Bab 14 – Cerita yang Disimpan, dan Tawa Ibu yang Mengerti
Pagi ini, rumah kembali ramai. Suara langkah kaki ibunya terdengar di dapur. Naya berdiri di ambang pintu kamar, melihat ibunya menata tas dan oleh-oleh dari luar kota. Tiga hari terasa cepat, tapi banyak hal terjadi.
Terlalu banyak, bahkan.
"Nay, bantu ibu angkat kardus ini, ya," panggil ibunya sambil tersenyum. Naya cepat-cepat berjalan dan mengangkat kardus kecil berisi jajanan dari luar kota.
"Gimana rumah selama ibu pergi? Aman, kan?" tanya ibunya saat sarapan bersama.
"Aman, kok," jawab Naya singkat, menyuap nasi goreng ke mulut. Tapi matanya sempat melirik ke arah pintu, seolah berharap seseorang nongol dari sana. Rafa. Tapi dia nggak mungkin datang pagi-pagi begini.
Ibunya mengangguk. Tak banyak bicara. Tapi tatapannya tajam. Ibu selalu tahu.
---
Malam hari. Lampu kamar sudah diredupkan. Naya duduk di kasurnya sambil memeluk bantal, ponsel di tangan, melihat obrolan terakhir dengan Rafa:
> Rafa: "Besok aku nggak bisa datang, ya. Ibumu udah pulang. Tapi makasih buat tiga harinya. Aku nggak bakal lupa."
> Naya: "Iya. Aku juga makasih..."
Jempolnya berhenti mengetik.
Dia menatap layar lama, lalu menghela napas. Perasaannya penuh. Bercampur antara malu, bahagia, dan deg-degan. Dia pengen cerita... tapi takut.
Tok tok.
Pintu terbuka sedikit. Ibu menyembul dari balik pintu.
"Kamu udah tidur?"
"Belum. Masuk aja."
Ibunya duduk di ujung ranjang. Naya menarik kakinya, duduk bersila.
"Kelihatan aneh dari pagi. Ada yang mau diceritain?"
Naya menggigit bibir bawahnya. Lalu mengangguk pelan.
"Sebenarnya... selama ibu pergi, aku nggak sendirian. Rafa datang ke rumah. Setiap hari."
Ibunya mengangkat alis. Tapi tetap tenang.
"Aku ajak dia masuk. Kami ngobrol di kamar. Makan bareng. Dia bantu bersihin meja, nyuci piring. Bahkan masakin air."
Ibunya tersenyum kecil. "Lanjut."
Naya menarik napas panjang.
"Hari pertama dia bawa coklat. Hari kedua bawa bunga beneran. Dia juga suka... usap-usap kepalaku."
Ibunya diam. Mendengarkan dengan seksama.
"Dan... kemarin... aku... aku nyium dia, Bu. Aku yang minta dia jongkok, terus aku peluk dan... nyium dia."
Sunyi.
Jantung Naya berdetak kencang.
Lalu tiba-tiba—
Ibunya tertawa.
"HAHAHAHA!"
Naya terkejut. "Bu! Jangan ketawa! Aku serius ini!"
Ibunya menepuk pahanya, tertawa makin keras.
"Astaga... Naya... kamu pikir kamu anak paling nekat sedunia? Dulu ibu waktu pacaran sama almarhum ayahmu juga begitu."
"Serius?"
"Iya. Dulu ayahmu ngasih bunga yang dia curi dari taman depan sekolah. Waktu itu ibu ngambek tiga hari gara-gara dia telat jemput. Tapi begitu dikasih bunga, ibu langsung baikan."
Naya tertawa kecil. "Ibu nakal juga ya."
"Ibu cuma... pernah muda, Nak. Sama kayak kamu sekarang."
Sebelum keluar kamar, ibunya berdiri dan berkata sambil tersenyum:
"Ibu nggak marah. Ibu malah lega. Karena ternyata, kamu bisa selembut itu kalau ketemu orang yang tepat."
Lalu ia menoleh sekali lagi sebelum menutup pintu:
"Dan soal ciuman itu... Ibu dulu lebih duluan, Nay."
Klek.
Naya menutup wajahnya pakai bantal. Wajahnya merah, campur malu dan geli.
"Ya ampun... ibu gue lebih frontal dari gue..."
---
Sepuluh menit kemudian, Naya berjalan ke kamar ibunya. Pintu masih setengah terbuka.
"Bu...?"
"Iya, sini."
Naya masuk, duduk di pinggir ranjang.
"Aku cuma mau tanya... ibu beneran nggak marah sama Rafa?"
Ibunya menghela napas, menatap langit-langit kamar sejenak.
"Nggak. Ibu malah... kangen. Karena pas kamu cerita, ibu jadi inget ayahmu."
"Mirip ya?"
"Banget. Ayahmu juga gitu. Perhatian. Lembut. Rajin bantu di rumah. Tapi kalau lagi berdua... bisa romantis banget. Nggak banyak ngomong, tapi setiap geraknya selalu penuh arti."
Naya tersenyum.
"Rafa juga gitu..."
Ibunya mengusap kepala Naya.
"Kalau kamu nanti serius sama Rafa, ibu nggak akan melarang. Tapi inget, kamu tetap punya tanggung jawab sebagai anak dan sebagai pelajar."
"Iya, Bu."
"Suka boleh. Lupa diri jangan."
Malam itu, Naya kembali ke kamarnya. Berbaring sambil memeluk bantal.
Dan untuk pertama kalinya sejak Rafa datang, malam ini dia bisa tidur... dengan tenang.
Karena cinta itu... sekarang, sudah direstui.