Bab 11: Rumah yang Terlalu Sepi (Tanpa Rafa?)

Bab 11 – Rumah yang Terlalu Sepi (Tanpa Rafa?)

Sudut Pandang: Naya

Pagi itu, rumah sudah riuh sejak pukul enam.

Tapi bukan karena aku. Karena ibu.

Beliau bolak-balik masuk kamar, keluar lagi, ngecek koper, nyari charger, ngecek catokan rambut—padahal nggak bakal dipakai juga. Aku cuma duduk di sofa ruang tengah sambil ngaduk sereal, nonton keributan itu kayak nonton reality show.

"Yakin nggak mau aku temenin, Bu?" tanyaku sambil nyuap sereal.

"Ibu kerja, bukan liburan, Nay. Lagian kamu juga sekolah."

Ibu akhirnya duduk di depanku, lega karena semua sudah siap.

"Tiga hari ya, Bu? Kamis pulang?"

"Iya. Paling sore Kamis udah sampai rumah."

Aku mengangguk pelan.

Tiga hari sendiri?

Oke, aku udah biasa mandiri. Tapi ini pertama kalinya benar-benar sendiri di rumah... tiga hari.

Tiba-tiba, ibu menatapku sambil senyum.

"Kalau kamu kesepian, Rafa boleh datang ke rumah."

Aku langsung berhenti ngunyah.

"Hah? Siapa Bu?"

"Rafa."

Nada ibu tenang banget, kayak lagi bahas tukang sayur.

"Seriusan?"

"Iya. Ibu percaya sama anak itu. Dia sopan, ringan tangan, nggak macem-macem. Lagi pula kamu juga kelihatan lebih... hidup kalau dia ada."

Aku bengong.

Nggak tahu mau jawab apa.

"Tiga hari kan lama, Nay. Ibu nggak mau kamu ngerasa kesepian. Selama kamu belajar, tugas beres, dan dia juga datang dengan sopan, nggak masalah."

Mataku sempat melirik ke arah dinding ruang tamu.

Dinding itu kemarin dibersihin Rafa pakai lap basah.

Dengan senyum manis dan tangan yang nggak berhenti gerak.

"Tapi Bu... aku cewek. Dia cowok."

"Ibu tahu. Tapi kalian masih anak sekolah. Ibu percaya, kamu juga tahu batas."

Aku terdiam.

Setengah kagum karena ibuku terlalu percaya.

Setengah panik karena... apa ini artinya... aku boleh berduaan sama Rafa di rumah? Selama TIGA HARI?!

"Rafa juga bisa bantu kalau kamu kesulitan. Tapi kalau kamu nggak nyaman, nggak usah dipaksain juga."

"Iya, Bu... bukan nggak nyaman. Cuma... ini aneh."

Ibu berdiri, menepuk bahuku. "Ibu nggak pernah bilang kamu harus dewasa cepat-cepat, Nay. Tapi... kadang yang datang ke hidup kita duluan, malah ngajarin kita jadi dewasa. Si Rafa itu... kelihatan tulus."

Aku hanya mengangguk.

Nggak tahu harus seneng... atau tegang.

---

Ibu berangkat jam sembilan. Aku dadah-dadah di depan pagar, lalu masuk rumah sendirian.

Tiba-tiba, suasana rumah ini beda banget. Sepi.

Nggak ada suara alat masak. Nggak ada langkah kaki ibu di lantai dapur.

Aku duduk di ruang tengah, buka HP.

Kepikiran.

Banget.

"Seriusan nih... gue dikasih ijin ngajak cowok ke rumah? Sendirian? Tiga hari?"

Kepalaku bersandar ke sofa.

Tanganku nyaris nge-chat Rafa.

Tapi kutahan.

"Nggak usah dulu. Malu. Lagian baru juga pagi pertama."

---

Siangnya, aku makan sendirian.

Nasi goreng instan. Rasanya hambar. Nggak tahu kenapa.

Mungkin karena biasanya ibu yang nyiapin.

Kepikiran lagi.

Rafa pernah masak juga, ya? Pernah bilang bisa bantu rumah.

Tanganku refleks buka chat.

🟢 Rafa

> Kak Naya hari ini masuk nggak?

Kalau nggak masuk, aku izin bosen 😭

Aku senyum dikit. Lalu... ngetik pelan.

🟡 Naya

> Ibu lagi kerja di luar kota. Aku sendiri di rumah sampe Kamis.

🟢

> Lho? Sendiri? Nggak takut?

🟡

> Biasa aja. Tapi ibu bilang kalau aku kesepian... aku boleh undang kamu ke rumah.

🟢

> Serius? Ibu Kakak yang bilang? 😳

🟡

> Iya.

🟢

> Yaudah, aku kesana jam berapa? 😁

Aku diem. Pandangin layar.

Baru jam 1 siang. Sekolah juga udah selesai. Aku sendiri di rumah.

Tapi... masa iya?

🟡

> Datang sore aja. Jam 4.

🟢

> SIAP! Aku bawa sesuatu ya. Tapi jangan kaget.

🟡

> Apaan sih? Jangan aneh-aneh ya.

🟢

> Tenang. Anak baik ini nggak pernah aneh-aneh. 😌

Aku buang napas.

HP kutaruh di meja.

Lalu kepalaku bersandar lagi.

“Seriusan... Rafa bakal ke rumah. Sendirian. Hari ini. Lalu besok. Lalu lusa...”

Aku menatap langit-langit.

Dan... tersenyum kecil.

"Kayaknya... tiga hari ini nggak akan sepi deh."