Malam turun tanpa suara. Desa Karangjati tenggelam dalam kabut dingin, dan hanya suara jangkrik serta desir angin di dedaunan yang menemani langkah kaki Aydan. Ia menyelinap keluar rumah melalui jendela belakang. Ibunya sudah tertidur, meskipun raut khawatir belum sepenuhnya hilang dari wajahnya.
Aydan tahu risikonya besar. Tapi ia juga tahu: kalau ia tidak bertindak malam ini, Raka akan mati esok pagi.
Tangannya menggenggam kalung kayu cendana pemberian neneknya. Katanya, benda itu bisa melindunginya dari roh-roh jahat, meski Aydan sendiri belum pernah benar-benar mencobanya. Di sakunya, ia juga menyimpan segenggam garam kasar dan potongan kecil daun kelor—dua benda yang ia baca di buku tua warisan almarhum kakeknya. Benda sederhana, tapi jika dipakai oleh orang yang bisa “melihat,” efeknya bisa jadi luar biasa.
Ketika sampai di depan rumah Pak Darto, suasana begitu sunyi. Tak ada lampu menyala. Rumah itu gelap seperti kuburan. Tapi Aydan melihatnya dengan jelas—bayangan hitam itu berdiri di atap rumah, menatap ke arahnya dengan mata merah menyala.
“Aku datang untuk menantangmu,” bisik Aydan dalam hati.
Dengan hati-hati, ia masuk dari jendela samping yang terbuka sedikit. Di dalam, suhu ruangan terasa dingin menusuk. Bau anyir dan busuk memenuhi udara, seperti bau daging basi yang lama tak dibuang.
Aydan menemukan Raka di kamar tengah. Anak itu terbaring, kulitnya memucat, dan tubuhnya bergerak-gerak tak sadar seperti sedang bermimpi buruk. Dari mulutnya, suara-suara aneh keluar—bercampur antara tawa dan tangis.
Bayangan itu muncul perlahan dari dinding. Seperti keluar dari cat tembok yang meleleh. Bentuknya tak jelas, tapi wajahnya kini lebih nyata—seperti wajah manusia yang tercabik-cabik.
“Kau melihatku, bocah sial.”
Suaranya serak, bergema di kepala Aydan. Bukan dari mulut... tapi langsung ke pikirannya.
Aydan melangkah maju. “Pergi dari tubuhnya. Dia bukan milikmu.”
“Dia lemah. Dan lemah adalah pintu bagiku.” Bayangan itu menggeram. “Seperti ayahmu dulu.”
Aydan terdiam. Kata-kata itu menusuk. “Kau... kau mengenal ayahku?”
“Aku pernah bersarang di dalamnya. Tapi dia kabur. Lari... dan meninggalkanmu.”
Mata Aydan berkaca-kaca. Tapi ia tak gentar. Ia merogoh kantongnya dan menyebarkan garam dan daun kelor ke lantai, membentuk lingkaran di sekitar tubuh Raka.
Bayangan itu meraung, melompat ke arah Aydan dengan marah. Tapi tepat saat itu, Aydan mengangkat kalung cendana dan mengucap doa yang pernah diajarkan neneknya.
Suara Aydan kecil, tapi getarannya terasa kuat di udara:
> “Yang gelap, kembali ke gelap. Yang bukan milik, kembalilah ke asal. Yang bukan tubuhmu, tinggalkan tubuhnya.”
Bayangan itu menjerit. Tubuhnya mulai mengelupas seperti kertas terbakar. Ruangan bergetar. Dinding berderak. Dan dengan satu raungan panjang—ia lenyap.
Raka berhenti bergerak. Napasnya kembali normal. Suara aneh itu lenyap.
Dan sunyi kembali menguasai rumah.
Aydan terduduk, lemas. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menang.
---
Pagi harinya, Pak Darto dan Bu Lilis menemukan Raka tidur tenang di kasurnya, dengan Aydan tertidur di lantai. Awalnya mereka terkejut. Tapi ketika Raka membuka matanya dan berkata:
> “Aydan... dia menyelamatkanku.”
Segalanya berubah.