Bab 12 – Cokelat, Bunga, dan Satu Kamar Berdua
Sudut Pandang: Naya
Pukul 15.59.
Aku ngintip dari balik tirai ruang tamu.
Satu menit lagi jam 4.
Dan ya... dia datang.
Dengan kemeja kotak-kotak casual dan celana hitam bersih. Di tangannya, ada sesuatu.
Bungkus plastik transparan, bentuknya buket. Tapi isinya...
Cokelat.
Bukan bunga beneran.
Aku buru-buru duduk di sofa. Berusaha keliatan santai.
Tok tok.
“Masuk,” kataku sambil menahan deg-degan.
Rafa buka pintu perlahan. Senyum jahilnya langsung muncul.
“Sesuai jam.”
“Pas banget. Aku kira kamu dateng subuh.”
“Kalau boleh, aku dateng dari jam 7 pagi tadi, Kak.”
“Ish...”
Dia nyodorin buket cokelat itu.
“Buat Kak Naya.”
Aku tertegun. Buket itu... bener-bener niat. Dibungkus rapi, ada pita kecilnya. Cokelat batang dan cokelat bulat warna-warni disusun kayak kelopak.
“Apaan ini...”
“Buket cokelat. Aku mau makan cokelat, tapi rasanya aneh kalau nggak dibungkus kayak bunga. Biar romantis.”
“Alasan...” Aku ambil pelan buket itu.
Tapi... jantungku hangat.
"Thanks."
“Sama-sama.”
Kami duduk di ruang tengah. Rafa nyalain kipas angin, lalu duduk santai.
“Sepi banget ya rumahnya.”
“Ya iyalah, cuma aku.”
“Terus aku?”
“Kamu... gangguan.”
“Tapi gangguan yang dirindukan kan?”
Aku mendengus, tapi tak menyangkal. “Sok banget.”
Setelah beberapa obrolan ringan, Rafa nyeletuk:
“Boleh... makan cokelatnya sekarang nggak?”
“Di sini?”
“Di mana aja boleh. Tapi aku mau makan rame-rame.”
Setelah berpikir sebentar, aku pun berdiri. “Yaudah, di kamar aja. Biar nggak diacak-acak semut.”
“Serius? Masuk kamar?”
Matanya berbinar.
“Kalau niat kamu aneh, aku lempar kursi.”
“Janji, aku cuma mau makan cokelat. Sumpah demi langit dan bumi.”
---
Di kamar, kami duduk bersila di atas kasur. Aku taruh buket cokelat di antara kami, lalu membuka pelan plastiknya.
Rafa ambil satu cokelat bulat warna ungu.
“Cheers?”
“Cheers.”
Kami makan.
Diam beberapa detik.
Manis. Bukan cuma cokelatnya. Tapi juga suasananya.
Rafa duduk agak rebahan, bersandar ke tembok, lalu menatapku.
“Aneh ya, kita berdua di kamar kayak gini.”
“Iya. Tapi... nyaman juga.”
Aku nggak tahu kenapa jawabanku keluar selembut itu.
“Kak Naya nggak takut?”
“Takut kenapa?”
“Takut... aku nyuri hati Kakak lebih dalam.”
Aku nyaris tersedak cokelat.
“Kamu tuh ya...”
Rafa ketawa pelan.
Lalu mengambil satu batang cokelat kecil, dan nyodorin ke arahku.
“Nih. Makan yang ini. Favorit aku.”
“Nggak mau, nanti kamu iri.”
“Kalau kamu yang makan, aku seneng.”
Tiba-tiba... diam.
Mataku ketemu matanya.
Nggak ada kata.
Tapi jantungku mulai berdetak nggak normal.
Dia nggak gerak, tapi tatapannya bikin ruang kamar ini mengecil.
Seolah cuma ada aku dan dia.
“Rafa.”
“Hmm?”
“Terima kasih ya... udah selalu datang.”
Dia tersenyum. Lalu, dengan gerakan pelan, dia tepuk pelan ubun-ubunku.
“Dan terima kasih... udah mulai buka hati.”
Aku menunduk.
Mengunyah cokelat.
Menahan pipi biar nggak panas.
---
Waktu berjalan pelan. Kami ngobrol, ketawa kecil, lalu diam bersama.
Kamar ini nggak terasa sempit. Justru... hangat.
Dan malam itu, ketika Rafa pulang, dia pamit sambil menatap mataku lebih lama dari biasanya.
“Sampai besok?”
Aku angguk pelan.
“Besok... bawain bunga beneran dong,” kataku pelan.
Rafa tertawa.
“Siap, putri bunga.”