Bab 10 – Semangkuk Bakso dan Obrolan Diam-Diam
Hari Senin, jam istirahat pertama.
Kelas 10-A masih agak ramai. Sebagian murid udah pada keluar, sebagian lagi masih ngobrol sambil ngemil di dalam kelas.
Rafa duduk sendirian di kursinya, bolpen muter-muter di jari, matanya kosong ngelamun ke jendela.
Kepikiran? Jelas.
Masih tentang kemarin. Rumah Naya. Ibunya. Sambal ayam kecap.
Dan... tatapan Naya yang mendadak hangat pas dia lagi nyuci piring.
Tiba-tiba...
"Rafa."
Suara itu langsung bikin jantungnya nyelip satu ketukan.
Rafa noleh pelan.
Di ambang pintu kelasnya—Naya. Berdiri dengan kemeja abu-abu rapi, rambut dikuncir rendah, dan wajah datarnya yang hari ini... kayaknya agak manis.
Semua anak cowok di kelas langsung nahan napas.
"Eh gila... senior cewek cantik manggil Rafa?"
"Ada apa nih..."
Tapi Naya cuek. Matanya hanya fokus ke Rafa.
"Ikut aku sebentar."
Rafa berdiri cepat. "Siap!"
---
Mereka berjalan berdua di lorong sekolah. Naya nggak ngomong sepatah kata pun. Rafa juga bingung mau buka pembicaraan gimana. Tapi hatinya nggak tenang. Ini pertama kalinya... Naya datengin dia duluan.
Sampai akhirnya mereka sampai ke kantin sekolah. Tempat duduk pojok, dekat pagar taman kecil.
"Duduk sini." kata Naya, lalu langsung duduk duluan.
"Oke..." Rafa ngikut, duduk di depannya.
Nggak lama, dua mangkok bakso pesanan Naya datang. Dia bahkan udah pesenin dulu sebelum nyamperin Rafa.
"Wah... udah dipesenin juga?" Rafa kaget.
"Iya. Aku hafal kamu suka bakso," kata Naya pelan sambil menyendok kuah. "Kan kamu sering duduk sendirian di sini, makan bakso."
Rafa diem.
Baru sadar.
Naya juga... memperhatikan.
"Kemarin..." Naya mulai bicara. "Makasih ya, udah mau dateng ke rumah."
"Aku yang makasih, Kak. Aku seneng banget."
"Ibu juga seneng banget. Seharian dia cerita soal kamu. Dia bilang kamu rajin, sopan, bersih, dan... lucu."
"Lucu? Wah, Bu-nya Kakak jago muji, ya." Rafa senyum-senyum.
"Tapi beneran. Ibu tuh sampe bilang ke aku: ‘Kamu yakin nggak mau punya pacar kayak Rafa?’"
Rafa nyendok bakso, tapi tangannya berhenti di udara.
"Terus... Kakak jawab apa?"
Naya ngangkat bahu. "Aku bilang... belum tahu."
Rafa tersenyum kecil.
"Minimal... belum bilang ‘nggak mau’."
"Iya. Karena kamu belum cukup bikin aku yakin," kata Naya sambil menatap Rafa tajam.
"Wah... tantangan nih," Rafa ketawa pelan.
"Aku bukan cewek yang gampang baper. Kamu tahu itu, kan?"
"Tahu. Dan itu yang bikin aku terus kejar."
Mereka makan dalam diam beberapa detik. Tapi bukan diam yang kikuk. Justru... nyaman.
Naya ngusap kuah bakso dari pinggir bibirnya dengan tisu. "Kamu sering bantu ibumu di rumah ya?"
"Iya. Sejak SMP, kayaknya. Ibu kerja juga, jadi aku biasa nyapu, ngepel, masak, cuci baju."
"Kamu capek nggak?"
"Kadang. Tapi seneng. Rasanya kayak... aku berguna buat orang yang aku sayang."
Naya diam. Tatapannya mengendap, kayak air tenang yang baru belajar mencintai riak.
"Kamu beda, Rafa." ucapnya lirih.
"Beda gimana?"
"Beda dari cowok yang biasanya aku temui. Biasanya mereka cuma... deket buat gaya-gayaan, atau karena penasaran doang."
"Terus aku?"
"Kamu... dateng tiap hari, walau aku marah." Naya menunduk. "Kamu bilang aku cantik... waktu aku nggak percaya diri."
"Karena emang cantik, Kak."
"Kamu nyuci piring, bersihin meja... padahal itu bukan rumah kamu."
"Karena aku nyaman di sana. Di rumah Kakak. Di dekat Kakak."
Naya menutup matanya sejenak.
Lalu membuka lagi.
"Aku nggak janji bakal langsung suka, Rafa. Tapi kalau kamu tetap mau deket, tetap sopan, tetap jadi kamu... mungkin, suatu hari, aku bakal ngelepas gengsi aku juga."
Rafa tersenyum.
"Kapan pun Kakak siap. Aku bakal tetap di sini."
Naya berdiri.
"Ayo balik ke kelas."
"Udah selesai makannya?"
"Udah. Hatiku juga udah lebih ringan."
"Eh?"
"Nggak, maksudku perut." Naya nyengir, kali ini tulus.
Rafa cuma bisa melihatnya diam-diam sambil tersenyum.
Perasaannya sederhana:
"Kalau kamu bisa bikin dia lembut... berarti kamu lagi diajarin cara menyentuh hati dengan sabar."
Dan Rafa bersyukur... karena dia sedang belajar dengan baik.