Langit di atas Desa Sumbara dipenuhi warna-warna kelam yang menggantung berat seperti pertanda. Awan menggelap meski belum malam. Matahari bersembunyi di balik kabut pekat yang seolah enggan menyinari bumi. Suasana itu membuat setiap nafas terasa berat. Aydan berdiri di depan jendela rumah panggung tempat ia dan Nilam menetap sementara, menatap ladang yang mulai memutih oleh kabut, seolah dunia sedang ditulis ulang oleh tangan yang tak terlihat.
“Ladang itu dulu penuh bunga cerita,” kata seorang tua bernama Nira, yang dulunya pengumpul dongeng rakyat. “Sekarang… hanya kabut yang tumbuh.”
Aydan menoleh, lalu kembali diam. Dalam sepekan terakhir, tiga desa—Tandah, Gerwana, dan Teladasi—diserbu diam-diam. Tak ada darah, tak ada teriakan, hanya keheningan yang ditinggalkan. Semua mural, puisi, bahkan tulisan anak-anak di tanah, dibersihkan seperti tidak pernah ada.
Yang datang tidak pernah bicara. Tidak menuntut. Tidak menjelaskan. Mereka hanya berdiri, menatap, lalu membakar atau menghapus. Tanpa peringatan. Tanpa jeda.
Pemurni Narasi.
Makhluk berjubah abu-abu dengan wajah tertutup helai-helai naskah kosong. Mereka datang sebagai pembawa ketertiban, katanya. Tapi Aydan tahu: mereka adalah pembunuh makna.
---
Tanda-Tanda Dini
Malam itu, Nilam tergesa masuk ke dalam rumah. Nafasnya terengah.
“Aydan… mereka terlihat di barat ladang. Delapan, mungkin lebih. Membawa obor bisu.”
Obor bisu—obor tanpa nyala, hanya cahaya pucat tak bersuara. Obor yang digunakan Pemurni Narasi untuk membekukan suara di sekeliling mereka.
“Ini bukan hanya patroli,” tambahnya. “Ini pengepungan sunyi.”
Aydan menarik napas dalam-dalam. Ia menggenggam batu roh yang tergantung di lehernya. Batu itu mulai dingin, tanda roh-roh kecil di sekitar desa mulai menghilang, menghindar dari medan penuh diam.
“Kita harus melakukan sesuatu,” gumamnya.
Akar, yang duduk di sudut ruangan menyalin ulang naskah puisi tua, berdiri.
“Aku tahu ke mana kita harus pergi,” katanya. “Ke tempat di mana cerita pertama ditulis. Di mana suara awal diberikan pada dunia.”
Aydan mengangguk. Ia tahu tempat itu.
Kuil Kertas.
Dan di sana… ada satu orang yang mungkin masih bisa membantu.
---
Perjalanan Menuju Kuil Kertas
Kuil Kertas tidak tercantum dalam peta biasa. Letaknya tersembunyi di bawah rerimbunan Bukit Renga, dilindungi oleh pohon-pohon tua dan bayangan legenda yang hidup dalam bisikan malam.
Perjalanan menuju ke sana seperti melintasi lembar-lembar kisah yang terlupakan. Mereka melewati sungai yang airnya tidak memantulkan wajah siapa pun—Sungai Lupa, tempat roh-roh yang kehilangan nama larut. Mereka berjalan di antara pepohonan bergores ukiran cerita lama, dan melewati batu-batu roh yang menangis pelan.
Di setiap langkah, dunia seolah ingin melupakan mereka. Kabut menghapus jejak. Angin menutupi suara langkah.
Namun di tengah semuanya, Aydan terus berjalan. Dalam hatinya ada suara baru—bukan suara dari luar, tapi dari dalam. Suara dirinya sendiri yang sudah menyatu dengan dunia roh. Ia tidak sekadar mendengar cerita. Ia menjadi bagian dari cerita itu.
---
Pertemuan dengan Amartha
Kuil Kertas menyambut mereka dengan keheningan berat. Tidak ada penjaga, tidak ada suara alam. Dinding-dindingnya penuh dengan ukiran aksara purba yang kini sudah retak dan mengelupas.
Di tengah pelataran, berdiri seorang perempuan tua berjubah merah tua dan hitam. Rambutnya disanggul rapi, matanya tertutup kain hitam.
Amartha.
Dulu, ia adalah penjaga Balai Kata. Guru sekaligus pelindung Aydan. Kini ia menjadi sosok yang menjauh dari terang dan tenggelam dalam abu-abu.
“Kalian datang,” katanya tanpa membuka mata.
“Bukan karena ingin,” jawab Aydan. “Tapi karena tak ada pilihan.”
Amartha tersenyum pahit. “Pilihan selalu ada. Bahkan memilih diam… adalah pilihan.”
“Kami butuh kau membangunkan Sumbu Cerita,” kata Nilam.
Amartha menunduk. Tangannya menyentuh batu besar di tengah pelataran kuil. Batu itu tidak bergema. Tidak bersinar. Seperti tubuh dunia yang kehabisan darah.
“Tak mudah,” katanya. “Sumbu hanya terbuka untuk mereka yang tidak membawa niat pribadi.”
“Kami tak punya apa-apa selain keyakinan bahwa dunia ini bisa kembali bersuara,” kata Aydan. “Jika itu niat pribadi, biarkan dunia mengadiliku nanti.”
Amartha diam lama.
Lalu ia membuka penutup matanya. Mata itu bukan hanya menatap. Mata itu memancarkan huruf-huruf yang menyala, seperti semesta sedang membaca balik dirinya sendiri.
Ia menekan telapak tangannya ke batu pilar.
Dan dunia pun bergetar.
---
Kebangkitan Roh Penjaga
Dari dalam batu itu muncul cahaya ungu dan emas yang berputar seperti tinta cair di air. Suara mulai terdengar—bukan kata-kata, tapi gema emosi. Cinta, duka, kerinduan, harapan. Semuanya tumpah dan menjelma jadi satu sosok besar: Roh Penjaga Sumbu Cerita.
Sosok itu tidak berbentuk tetap. Kadang ia seperti ibu. Kadang seperti anak. Kadang seperti dirimu sendiri ketika kecil, ketika masih percaya dunia bisa diselamatkan oleh cerita sebelum tidur.
> “Siapa yang memanggil?”
> “Aku,” jawab Aydan. “Dan semua yang belum menyerah.”
> “Kisah telah hilang. Tapi kisah juga tak bisa dibunuh. Hanya dilupakan.”
> “Maka bantu kami mengingat.”
Roh itu menjulurkan satu cahaya ke dada Aydan.
Dan Aydan merasakan semuanya: kisah-kisah yang terbunuh, anak-anak yang kehilangan dongeng, roh-roh yang dilupakan namanya. Semuanya membentuk satu simpul dalam dirinya.
Satu jalinan yang tak bisa dipotong tanpa membunuh seluruh dunia.
---
Perang yang Menanti
Di luar kuil, kabut mulai menebal. Tapi bukan kabut alami.
Kabut merah.
Tanda Pemurni Narasi datang. Tanda bahwa malam itu akan menjadi malam terakhir yang bisa bicara, atau malam pertama dalam keabadian sunyi.
“Sekarang kau tahu,” kata Amartha pada Aydan. “Jika kau menyalakan kembali cerita, maka mereka akan datang dengan kekuatan penuh.”
Aydan berdiri tegak. Matanya tidak gentar.
“Biarkan mereka datang. Karena kali ini, aku tidak sendiri. Aku membawa seluruh dunia… yang tak mau dilupakan.”
---
Nyanyian Roh yang Kembali
Setelah Roh Penjaga Sumbu Cerita menyentuh dada Aydan, sebuah suara baru menggema—bukan dari luar, tapi dari kedalaman Kalasethra, dari lapisan roh yang bahkan Amartha pun tak bisa sentuh.
> “Kau telah membuka simpul lama, Aydan,” kata roh itu. “Dan simpul itu adalah pintu.”
Seketika Aydan terhempas ke dalam ruang gelap—ruang di mana tak ada bentuk, tak ada waktu. Ia berada di tengah pusaran gema dari ribuan suara: suara anak-anak yang menyanyikan lagu lama, suara ibu yang membacakan cerita sebelum tidur, suara kakek yang menyampaikan petuah pada cucunya di depan api unggun. Semua suara itu bercampur, lalu berhenti tiba-tiba.
Dan dalam keheningan itu, Aydan melihat roh-roh kecil yang dulu hilang, berdiri di kejauhan.
Mereka tampak ragu.
Lalu satu di antaranya melangkah maju. Silwa, roh angin kecil yang dulu selalu membisikkan mimpi.
> “Aydan... kami tak tahu kau masih percaya.”
> “Aku selalu percaya. Tapi aku terlalu lama diam.”
Roh-roh lainnya mulai mendekat. Roh sungai, roh pohon, roh binatang malam, roh lampu minyak tua. Mereka tak lagi terang seperti dulu. Tapi mereka masih ada.
> “Beri kami tempat untuk pulang,” bisik mereka.
Aydan membuka matanya. Di hadapannya, dunia masih sama. Tapi hatinya telah berubah. Ia tahu kini, rohlah yang memanggil dunia kembali—bukan sebaliknya.
---
Jaringan Perlawanan
Sementara itu, jauh di timur, sebuah pergerakan lahir di desa-desa kecil yang telah disentuh kembali oleh narasi Aydan.
Di Desa Tandah yang sebelumnya dibakar Pemurni Narasi, seorang anak bernama Wiran mulai menulis kisah di dinding rumahnya setiap malam. Ibunya tidak melarang—karena setelah Aydan datang, ibunya mulai bermimpi lagi. Bermimpi tentang leluhur, dan tentang dirinya sendiri sebagai gadis kecil yang pernah ingin menjadi pencerita.
Di Desa Gerwana, kelompok perempuan tua berkumpul setiap malam, menyulam simbol cerita ke dalam selendang. Mereka menyebutnya Tenun Narasi Baru.
Di Desa Teladasi, seorang tukang kayu mulai mengukir kembali pohon kisah di alun-alun. Tiap cabang pohon diukir nama-nama roh yang pernah hilang. Dan mereka semua percaya: selama kisah diceritakan, maka dunia belum benar-benar padam.
Berita ini menyebar. Bukan lewat teriakan. Tapi lewat gema hati. Dunia mulai bergemuruh diam-diam, seperti tanah sebelum gempa. Dan pusatnya... adalah Aydan.
---
Rapat Para Penulis Ulang Sejarah
Di sisi lain, di benteng sunyi milik Para Penulis Ulang Sejarah, para tokoh Pemurni Narasi berkumpul di bawah cahaya merah.
“Kisah itu hidup kembali,” kata salah satu dari mereka, bernama Silarma, suara tertua di antara para Pemurni.
“Dan si anak itu menjadi sumbu utama.”
“Apakah kita akan membunuhnya?” tanya seorang lainnya.
Silarma menggeleng.
“Tidak. Kita akan membuatnya ragu. Tak ada yang bisa melawan kita jika mereka sendiri mulai mempertanyakan kisah yang mereka bawa.”
Dari balik jubah-jubah mereka, muncul bayangan. Bayangan yang tidak menyerap cahaya, tapi mengisap ingatan.
“Sebarkan mereka. Kita tidak akan menyerang tubuhnya. Kita akan menyerang masa kecilnya, ingatan ibunya, dan suara-suara yang membentuknya.”
---
Gema Terakhir di Langit
Malam terakhir di Kuil Kertas, langit membuka sedikit celah di balik awan tebal. Dan di sana, satu bintang bersinar lebih terang dari yang lain.
Aydan melihatnya dan tahu—itu bukan sekadar cahaya.
Itu adalah seruan, pesan dari dunia yang sedang memanggil kembali anak-anaknya yang hilang.
Ia berkata pelan pada dirinya sendiri:
> “Aku adalah kisah. Dan kisahku tak bisa dihapus begitu saja.”
---
Keesokan harinya, Aydan, Nilam, dan Akar bersiap meninggalkan Kuil Kertas. Tapi kini, mereka tidak hanya membawa cerita.
Mereka membawa nyala yang bisa menular. Bukan untuk membakar dunia—tapi untuk menghidupkannya kembali.
Dari balik kabut, kabar sudah menunggu: Desa Gana diserbu. Sumbu keempat retak. Seorang anak hilang.
Perjalanan belum usai.
Perang belum dimulai.
Tapi dunia kini siap melawan.