Bab 4: Anak Galak yang Kangen

Bab 4 – Anak Galak yang Kangen

Sudah tiga hari.

Tiga hari kelas sepi dari suara usil Rafa. Tiga hari tanpa gangguan mendadak di kantin. Dan tiga hari... tanpa tatapan menyebalkan itu.

Naya duduk di bangkunya, menyendok sisa puding yang mulai mencair. Teman-teman sekelasnya sibuk ngobrol soal tugas dan kelas tambahan. Tapi pikirannya... nyangkut ke cowok tinggi menyebalkan dari kelas 10-A itu.

Kenapa gue mikirin dia sih?

Padahal dia ngeselin.

Padahal dia bikin gue kesel tiap ketemu.

Tapi... kok sekarang sepi banget ya?

---

Sorenya, Naya berdiri di depan kelas 10-A. Waktu jam pulang, jadi kelas udah kosong. Hanya satu orang yang masih beresin tas.

“Permisi,” suara Naya datar.

Cowok itu noleh, kaget. “Eh... kakak kelas... iya?”

“Kamu temannya Rafa?”

“Iya, Kak. Ada apa ya?”

“Dia kenapa nggak masuk tiga hari?” Naya nyalain mode galak lagi biar nggak keliatan peduli.

“Oh, sakit katanya. Demam tinggi kemarin.”

“Dia tinggal di mana?”

“Eh... alamatnya?”

“Iya. Aku mau... mau balikin bukunya. Dia minjem buku matematika.”

“Oh! Di Jalan Melati nomor 42, rumahnya yang pagar hitam.”

Naya angguk cepat. “Makasih.”

Lalu pergi tanpa penjelasan lebih lanjut.

---

Setengah jam kemudian, Naya berdiri di depan rumah bercat abu itu. Pagar hitam. Benar sesuai petunjuk.

Dia sempat ragu.

Ngapain sih gue begini?

Tapi jari tangannya udah keburu nekan bel.

Ding-dong.

Pintu rumah terbuka. Seorang wanita keluar. Wajahnya hangat dan lembut, mengenakan daster bermotif bunga.

“Iya, nak?”

“Permisi... ini rumahnya Rafa?”

“Iya. Kamu temennya Rafa?”

“Eh... iya, tante.”

Si ibu tersenyum lebar. “Wah, anak gadis cantik. Tumben Rafa punya tamu cewek. Ayo, ayo, masuk.”

Naya jadi kikuk sendiri. “Ah... saya cuma mau lihat sebentar, tante.”

“Dia lagi di kamar. Lagi rebahan. Udah mendingan sih. Yuk, naik aja. Kamar Rafa di atas, pintunya warna biru. Boleh kok masuk aja, dia nggak keberatan.”

Naya makin gugup, tapi akhirnya ngangguk pelan.

---

Langkahnya pelan naik tangga. Di ujung lorong, pintu biru terbuka sedikit. Naya ketuk pelan.

Tok. Tok.

“Hm?” suara Rafa dari dalam.

Naya mendorong pintunya pelan. Dan...

Rafa sedang rebahan di tempat tidur, berselimut, dengan buku di tangan. Rambutnya sedikit berantakan. Mata kirinya sedikit sembab. Tapi dia masih senyum pas liat siapa yang berdiri di ambang pintu.

“Wah. Mbak Galak.”

Naya masuk tanpa bilang apa-apa, tapi ekspresinya udah jelas.

Jutek. Datar. Tapi matanya beda.

“Tumben,” kata Rafa sambil duduk pelan.

“Kamu... sakit atau pura-pura?” Naya nanya, nadanya masih tegas, tapi lebih pelan dari biasanya.

“Beneran, Mbak. Liat nih, suara aku aja bindeng,” Rafa sengaja ngomong sengau.

“Huh.”

Naya duduk di kursi meja belajar Rafa. Tangannya mainin ujung lengan seragamnya.

“Kenapa sih nggak bilang?”

“Bilang ke siapa?”

Naya diam. Males jawab.

Rafa senyum kecil.

“Aku kirain Mbak seneng kalau aku nggak muncul.”

“Enggak juga.”

Rafa ngangkat alis.

“Apa?”

“Enggak juga, maksudnya... aku nggak terlalu peduli. Tapi... ya tetep aja aneh. Biasanya kamu ngintil terus.”

Rafa ketawa pelan. Lalu batuk.

Naya refleks berdiri, “Tuh kan, makanya jangan ketawa-ketawa. Sakit kok malah senyum-senyum.”

“Kalau yang dateng kamu, gimana nggak senyum?”

Naya langsung manyun. “Nyebelin.”

Mereka diam beberapa detik.

Naya noleh ke luar jendela, pura-pura cuek. Tapi pipinya merah tipis.

“Aku seneng loh,” kata Rafa pelan. “Kamu dateng.”

“Aku bukan dateng karena kangen, ya.”

Rafa nyengir, “Tapi dateng kan?”

Naya bangkit berdiri. “Aku pulang. Cuma mau liat kamu masih hidup atau nggak.”

Rafa masih senyum, “Masih hidup, dan makin semangat sekarang.”

Naya jalan ke pintu.

Sebelum keluar, dia sempat nengok.

“Cepet sembuh. Biar bisa gangguin aku lagi di kantin.”

Lalu... dia pergi.

Dan pintu tertutup.

---

Rafa rebahan lagi.

“Pendek, galak, dan... manis banget kalo khawatir.”