan cepat ke arah kelas. Tapi sebelum masuk pintu, dia sempat nengok sebentar.

Rafa masih duduk di bawah pohon, tangan di belakang kepala, senyum puas, kayak habis ngalahin bos terakhir di game.

---

Sore harinya, di kamarnya sendiri, Naya berdiri depan kaca sambil ngukur tinggi badan.

“142 cm...”

Dia ngelus pelan pipinya sendiri.

“Pendek bener sih... tapi masa sih disuka beneran?”

Tangannya berhenti. Jantungnya berdegup pelan.

“Nyebelin banget si Rafa itu...”

Tapi senyum kecil nggak bisa dia tahan.