Pagi hari di Desa Karangjati tampak seperti biasa—matahari menyala pelan, ibu-ibu menyapu halaman, dan aroma gorengan dari warung mulai memenuhi udara. Tapi di dalam rumah kecil milik Bu Rini, seorang anak berusia 12 tahun sedang membuka pintu menuju masa lalu.
Setelah membaca catatan ayahnya, Aydan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya: bertanya langsung kepada ibunya.
“Bu, kenapa Ayah pergi...?”
Pertanyaan itu jatuh seperti batu besar ke dalam hati Bu Rini. Ia diam cukup lama sebelum duduk di kursi kayu yang mulai tua dan berbunyi pelan.
“Ayahmu nggak pergi karena dia gak sayang sama kamu...” katanya lirih. “Dia pergi... karena ingin melindungi kita.”
Aydan menatap ibunya dengan mata dalam. “Melindungi dari apa?”
Bu Rini menghela napas panjang. “Ayahmu dulu... juga bisa melihat seperti kamu. Dia bukan cuma bisa melihat—dia bisa menahan mereka. Menahan yang jahat. Tapi ada sesuatu yang datang... sesuatu yang terlalu kuat.”
Aydan menyadari: ayahnya tidak melarikan diri. Ia menghilang karena bertarung.
---
Hari itu, Aydan pergi ke tempat yang terakhir kali disebut ibunya sebagai lokasi terakhir ayahnya: Hutan Tanjung. Tempat yang dianggap “keramat” oleh warga desa. Tidak ada yang berani masuk ke dalam terlalu jauh. Tapi Aydan tahu—kalau jawaban ada di sana, ia harus berani.
Semak-semak mulai menutup jalan. Suara burung lenyap seiring langkah Aydan masuk lebih dalam. Kabut tipis mulai mengambang di antara pohon-pohon tinggi. Udara menjadi berat, dan dunia terasa sepi—seperti waktu berhenti.
Lalu Aydan melihatnya.
Sebuah pondok tua. Runtuh sebagian, tertutup lumut dan akar. Tapi di bagian atas pintunya, tergantung kalung logam segitiga—persis seperti milik kakeknya.
Jantung Aydan berdegup kencang. Ia masuk.
Di dalam pondok, ia menemukan jejak-jejak kehidupan: kasur jerami usang, alat-alat ukir, dan... sebuah buku catatan. Ketika ia membukanya, halaman pertama bertuliskan:
> “Untuk anakku. Jika kau membaca ini, maka aku gagal. Tapi juga berarti kau cukup kuat untuk mencari kebenaran.”
Aydan menahan napas. Ini tulisan ayahnya.
Ia membalik halaman demi halaman. Catatan itu penuh dengan nama-nama entitas bayangan, pengalaman melawan roh jahat, dan ritual perlindungan. Tapi satu nama muncul berulang kali:
> "KALASETHRA."
Sebuah entitas kuno. Pemimpin para bayangan. Roh pengikat darah. Dan... musuh yang tak pernah benar-benar mati.
“Kalasethra yang datang ke tubuh Raka... mungkin hanya utusan.” gumam Aydan. “Yang asli... akan datang padaku.”
---
Di luar pondok, angin mulai berubah. Daun-daun berputar di tanah seperti mata mengintai. Dan dari balik kabut...
Bayangan lain muncul.
Tapi kali ini, ia berbentuk manusia.
Tinggi. Berjubah. Wajahnya tersembunyi.
Lalu, ia bicara dengan suara dalam yang menggema:
> “Aydan...
Darahmu adalah perjanjian.
Sudah saatnya kau memilih: menjadi perantara kami...
...atau mati seperti ayahmu.”