Bab 3: Rumah yang Tak Pernah Tidur

Aydan berdiri di depan pagar rumah Pak Darto pagi-pagi sekali, saat embun masih menggantung di ujung rumput dan ayam jantan belum benar-benar selesai berkokok. Langit masih suram, seperti ragu-ragu untuk mengizinkan matahari menyala sepenuhnya.

Ia menghela napas dalam-dalam. Tangannya gemetar. Ini bukan sekadar datang untuk bicara—ini soal menyelamatkan nyawa. Dan juga mungkin... reputasinya yang telah lama dikubur bersama tuduhan “anak pembawa sial”.

Aydan mengetuk pintu. Sekali. Dua kali. Tak ada yang menjawab.

Namun sebelum ia sempat mengetuk lagi, suara dari dalam terdengar: suara tangisan.

“Bu...! Bu! Raka pingsan lagi!” teriak suara perempuan—sepertinya kakak Raka.

Pintu terbuka. Aydan langsung berhadapan dengan Bu Lilis, istri Pak Darto. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, dan matanya sembab. Di belakangnya, Raka terbaring di sofa, tubuhnya menggigil meski dibalut selimut tebal.

“Apa yang terjadi...?” bisik Aydan dengan suara kecil.

Bu Lilis hendak membentaknya, tapi saat itu juga Raka menjerit keras dari dalam rumah. Jeritan yang tak terdengar seperti jeritan anak tujuh tahun—melainkan seperti suara... orang dewasa. Serak. Penuh kemarahan.

Bu Lilis langsung berlari kembali ke dalam.

Aydan mengikuti dari luar pintu. Lalu ia melihatnya—bayangan itu. Lebih besar dari kemarin. Berdiri di ujung ruangan, menempel di langit-langit seperti asap hitam yang bergulung-gulung. Matanya merah menyala. Dan dari mulut Raka yang terbuka, suara-suara aneh bergema seperti dari dasar sumur.

“Dia sudah mulai dikuasai,” gumam Aydan. “Aku harus masuk. Aku bisa bantu dia.”

Tapi saat ia melangkah, tangan kasar menyentaknya mundur. Pak Darto.

“KAU LAGI?!” bentaknya sambil mendorong Aydan ke tanah. “Anakku sakit dan kamu datang-datang seolah tahu segalanya! Pergi dari sini sebelum aku panggil warga!”

Aydan terduduk. Matanya basah. Tapi dari ujung matanya, ia melihat bayangan itu menoleh... dan menatapnya langsung.

Bayangan itu tahu Aydan bisa melihatnya. Dan sekarang, ia tahu Aydan adalah ancaman.

---

Sore hari itu, satu rumah di Desa Karangjati tidak menyalakan lampu.

Warga berbisik—Raka tak sadarkan diri, tubuhnya panas membara, dan tak ada dokter yang bisa menjelaskan.

Tapi Aydan tahu.

Malam ini, ia harus kembali.

Sendiri.

Dan berhadapan langsung dengan kegelapan yang hanya dia bisa lawan.