Bab 16 – Hadiah Tak Terduga
Pagi itu, Naya datang ke sekolah sedikit lebih awal. Bukan karena rajin, tapi karena semalam ia tak bisa tidur. Obrolan terakhir dengan Rafa memenuhi kepalanya:
> Rafa: "Besok aku bawa sesuatu. Tapi janji ya jangan marah."
Apa yang akan dia bawa? Naya tidak suka kejutan. Tapi sejak bersama Rafa, dia mulai terbiasa dengan hal-hal yang tak terduga—dan diam-diam, ia menikmatinya.
Di kelas, sebelum bel masuk, teman-teman belum ramai. Naya duduk di bangkunya, membuka buku catatan, tapi tidak membaca. Matanya menatap jendela.
Beberapa menit kemudian, bayangan seseorang muncul di pintu kelas.
"Permisi kakak kelas yang galak dan cantik, boleh ngasih sesuatu?"
Rafa muncul dengan senyum lebar dan tangan di belakang punggung.
Naya menghela napas. "Cepat kasih, terus pergi. Aku lagi belajar."
"Lagi bengong tepatnya," kata Rafa sambil tertawa. Dia mendekat, lalu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya.
Sebuah kotak kecil, dibungkus kertas kado warna biru muda, dengan pita kuning di atasnya.
"Apa ini?"
"Buka aja."
Naya menatapnya tajam. "Kalau ini slime atau kecoa mainan, aku lempar kamu dari lantai dua."
Rafa pura-pura takut. "Aduh jangan kak, aku masih muda."
Naya membuka pelan kado itu. Di dalamnya, sebuah bros kecil berbentuk bunga matahari. Sederhana, tapi cantik.
"Kenapa ini?"
"Biar kamu bisa pakai di kerudung kamu. Biar orang tahu, kamu lagi disukai seseorang."
Naya tersenyum kecil. Tapi buru-buru ditahan.
"Cie, kakak senyum."
"Pergi sana sebelum aku lempar penggaris."
Rafa tertawa dan mundur pelan, lalu berbalik keluar. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh.
"Kak Naya..."
"Apa lagi?"
"Kalau kamu nggak suka brosnya, kamu boleh balikin. Tapi jangan balikin aku. Soalnya aku udah terlalu suka."
Naya mematung.
Rafa pergi.
Dan Naya butuh beberapa menit untuk bisa bernapas normal lagi.
---
Waktu istirahat, Naya berjalan menuju kantin. Tapi sebelum sampai, ia melewati taman kecil tempat biasa ia dan Rafa duduk. Di sana, Rafa sedang sendiri, makan roti sambil menatap langit.
Tanpa sadar, Naya melambatkan langkah. Menatap punggung Rafa.
Dalam hati, ia bergumam:
"Kenapa sih kamu selalu muncul di saat aku butuh ditemani? Padahal aku nggak pernah bilang."
Ia berjalan mendekat.
"Eh. Tumben kamu nggak ngikutin aku?"
Rafa menoleh, kaget. "Wah, Kakak Naya ngelabrak aku lagi?"
"Nggak. Aku cuma lagi butuh tempat duduk."
Mereka duduk berdampingan. Diam sebentar.
Naya membuka kotak makan kecil dari tasnya. Roti isi telur keju buatan ibunya.
Rafa melirik.
"Kok kelihatan enak?"
"Mau?"
"Boleh?"
Naya potong roti jadi dua, memberikan setengahnya ke Rafa. Ia menerimanya dengan senyum lebar.
"Ini roti terenak yang aku makan hari ini."
"Emang kamu makan apa aja?"
"Cuma ini."
Naya mengangkat alis. "Jadi kamu nggak sarapan?"
"Nggak sempat. Aku sibuk bungkusin kado buat kamu."
Diam. Naya tertegun.
Rafa mengunyah pelan. "Nggak apa-apa sih. Yang penting kamu suka."
Naya menunduk. Lalu berbisik pelan.
"Aku suka."
Rafa menoleh. "Apa?"
"Roti. Enak."
Rafa tertawa. "Padahal kamu mau bilang suka bros, kan?"
Naya memalingkan wajah. Tapi pipinya merah.
---
Sore harinya, saat Naya sudah sampai rumah, ia membuka kotak bros itu sekali lagi. Ia memakainya di kerudung, menatap bayangannya di cermin.
Lucu juga.
Lalu ia duduk di meja belajar, membuka buku. Tapi sebelum menulis, ia mengambil diary kecilnya.
> Hari ini dia ngasih aku hadiah. Bros bunga matahari. Katanya biar aku kelihatan disukai orang. Padahal dia nggak sadar, aku udah ngerasa disayang dari lama.
> Bodohnya aku... malah pura-pura nggak suka.
> Tapi dia nggak pergi. Dia tetap duduk di sampingku. Dan makan roti bareng.
> Tuhan, kalau boleh... izinkan aku suka anak itu lebih lama.
Ia menutup buku. Dan seperti malam-malam sebelumnya...
Naya tidur dengan senyum.