Bab 5: Antara Rasa Syukur dan Rasa Takut

Berita itu menyebar lebih cepat dari suara ayam berkokok.

"Aydan menyelamatkan Raka!"

"Katanya semalam dia usir setan di rumah Pak RT!"

"Apa benar Aydan bisa bicara sama makhluk halus?"

Warga Desa Karangjati yang sebelumnya hanya tahu cara menuding dan berbisik kini mulai menatap Aydan dengan pandangan baru—campuran antara kagum dan takut. Sebagian mulai menganggapnya ‘anak pintar’, tapi sebagian lain justru semakin yakin: anak itu memang bukan anak biasa.

Di warung kopi dekat balai desa, obrolan para bapak berubah dari politik dan harga gabah menjadi cerita tentang Aydan.

“Aku denger dia nggak baca doa biasa, doanya kayak mantra.”

“Kalau dia bisa usir, berarti dia juga bisa manggil. Hati-hati aja.”

Aydan sendiri memilih tetap diam. Ia hanya ingin kembali ke kehidupannya yang tenang—meski ia tahu itu tak akan pernah benar-benar mungkin lagi.

---

Sementara itu, di rumah Pak Darto...

Pak RT yang sebelumnya sangat membenci Aydan kini diliputi perasaan campur aduk. Ia ingin berterima kasih, tapi juga masih sulit menerima kenyataan bahwa keselamatan anaknya bergantung pada anak yang dulu ia usir.

Akhirnya ia datang bersama Raka ke rumah Bu Rini.

“Saya... minta maaf, Bu, Aydan.” ucap Pak Darto dengan suara berat. “Dan juga... terima kasih.”

Aydan hanya mengangguk. Tapi saat Raka memeluknya dan berkata, “Aydan, kamu pahlawanku,” untuk pertama kalinya hati Aydan terasa ringan.

---

Namun malamnya, saat Aydan sedang menyapu halaman, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya dingin kembali.

Seekor burung gagak mati tergeletak di depan rumahnya. Matanya terbuka. Paruhnya retak. Dan di bawah tubuhnya... tergores lambang aneh—seperti lingkaran dengan tanda silang di tengahnya.

Aydan menatap simbol itu. Ia pernah melihatnya.

Di mimpi.

Dan juga... di buku tua milik kakeknya yang kini disimpan di gudang.

“Apa ini belum selesai...?” gumamnya.

Dan saat ia menoleh ke jendela kamar—bayangannya sendiri tidak tampak di kaca.