Bab 15: Diam-Diam Menatap

Bab 15 – Diam-Diam Menatap

Hari Senin datang terlalu cepat. Padahal Naya masih ingin satu hari libur lagi. Bukan karena malas sekolah. Tapi karena hatinya belum siap bertemu Rafa... setelah semua yang terjadi.

Ia berdiri di depan cermin, menyisir rambut perlahan. Seragam putih abu-abunya rapi, dasi terpasang, sepatu bersih. Tapi wajahnya belum siap. Entah kenapa jantungnya deg-degan seperti akan ujian nasional.

"Santai, Nay," gumamnya pada diri sendiri. "Dia cuma anak kelas 10. Kamu kakak kelas. Kamu galak. Kamu kuat."

Tapi mulutnya nggak berhenti senyum-senyum sendiri.

---

Di sekolah, suasana sudah ramai. Teman-teman sekelas menyapa seperti biasa. Naya membalas, tapi pikirannya nggak fokus. Matanya tanpa sadar mencari-cari satu sosok...

Rafa.

Dan saat istirahat pertama, akhirnya dia melihatnya. Rafa berdiri di dekat lapangan basket, bersama teman-teman cowoknya. Tertawa lepas, melambai ke arah seseorang, dan—

Tatapan mereka bertemu.

Deg.

Rafa tersenyum. Bukan senyum jahil seperti biasanya. Tapi senyum... hangat. Lembut. Seolah berkata, "Aku senang lihat kamu hari ini."

Naya cepat-cepat menunduk dan pura-pura ngelap keringat di dahi.

"Astaga, kenapa dia masih bisa bikin aku begini..."

---

Sepulang sekolah, Naya duduk di bawah pohon dekat taman kecil di belakang gedung perpustakaan. Tempat yang jarang dilewati orang.

Dia membuka buku tugas matematika. Tapi pikirannya nggak bisa berhenti memutar ulang semua kejadian minggu lalu.

Tiba-tiba, seseorang duduk di sampingnya.

Rafa.

"Lagi pura-pura belajar, Kak?" godanya.

Naya menoleh tajam. "Aku nggak pura-pura. Emang lagi belajar."

"Hmm. Tapi matanya kosong gitu. Kayak mikirin cowok..."

"Jangan GR."

Rafa tertawa pelan. Lalu diam sebentar.

"Aku senang kamu datang sekolah. Aku kira kamu bakal ngilang karena malu."

"Malu kenapa?"

"Ya... setelah yang kemarin."

Naya memalingkan wajah. Pipinya mulai memanas.

"Kamu nyesel?" tanya Rafa pelan.

Naya menatapnya. Serius.

"Enggak."

Mata Rafa berbinar. "Beneran?"

"Iya. Tapi jangan GR. Itu bukan berarti kamu boleh seenaknya."

"Siap, Kakak pendek galak."

"RAFA!"

Mereka tertawa. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, Naya merasa ringan. Ternyata bukan canggung yang datang. Tapi rasa... nyaman.

---

Di kelas, Rafa duduk di pojok, membuka bekal yang dibawanya. Teman-temannya ribut seperti biasa. Tapi matanya sesekali melirik ke luar jendela. Ke arah taman kecil tempat Naya tadi duduk.

"Dia beneran datang hari ini," bisiknya ke diri sendiri. "Dan dia nggak marah..."

Hatinya menghangat.

---

Sore harinya, di rumah, Naya membuka buku tugas. Tapi sebelum mulai menulis, dia mengambil buku diary kecil dari laci.

> Hari ini aku lihat dia lagi. Rafa. Dia tersenyum. Dan bodohnya... aku senyum balik. Apa ini artinya aku mulai... Ah, sudahlah. Aku cuma butuh nilai bagus minggu ini. Fokus, Naya.

Dia menutup buku, senyum kecil di bibirnya tak terbendung.

Dan saat itu, ponselnya berbunyi.

> Rafa: "Besok aku bawa sesuatu. Tapi janji ya jangan marah."

> Naya: "Apaan?"

> Rafa: "Rahasia. Tapi janji dulu."

> Naya: "Kalau aneh, aku lempar kamu."

> Rafa: "Lempar juga nggak apa-apa. Yang penting aku bisa deket kamu lagi."

Naya mendesah. Senyum makin lebar.

"Anak ini bener-bener bikin gila..."

Tapi hatinya, untuk pertama kalinya sejak lama...

Tenang. Bahagia. Dan penuh rasa yang tumbuh perlahan.