Bab 13: Peluk Hangat, Ciuman Kilat, dan Air Mata Diam Diam

Bab 13 – Peluk Hangat, Ciuman Kilat, dan Air Mata Diam-diam

Sudut Pandang: Naya

Sore ini langit cerah.

Dan anehnya... aku nggak ngerasa sepi seperti kemarin.

Karena hari ini... dia datang lagi.

---

Tok tok.

Pintu terbuka.

Rafa berdiri dengan satu tangkai bunga lily putih di tangannya.

Senyumnya sama seperti kemarin: santai, percaya diri, dan... bikin jantung nyerempet pelan.

"Putri bunga. Sesuai janji."

Aku mengambil bunga itu. Harumnya lembut, warnanya bersih, dan aku—entah kenapa—tersenyum lebih cepat dari yang seharusnya.

"Cantik banget."

"Banget."

Mataku melirik. Dan dia... lagi-lagi nggak lihat bunganya. Dia lihat aku.

---

Setelah ngobrol ringan di ruang tengah, kami pindah ke kamar.

Sudah jadi kebiasaan.

Dan anehnya, aku tidak merasa canggung lagi. Seolah... ini memang tempat paling wajar untuk kami saling bicara.

---

Di kamar

Kami duduk bersila seperti kemarin. Snack di atas kasur. Musik jazz pelan masih diputar.

Rafa bersandar ke tembok. Lalu dia menatapku dengan sorot mata yang... bikin aku kikuk sendiri.

"Kamu hari ini beda, Kak."

"Apanya?"

"Lembut banget. Biasanya langsung ngebentak aku waktu datang."

Aku mengangkat alis. "Harusnya aku bentak biar kamu puas gitu?"

"Nggak. Tapi... senyum kamu hari ini kayak punya arti lebih."

Aku diam. Nggak membantah.

Lalu, Rafa bergerak pelan. Dia merapat ke arahku. Dan tiba-tiba...

Tangannya mendarat di kepalaku.

Diusap pelan.

Lembut.

Refleksku? Nggak ada.

Aku cuma diam. Tanganku di pangkuan. Tubuhku kaku sesaat, tapi kemudian...

Aku pasrah.

Tangannya terus mengusap kepala.

Gerakannya lambat, penuh perasaan. Seperti membelai sesuatu yang rapuh tapi berharga.

"Kamu tahu?" bisiknya sambil terus mengusap.

"Selama ini aku paling suka kalau lihat kamu dari belakang."

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Karena rambutmu selalu rapi, dan bahumu kecil... kayak seseorang yang nyembunyiin sisi lembut di balik sikap galak."

"Dan kamu pengen tahu sisi lembut itu?"

"Nggak cuma tahu. Aku pengen ada di sisi itu."

Aku terdiam. Tapi... aku juga nggak menjauh.

Tangannya tetap di kepala. Bahkan ketika kami mulai ngobrol soal hal-hal receh—tentang tugas, tentang film, tentang musik—tangannya tetap di sana.

Mengusap pelan.

Seolah... dia nggak mau melepas.

Dan anehnya... aku juga nggak mau dia lepasin.

---

Sampai akhirnya waktu berkata kami harus selesai.

"Aku pulang ya, Kak."

"Iya. Hati-hati."

Kami berdiri. Aku berjalan ke arah pintu, dan Rafa ikut. Tapi sebelum dia keluar kamar—

Dia menarikku.

Tangannya melingkari pinggangku, dan dalam satu gerakan ringan—

Dia mengangkatku.

"RAFA!"

Aku teriak pelan, terkejut.

Dia memutar tubuhku di udara. Satu... dua... tiga putaran.

"Kamu ringan banget, tahu nggak?"

Aku tertawa kecil sambil panik.

"Turunin! Gila kamu ya!"

"Bentar, aku lagi jatuh cinta, jangan ganggu."

Lalu dia menurunkanku pelan. Kaki kembali menginjak lantai.

Wajah kami hanya berjarak beberapa senti. Nafas kami bertemu di tengah.

Aku masih nyengir, mau marah. Tapi belum sempat bicara—

Ck.

Satu kecupan cepat mendarat di bibirku.

Sekali lagi.

Cepat. Tapi membakar.

Mataku membelalak. Jantungku berhenti setengah detik.

Rafa tersenyum puas.

"Ciuman hari kedua."

"Rafa..."

"Iya, iya, aku pulang. Besok datang lagi ya."

Dia membuka pintu. Melangkah keluar.

Aku... membeku.

---

Aku antarkan Rafa sampai ke pagar.

Dia menoleh sebelum naik motor.

"Dadah, Kak Naya yang galak tapi manis."

Aku hanya mengangguk pelan.

Dia melaju.

Dan aku langsung menutup pagar.

Langkahku cepat.

Masuk rumah. Naik ke kamar.

Dan ketika sampai di kasur—

Aku jatuh terduduk.

Tanganku naik ke bibir.

Masih terasa.

Dan entah kenapa...

Air mataku jatuh.

Tanpa suara.

Tanpa tangisan lebay.

Tapi... nyata.

Aku menunduk.

Dan akhirnya mengakui dalam hati...

"Gue jatuh cinta. Sama bocah itu."