Bab 6: Warisan yang Terlupakan

Gudang tua di belakang rumah Aydan adalah tempat yang jarang disentuh siapa pun. Debu menebal di setiap sudut, sarang laba-laba menggantung seperti tirai tua, dan udara di dalamnya dingin walau matahari sedang terik. Tapi malam itu, Aydan masuk ke dalamnya dengan tekad bulat.

Ia membawa senter kecil dan selembar kertas yang ia salin dari simbol aneh di bawah burung gagak. Ia tahu, jawabannya ada di sana—di tumpukan benda-benda peninggalan almarhum kakeknya.

Butuh waktu hampir satu jam sebelum ia menemukan peti kayu kecil di pojok gudang, tersembunyi di balik tumpukan kain dan barang-barang berkarat. Peti itu berat, terkunci, tapi Aydan tahu persis di mana kuncinya—di dalam laci meja altar tua yang dulu dilarang disentuh.

“Maaf, Kek... aku harus tahu.”

Dengan kunci di tangan, ia membuka peti itu. Di dalamnya terdapat beberapa benda:

Sebuah buku tua berkulit hitam, tulisannya hampir pudar.

Kalung logam berbentuk segitiga dengan ukiran aneh di tengahnya.

Sepotong kertas kulit dengan tulisan tangan, yang tampak seperti bagian dari catatan pribadi.

Aydan membuka buku itu dan membaca halaman pertama:

> “Kami, keturunan mereka yang terpilih, diberi kemampuan untuk melihat dua dunia. Tapi yang tak disadari oleh banyak indigo... adalah bahwa mata yang bisa melihat terang, juga bisa memanggil gelap.”

Jantung Aydan berdetak kencang. Ia membalik halaman demi halaman, melihat catatan tentang roh-roh penjaga, entitas bayangan, dan simbol-simbol pelindung. Lalu matanya terpaku pada satu halaman...

Simbol yang sama seperti yang ia lihat pagi tadi.

> “Tanda Pemanggil. Digunakan oleh entitas kelas tinggi untuk menandai jiwa. Biasanya muncul sebelum perebutan tubuh atau penggabungan roh. Jika tidak dihentikan, jiwa yang ditandai bisa dijadikan medium permanen.”

“Aku yang ditandai...?” bisik Aydan. Tapi ingatannya langsung kembali ke satu kata dari bayangan itu semalam:

> “Seperti ayahmu dulu.”

Tangannya gemetar saat ia mengambil potongan kertas kulit yang tampaknya sobek dari buku itu. Di sana, dengan tulisan cepat dan berantakan, terbaca:

> “Jika aku gagal melindungi anakku, maka kutinggalkan semua ini untuknya. Karena pada akhirnya, mereka akan datang untuknya juga. – Ayahmu.”

Aydan menjatuhkan kertas itu. Matanya membelalak. Ayahnya tahu. Ayahnya punya kekuatan yang sama. Dan ia pernah menghadapi hal ini sebelumnya.

---

Malam itu, Aydan tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamarnya, mencoba menyatukan semua potongan.

Ia adalah warisan.

Ia bukan satu-satunya.

Dan kini, musuh lama keluarganya telah kembali.