BAB 20: LANGIT YANG HAMPIR DILUPAKAN

Bagian 1: Bayangan Baru dari Barat

Langit sore itu aneh. Bukan karena warnanya, tapi karena heningnya. Burung-burung tidak berkicau. Daun-daun tidak gugur meski angin bertiup pelan dari lereng utara. Udara terasa tebal, seolah menahan sesuatu yang belum diizinkan turun. Awan menggantung di langit seperti rahasia yang belum terucap.

Aydan berdiri di tepian tebing desa Kinjara, menatap garis cakrawala di barat. Matahari tampak enggan tenggelam. Warnanya bukan oranye hangat seperti biasa, melainkan kelabu pudar, nyaris seperti warna abu sisa pembakaran. Di kejauhan, burung-burung tampak beterbangan secara acak—tidak membentuk pola, tidak kembali ke sarang. Seolah-olah kehilangan arah.

Ia tahu—dunia sedang menahan napas.

Dalam satu bulan terakhir, angin dari barat membawa ketakutan. Desa-desa yang dulu berhasil dibangkitkan dari cengkeraman narasi palsu kini menjadi sunyi. Bukan sunyi alami, tapi sunyi seperti museum setelah ditutup: bersih, steril, tapi mati. Semua bentuk cerita dihapus. Dinding-dinding yang dulunya penuh mural kini rata, dicat putih tanpa sisa cat sebelumnya. Pustaka-pustaka desa ditinggalkan. Anak-anak tidak lagi mendongeng. Para tetua duduk tanpa bicara.

Bukan karena mereka dibungkam oleh Para Penulis Ulang Sejarah. Tapi karena sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, dan jauh lebih mengerikan: Pemurni Narasi.

Mereka tidak memperbaiki cerita.

Mereka menghapusnya.

> “Mereka tidak ingin sejarah berubah,” kata Nilam, suaranya berat. “Mereka ingin sejarah berhenti.”

Kelompok ini muncul seperti asap dari api yang padam. Tidak diketahui siapa pemimpinnya, tidak ada nama, tidak ada lambang. Mereka tidak berbicara. Hanya berjalan masuk ke desa, dan semua bentuk ekspresi langsung lenyap: buku-buku jadi abu tanpa api, suara-suara hilang dari kepala anak-anak, dan roh-roh pelindung desa... tak pernah kembali.

Orang-orang menyebut mereka dengan berbagai nama: Bayang-bayang Abu, Orang Tanpa Suara, Penghapus Akar. Tapi satu nama yang kini dipakai oleh mereka yang berani menyebut: Pemurni Narasi.

Mereka memakai jubah panjang berwarna abu buram, wajah mereka selalu tertutup tudung hingga tak terlihat kulit maupun mata. Langkah mereka pelan, hampir tak bersuara, tapi setiap desa yang mereka datangi berubah menjadi tempat yang kehilangan masa lalu.

“Apakah mereka makhluk roh?” tanya salah seorang pengelana.

“Bukan,” jawab Tuan Dharaka, Penjaga Narasi tertua, sambil menyalakan pipa bambunya. “Tapi mereka juga bukan manusia biasa. Mereka adalah bayangan dari dunia yang mati. Dunia yang pernah mencoba melupakan segalanya agar tidak perlu merasa bersalah lagi.”

Aydan menggenggam erat batu roh miliknya, yang mulai terasa dingin sejak beberapa hari terakhir. Ia tahu, musuh mereka kali ini tidak hanya ingin mengubah sejarah atau memutarbalikkan kenyataan. Tidak ada manipulasi. Tidak ada propaganda.

Hanya penghapusan total.

Dan itu lebih mematikan dari kebohongan.

Karena jika kebohongan masih bisa dilawan dengan kebenaran, maka ketiadaan tidak bisa dilawan kecuali dengan keberanian untuk mengingat.

---

Bagian 2: Hilangnya Roh-Roh Kecil

Malam di Desa Kinjara terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan sunyi biasa yang menyenangkan, seperti suara jangkrik bersaing dengan desir angin. Ini adalah sunyi yang membuat dada terasa kosong. Seperti dunia berhenti bercerita.

Di atas bukit kecil yang menghadap ke arah timur, Aydan duduk bersila di atas lingkaran batu, tempat ia biasa berkomuni dengan roh-roh kecil. Batu-batu roh—yang dulunya berpendar cahaya hijau lembut—kini redup, beku seperti kerikil tak bermakna. Tidak ada getaran. Tidak ada nyanyian halus dari semesta.

Ia menutup mata dan mencoba memanggil salah satu roh angin yang dulu kerap datang dalam mimpi—Silwa, roh pembisik tidur. Tapi malam itu hanya diam yang menjawab. Tak ada desir sejuk, tak ada suara kecil yang biasa mencandainya.

Ia lalu mencoba roh sungai yang dahulu membentuk wajah di riak air, Liris, sahabatnya ketika pertama kali menyeberangi Kalasethra. Tapi saat ia berjalan mendekati sungai, airnya tidak memantulkan wajahnya sama sekali. Permukaannya datar, buram. Seperti cermin yang telah kehilangan pantulannya.

Di kejauhan, Nilam duduk bersandar di akar pohon tua. Di tangannya tergenggam batu roh ibunya, yang biasanya menghangat jika disentuh. Kini, batu itu dingin seperti tanah yang belum tersentuh matahari.

“Mereka… seperti dilupakan,” kata Nilam pelan, nyaris seperti berbisik. “Bukan pergi. Tapi… dihapus dari ingatan.”

Aydan memandangi batu-batu roh yang berserakan di sekelilingnya. Dulu, setiap batu menyimpan suara leluhur. Bisikan petuah, lagu-lagu masa kecil, bahkan tangis harapan. Sekarang semua bisu. Hampa.

“Apa yang membuat roh bisa hilang?” tanya Nilam lirih.

“Bukan kematian,” jawab Aydan dengan suara nyaris tak terdengar. “Roh tidak bisa mati. Mereka hidup dari ingatan. Tapi kalau tak ada yang mengingat… mereka lenyap.”

Ia berdiri, berjalan ke tengah lingkaran batu, dan mencoba memanggil Penjaga Kalasethra yang dulu datang di malam badai besar. Tapi bahkan kalimat pemanggilan dalam bahasa roh—yang dulu menggema seperti gema gunung—kini hanya terdengar seperti doa kosong.

“Seolah sesuatu telah mengurung mereka,” gumam Aydan.

Ia menatap langit malam yang tak lagi penuh bintang. Beberapa bintang masih terlihat, tapi banyak dari gugusan lama tampak hilang—seakan nama-nama bintang itu telah dilupakan manusia.

Nilam bergumam, “Apa Pemurni Narasi bisa menjangkau hingga dunia roh?”

Aydan menunduk. Jawaban itu mulai terasa jelas di hatinya. Bukan karena Pemurni Narasi bisa menyerang roh… tetapi karena mereka berhasil memengaruhi manusia untuk tidak lagi percaya pada roh.

Dan itulah yang paling berbahaya.

Roh-roh kecil, entitas yang selama ini menjaga alam, desa, bahkan batin manusia, kini kehilangan rumahnya. Bukan rumah dalam arti tempat, tapi rumah dalam bentuk kesadaran manusia. Tanpa ada yang percaya, tanpa ada yang menyebut nama mereka, mereka seperti daun yang gugur tanpa tempat jatuh.

“Kita bukan hanya melawan penghapus sejarah,” ucap Aydan pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri. “Kita melawan pelupa sejarah.”

Dan pelupa… adalah musuh yang jauh lebih mematikan. Karena mereka tidak datang dengan pedang. Mereka datang dengan diam.

Dengan kebiasaan untuk berhenti bertanya. Dengan rutinitas yang melupakan siapa kita dan dari mana kita berasal.

Aydan memejamkan mata. Ia tahu, perjuangan kali ini bukan hanya menyelamatkan manusia dari kebohongan. Tapi juga menyelamatkan roh-roh yang tinggal dalam cerita—roh-roh yang tanpa mereka, dunia hanyalah tempat yang bergerak tapi tak bermakna.

---

Bagian 3: Perpecahan di Dalam Pelindung Narasi

Tenda utama Pelindung Narasi di dataran Gunung Rinjata bergetar oleh perdebatan.

Langit di luar kelabu. Bukan karena hujan, tapi karena debu-debu dari reruntuhan desa yang baru saja lenyap disapu Pemurni Narasi. Orang-orang mulai kehilangan keyakinan—bukan pada kebenaran, tapi pada cara mempertahankannya.

Aydan berdiri di tengah ruangan bundar yang dulunya tempat menyusun peta budaya, naskah kuno, dan jalur penyebaran kisah. Kini meja itu dipenuhi lembar rencana penyerangan. Sketsa strategi. Senjata rakitan. Ledakan ide dan ego.

Di seberangnya berdiri Reska—pemuda berusia dua puluh dua tahun dengan wajah penuh luka, bekas baku hantam dari masa silam saat masih berada dalam jajaran Penulis Ulang Sejarah. Ia membawa amarah yang belum sembuh, tapi juga tekad yang menyala.

“Cukup dengan puisi, Aydan,” kata Reska dingin. “Cukup dengan menggantung cerita di pohon. Musuh kita tidak membaca cerita. Mereka membakarnya.”

Beberapa kepala mengangguk diam-diam. Aydan tahu, bukan karena mereka sepakat, tapi karena mereka lelah.

“Dan kau mau balas membakar mereka?” Aydan menatap tajam, suaranya tetap tenang. “Apa bedanya kita dengan mereka jika kita mengganti puisi dengan senjata?”

Reska menyeringai pahit. “Kau bicara soal harapan. Tapi anak-anak di Desa Makrana hilang. Orang tua di Maraya bisu. Batu roh retak. Apa harapan bisa menahan itu?”

“Tapi kekerasan akan membuat mereka menang lebih cepat,” jawab Nilam, yang sejak tadi berdiri di sisi Aydan. “Kalau kita menulis dengan darah, mereka tak perlu menghapus apa-apa. Kita sudah menghapusnya sendiri.”

Reska mengepalkan tangan. Di belakangnya, beberapa anggota Pelindung Narasi muda tampak gelisah. Beberapa membawa busur. Beberapa membawa potongan baja, seolah siap mengubahnya jadi tombak.

“Lalu apa rencanamu, Aydan?” Reska menyindir. “Bernyanyi di depan bayangan? Mengajak roh yang bahkan sudah menghilang untuk ikut demo budaya?”

Aydan tak langsung menjawab. Ia membuka kantong kulit kecil yang ia bawa dan mengeluarkan lembaran kertas. Di atasnya, terdapat coretan tangan seorang anak dari desa yang selamat: gambar rumah, wajah ayah-ibunya, dan seekor burung roh.

“Ini bukan rencana. Tapi ini alasan kenapa kita bertahan,” katanya lirih. “Selama masih ada satu anak yang menggambar, dunia belum sepenuhnya hilang.”

Sunyi turun. Tapi tidak lama.

Reska menarik nafas dalam-dalam. “Kalau begitu, mulai malam ini, kami memisahkan diri. Kami akan membentuk sayap baru. Kami akan menjadi perisai jika kalian tetap memilih menjadi nyanyian.”

Aydan memejamkan mata. Ia tahu momen ini akan datang. Dan tak ada yang bisa mencegahnya.

“Sebutlah dirimu apa pun yang kau mau, Reska. Tapi jangan bawa nama Pelindung Narasi jika tujuannya untuk menguasai cerita.”

Reska menoleh ke para pengikutnya. “Mulai malam ini, kami adalah Pasukan Riwayat. Kami akan mengukir sejarah dengan apa yang ada—kata atau besi.”

Ia pergi tanpa pamit.

Dan begitu Reska melangkah keluar, sebagian api padam dalam hati tenda itu. Tapi sebagian lagi menyala dengan nyala baru: nyala perpecahan.

Nilam menyentuh lengan Aydan. “Kau tahu ini akan terjadi.”

Aydan mengangguk. “Ya. Tapi tetap sakit saat itu akhirnya tiba.”

Ia menatap langit yang mulai gelap. Di cakrawala, tampak kilau abu bergerak seperti kabut—Pemurni Narasi semakin dekat.

Dan kini, bukan hanya musuh dari luar yang harus ia hadapi.

Tapi juga pecahan di dalam dirinya sendiri: apakah jalan damai cukup kuat menghadapi dunia yang memilih diam?

---

Bagian 4: Perjalanan Menuju Gunung Uluwatu

Gunung Uluwatu bukan sekadar gunung. Ia adalah nadi terakhir Kalasethra—sebuah tempat yang menurut legenda menjadi pintu pertama antara dunia roh dan dunia manusia. Banyak yang menyebutnya fabel, banyak yang mengabaikannya sebagai mitos masa lalu. Tapi bagi mereka yang masih percaya, Gunung Uluwatu adalah napas terakhir dari semesta yang belum dibisukan sepenuhnya.

Aydan, Nilam, dan lima pelindung terpilih berangkat sebelum fajar. Langit masih remang, dan hanya burung nokturnal yang mengiringi kepergian mereka dari dataran Rinjata. Di pundak mereka tergantung kantong kecil berisi batu roh terakhir yang masih hangat, dan di dada mereka tergantung lencana Narasi, ukiran kayu berbentuk mata terbuka yang melambangkan kesadaran.

Rute menuju Uluwatu bukan jalan biasa. Mereka harus melintasi jalur yang tidak tercatat dalam peta modern. Peta-peta roh—yang dahulu digunakan oleh para penjaga kebenaran—dibawa oleh Akar, salah satu dari lima pengikut Aydan. Ia adalah cucu dari Pewarta Lurus, penjaga peta hidup yang dulu menghafal lintasan energi antara bumi dan langit.

Hari pertama mereka melewati lembah sunyi bernama Ranu Sudra, tempat orang-orang dulu menuliskan sejarah keluarga pada daun-daun pohon beringin. Tapi kini, pohon-pohon itu botak. Daun-daunnya hilang. Hanya cabang-cabang kaku dan debu.

“Aku pernah ke sini saat kecil,” bisik Nilam. “Daun-daunnya menyanyikan cerita. Sekarang mereka bahkan tidak bisa bersenandung.”

Hari kedua, mereka tiba di Desa Layang, desa hening di pinggir jurang. Tak ada satu pun penduduk yang tersisa. Rumah-rumah bersih, tanpa jejak penghuni. Di dinding rumah utama tergantung lonceng perak—simbol penghubung dengan dunia roh. Aydan menyentuhnya. Tidak ada gema. Tidak ada resonansi.

Seolah frekuensi antara dunia telah diputus.

Malam ketiga, mereka bermalam di Hutan Gandhira. Hutan yang dulunya bersuara kini sepi bagai ruang kedap suara. Tak ada jangkrik. Tak ada burung hantu. Bahkan suara dedaunan pun terasa seperti dipendam.

Di sanalah Aydan bermimpi.

Dalam mimpi itu, ia melihat Amartha, berdiri di tengah lingkaran batu. Tubuhnya lebih tua, tapi sorot matanya masih tajam seperti saat mereka terakhir bertemu. Namun kini, di hadapannya berdiri sesosok berjubah abu-abu. Sosok itu tidak berkata apa-apa. Tapi getaran kehadirannya membuat waktu terasa berhenti.

“Aku hanya ingin dunia damai,” kata Amartha lirih.

Sosok berjubah itu mengangkat tangannya. Di telapaknya tergambar peta dunia… tapi kosong. Tanpa garis, tanpa nama, tanpa warna.

“Kalau ingin damai,” ucap suara tanpa bibir, “hapuslah alasan mereka bertengkar: perbedaan kisah.”

Amartha menatap peta kosong itu lama, lalu menjawab: “Tapi tanpa kisah, manusia bukan apa-apa.”

Saat Aydan terbangun, ia masih bisa merasakan desakan dari dada mimpi itu. Ia memandang langit yang masih gelap, tapi mendungnya kini terasa lebih berat. Seperti seluruh langit sedang menyimpan air mata yang belum jatuh.

Ia tahu sekarang. Amartha belum menyerah. Tapi ia juga sedang dicoba—dipaksa memilih antara dunia damai yang steril dan dunia gaduh yang jujur.

Hari keempat hingga keenam menjadi lebih berat. Mereka mendaki jalur terjal, menyusuri jurang yang dahulu dikenal sebagai Mulut Kata. Banyak yang menyerah dalam perjalanan ini, bukan karena lelah, tapi karena sunyi di tempat ini menyerupai kegilaan. Suara sendiri bisa terdengar asing. Pikiran sendiri bisa jadi musuh.

Pada malam keenam, ketika mereka tiba di lembah terakhir sebelum puncak, langit menjadi ungu tua. Awan berputar seperti mangkuk raksasa. Di tengah lembah itu berdiri sebuah menhir, batu besar yang dipenuhi simbol kuno.

“Ini batas terakhir,” kata Akar. “Setelah ini, hanya yang bersih niatnya yang bisa melihat Gunung Uluwatu.”

Satu per satu mereka menyentuh batu itu.

Dua dari lima orang pingsan seketika. Mereka tak bisa melanjutkan.

“Salah satu dari mereka pernah menyangkal cerita ibunya sendiri,” gumam Nilam. “Yang satunya... pernah memalsukan lagu rakyat.”

Aydan menyentuh batu terakhir.

Saat itu juga, seluruh hutan di sekelilingnya berbisik dalam bahasa roh: suara ratusan tahun, suara para leluhur, suara masa yang menunggu.

Dan jalur menuju Uluwatu pun terbuka.

---

Bagian 5: Suara dari Dalam Aydan

Dingin di kaki Gunung Uluwatu bukan dingin biasa. Ia bukan berasal dari angin atau kabut. Tapi dari semacam energi tua—getaran sunyi yang merayap masuk ke dalam tulang, menelusuri nadi, hingga menembus jiwa. Aydan menggigil, bukan karena cuaca, tapi karena kehadiran sesuatu yang tak kasatmata namun amat nyata.

Langkah demi langkah, ia mendaki jalur sempit berlapis batu-batu pipih yang tidak pernah disentuh sepatu. Di belakangnya, Nilam dan Akar berjalan dalam diam. Tidak ada yang bicara. Bahkan suara napas mereka seolah diserap oleh udara. Di tempat ini, bicara adalah gangguan. Hanya yang datang dengan hati yang sunyi yang akan diterima.

Kabut mulai menipis saat mereka mendekati puncak. Dari balik kabut itu, muncul bentuk samar gerbang batu alami, menjulang seperti dua jari raksasa yang mengapit langit. Gerbang itu dikenal sebagai Mulut Kedua—pintu antara realitas luar dan dimensi dalam.

Begitu mereka melewatinya, dunia berubah.

Langit menjadi temaram keunguan, seolah sore yang tak pernah selesai. Udara mengandung aroma kayu tua dan tanah basah. Tanah berdenyut perlahan, seperti jantung dunia. Di tengah-tengah puncak, berdiri sebuah batu tegak dengan ukiran spiral yang tak pernah diketahui artinya, hanya dirasakan.

Aydan melangkah mendekat. Batu itu disebut Batu Kalbu, konon tempat di mana Kalasethra pertama kali bersentuhan dengan dunia manusia. Konon, hanya mereka yang siap menanggung ingatan dunia yang bisa menyentuhnya dan tetap menjadi diri sendiri.

Ia menyentuhnya.

Dan seketika tubuhnya diserap oleh cahaya dari dalam.

---

Ia tidak lagi berdiri di puncak. Ia kini terapung di ruang tak bernama—sebuah dimensi tanpa langit, tanpa tanah, hanya suara dan gema.

Dan suara itu datang... dari dalam dirinya sendiri.

> “Aydan... ingatan bukan sesuatu yang kau miliki. Ia adalah sesuatu yang menjadikanmu ada.”

Suara itu bukan roh. Bukan juga pikirannya. Ia seperti versi purba dari dirinya, suara yang sudah ada sebelum ia lahir—gema dari jiwa yang lama tertidur.

> “Kau tidak diberkati dengan kemampuan melihat roh karena kebetulan. Kau adalah simpul. Titik tempat kisah yang hilang berkumpul kembali.”

Bayangan-bayangan mulai muncul di sekelilingnya. Masa kecilnya: saat ia menangis di balik pohon karena dituduh pembawa sial. Saat anak-anak lain melemparinya dengan lumpur. Saat ibunya—dalam darah dan tangis—memeluknya sambil berbisik, “Kau bukan sial. Kau penanda zaman.”

Semua luka itu bukan luka yang mengempaskan—melainkan luka yang membentuk.

> “Kau membawa kegelapan bukan karena kau gelap. Tapi karena dunia memilih buta. Kini, dunia mulai melihat kembali. Maka cahayamu akan terasa lebih menyilaukan.”

Tubuh Aydan bergetar. Air matanya mengalir, meski tidak ada wajah, tidak ada tubuh.

Lalu muncul cahaya baru: wajah para roh yang dulu menemaninya—Silwa si roh angin, Liris si roh sungai, dan puluhan lainnya. Mereka tidak bicara. Mereka hanya menatapnya dengan kasih yang hening.

Dan satu suara terakhir berkata:

> “Jika kau sanggup membawa nyala kecil di tengah badai lupa, maka kisah akan kembali hidup. Tapi bukan sebagai pelindung… melainkan sebagai bagian dari dirimu.”

---

Ketika Aydan membuka mata, ia kembali berdiri di hadapan Batu Kalbu. Di sekelilingnya, tanah bersinar lembut. Udara dipenuhi semacam partikel keemasan. Nilam dan Akar masih bersila dalam keheningan, mata mereka tertutup, seolah turut merasakan sambungan roh itu.

Tapi kini, Aydan berbeda.

Ia tidak lagi mendengar suara roh dari luar. Ia mendengarnya dari dalam dirinya sendiri. Sebuah keutuhan yang tak bisa dipisahkan: antara jiwa manusia dan dunia roh, antara kata dan makna, antara luka dan harapan.

Untuk pertama kalinya, Aydan tidak merasa sendirian.

Ia tidak hanya membawa kisah.

Ia adalah kisah itu sendiri.

---

Bagian 6: Langit yang Hampir Dilupakan

Keheningan yang menyelimuti Gunung Uluwatu bukan hanya karena kedamaian, tetapi juga karena ketakutan. Ketakutan bahwa saat ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh mereka yang menginginkan kegelapan abadi—Pemurni Narasi. Jika mereka menang, semua kisah akan lenyap, dan hanya kelam yang akan tinggal.

Namun di balik keheningan itu, ada denyut kehidupan yang tak tampak—sesuatu yang lebih tua dari dunia itu sendiri. Sesuatu yang bersembunyi di balik Batu Kalbu yang telah menuntun Aydan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya.

Di hadapannya kini terbentang Kalasethra, tempat roh-roh yang dulu hidup berdampingan dengan manusia. Tetapi kali ini, dunia itu tampak berbeda.

Gelap.

Bukan gelap yang datang dengan malam, tapi gelap yang datang karena ketidaktahuan—sebuah langit yang hampir dilupakan, bintang-bintang yang hampir padam.

Aydan melangkah lebih jauh ke dalam dimensi ini, dan seketika ia merasakan getaran yang aneh. Seperti seluruh Kalasethra sedang menahan nafas. Sebuah ruang mati, sepi dari suara. Dan di tengah-tengahnya, satu cahaya yang mulai memudar.

“Apa yang terjadi?” gumam Aydan. Ia mengangkat tangannya ke udara, merasakan energi yang seharusnya mengalir, namun kini kaku dan beku.

Ia menatap langit Kalasethra yang penuh dengan awan hitam pekat. Bukan awan badai yang penuh dengan kehidupan, melainkan awan yang menghalangi sinar dari bintang—sinar yang seharusnya menjadi pengingat bagi semua makhluk hidup. Seharusnya, bintang-bintang itu mengingatkan mereka pada asal-usul dunia, pada kisah yang telah mengikat mereka.

Di bawahnya, pohon-pohon roh yang dulu megah, kini hanya berdiri sebagai kerangka kering. Mereka tidak berbicara, tidak bersuara. Seakan dunia ini, dunia yang pernah menjadi tempat berkumpulnya kisah-kisah para leluhur, telah kehilangan jiwanya.

Aydan merasakan kehadiran sesuatu yang asing—sesuatu yang lebih dari sekadar kegelapan. Sesuatu yang mengambil suara dari dunia ini. Ia melihat bayangan samar bergerak di antara pepohonan mati itu. Wajah-wajah tanpa ekspresi, seperti penonton yang tidak lagi peduli.

“Apa yang terjadi pada mereka?” tanya Aydan, tetapi tak ada jawaban. Suara yang keluar dari mulutnya hanya menggema, hilang ditelan angin sepi.

“Mereka telah dilupakan, Aydan.”

Suara itu datang dari balik batu besar di tengah hutan—suara Penjaga Waktu, roh yang selama ini menjadi pelindung transisi antara dunia manusia dan roh. Wajahnya tampak samar di balik kabut.

Aydan mendekat, menggigil meskipun udara tidak sedingin sebelumnya. “Apakah Kalasethra sedang sekarat?” tanya Aydan dengan nada berat. “Mengapa aku tidak bisa mendengar mereka lagi?”

Penjaga Waktu mendekat. Cahaya tubuhnya bersinar lembut seperti nyala lilin yang hampir padam. "Kalasethra sekarat, bukan karena ancaman luar," katanya dengan suara yang terdengar seperti desir angin, namun penuh kesedihan. "Ia sekarat karena mereka yang lupa."

"Lupa?" Aydan bertanya, suaranya hampir hilang di tengah gemerisik daun. “Lupa apa?”

"Manusia," jawab Penjaga Waktu dengan tenang, "lupa bahwa mereka datang dari cerita. Mereka lupa bahwa dunia ini tidak hanya tercipta dengan tangan-tangan mereka sendiri, tetapi dengan kisah yang terus hidup dari generasi ke generasi."

Aydan mulai mengerti. Pemurni Narasi tidak hanya berusaha menghapus sejarah. Mereka juga berusaha menghapus ingatan dari dunia itu sendiri—membuat manusia melupakan asal-usul mereka, melupakan nilai-nilai yang menyatukan mereka. Tanpa kisah, tanpa narasi, manusia tidak lebih dari sekumpulan tubuh yang berjalan tanpa arah.

"Sejarah tidak hanya ada di dalam buku," lanjut Penjaga Waktu. "Ia ada di dalam roh, di dalam kisah yang mengalir dalam darahmu. Tanpa itu, dunia akan mulai mati."

Aydan menatap kosong ke langit Kalasethra yang kian gelap. Apa yang bisa ia lakukan?

Ia tidak bisa berperang dengan kekuatan yang begitu besar, begitu tak terlihat. Ia tidak bisa menghadapi Pemurni Narasi dengan kekuatan fisik, dengan pedang atau tombak. Tetapi, satu hal yang ia tahu, keberanian bukan hanya tentang melawan kekuatan besar. Keberanian adalah tentang menghargai dan melestarikan kisah—bahwa dunia tidak bisa hidup tanpa cerita yang saling terhubung.

Saat itulah ia menyadari, tidak ada kekuatan yang bisa menghapus kisah jika semua orang mengingat dan menyampaikannya kembali.

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” Aydan bertanya, suaranya lebih tegas sekarang.

Penjaga Waktu menatapnya dengan sorot mata yang penuh harapan. "Jangan biarkan cerita itu mati, Aydan. Jangan biarkan mereka yang lupa mendiktekan dunia. Mulailah dari dalam dirimu."

Tiba-tiba, langit Kalasethra berubah. Seperti sebuah tirai yang ditarik, langit yang gelap itu terbuka sedikit, menampakkan beberapa bintang yang bersinar kembali—seperti cahaya harapan yang mengusir kegelapan. Pohon-pohon roh yang mati mulai bergoyang pelan, seolah-olah mereka juga mengingat kembali.

Aydan tahu. Ini bukanlah akhir dari perjalanannya. Ini adalah awal yang baru. Sebuah awal untuk menyadarkan manusia dan roh, untuk menyatukan kembali kisah-kisah yang telah terpisah.

Ia menatap Penjaga Waktu, lalu berkata, "Aku akan mengingat. Dan aku akan membuat mereka mengingat."

Penjaga Waktu tersenyum. "Lakukan, Aydan. Dunia ini menunggumu."

Dan dengan itu, Aydan meninggalkan Kalasethra dengan tekad baru—menyebarkan cerita, menyambung kembali kisah-kisah yang pernah ada, agar dunia tidak melupakan siapa mereka sebenarnya.

---

Bagian 7: Awal yang Baru(Ending Vol.2)

Aydan kembali ke dunia manusia ketika fajar pertama menembus kabut Gunung Uluwatu. Tapi matahari pagi itu bukanlah cahaya yang biasa. Ia tampak lebih lambat muncul, seperti sedang ragu untuk menyinari dunia yang tak lagi percaya pada cahayanya.

Angin membawa aroma tanah yang belum sepenuhnya pulih. Udara tipis, dan langit masih menyisakan sedikit warna abu, sisa-sisa dari dunia yang pernah dilupakan.

Nilam menatap Aydan dengan pandangan tak percaya saat ia membuka matanya di kaki Batu Kalbu. Ada perubahan dalam sorot mata anak itu. Bukan sekadar ketenangan. Tapi kedalaman, seperti ia telah melihat sesuatu yang tak bisa diucapkan namun terasa oleh semua yang mendekat.

"Apa yang kau lihat di sana?" tanya Nilam.

Aydan tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap ke arah cakrawala, lalu menutup matanya dan mendengarkan.

Dan saat ia mendengarkan, bumi pun ikut berbisik.

Suaranya lirih, nyaris seperti desir pasir yang berpindah. Tapi itu cukup bagi Aydan untuk tahu: Kisah belum sepenuhnya mati.

---

Kembalinya Sang Pengingat

Perjalanan turun dari Gunung Uluwatu tidak lebih mudah daripada naiknya. Tapi kali ini, Aydan tidak berjalan sebagai anak yang tersesat. Ia berjalan sebagai penjaga percikan terakhir dari nyala narasi.

Mereka kembali ke Desa Kinjara—desa yang dulu menuduh Aydan sebagai pembawa sial, dan kini menjadi tempat pertama yang akan menerima cahaya yang baru ia bawa.

Desa itu masih sunyi. Tak ada suara riang anak-anak. Dinding rumah bersih, terlalu bersih. Pohon-pohon tidak lagi memiliki coretan kenangan seperti dulu—daun-daun nama, kisah anak-anak, goresan waktu yang pernah menjadi warisan.

Aydan berdiri di tengah alun-alun. Orang-orang keluar dari rumah perlahan, mata mereka penuh curiga, penuh kehampaan. Tapi Aydan tidak berbicara. Ia menyanyikan lagu lama.

Satu bait pertama. Lagu yang hanya dikenang oleh para nenek. Lagu masa kecil yang mengandung doa dalam nadanya.

Dan perlahan—seorang ibu menangis. Ia menggenggam keranjang kosongnya, lalu berlutut. Di sudut lain, seorang kakek menatap langit dan menyebut satu nama yang sudah dua puluh tahun tak ia ucapkan: nama istrinya yang dulu dipercaya sebagai perajut mimpi.

Kisah-kisah itu mulai hidup kembali.

Aydan lalu membuka kantong kecil yang ia bawa dari Kalasethra. Di dalamnya ada segenggam debu bintang—partikel halus bercahaya dari langit Kalasethra yang terbuka. Ia menaburkannya ke tanah desa.

Dan keajaiban terjadi.

Batu-batu kecil yang dulu digunakan anak-anak untuk bermain mulai berpendar. Bayangan anak-anak muncul, berlari-lari sebentar, lalu hilang kembali. Tapi itu cukup. Cukup untuk membuat desa mengingat.

---

Nyala di Tengah Dunia yang Lupa

Dalam beberapa minggu, Aydan dan Nilam berjalan dari desa ke desa. Mereka tidak membawa senjata, tidak mengibarkan bendera. Mereka hanya membawa kisah-kisah yang dulu ditanam tapi belum tumbuh. Lagu-lagu rakyat. Cerita hantu kuno. Sajak tentang hujan pertama dan pohon pertama yang tumbuh setelah kelahiran manusia.

Setiap kali Aydan menyanyikan satu bait, roh-roh kecil muncul sebentar. Tidak untuk menetap. Tapi untuk memberi sinyal: "Kami belum sepenuhnya hilang. Kami menunggu kalian mengingat kami kembali."

Orang-orang mulai menyalakan api unggun dan menceritakan cerita sebelum tidur. Anak-anak menulis ulang dongeng dan menyebarkannya lewat daun lontar. Para pemuda mulai melukis dinding rumah mereka dengan kisah keluarga.

Dunia mulai bergerak lagi. Tapi kali ini, tidak dengan amarah. Dengan kenangan.

---

Di Balik Cahaya, Ancaman Tetap Ada

Namun Aydan tahu, ini bukan akhir perjuangan. Ia bisa merasakannya—dari arah barat, Pemurni Narasi belum berhenti bergerak.

Tapi kini, mereka bukan lagi satu-satunya yang diam. Manusia mulai bicara. Roh mulai muncul. Dan kalimat-kalimat pertama dari dunia yang baru mulai ditulis, bukan di batu, bukan di naskah, tetapi di hati mereka yang pernah lupa.

“Jika mereka datang untuk membungkam,” ujar Aydan pada suatu malam kepada Nilam, “maka kita harus membuat dunia terlalu penuh dengan suara untuk bisa dibungkam semuanya.”

Nilam tersenyum. “Dan jika mereka datang untuk menghapus, kita pastikan setiap anak lahir membawa cerita.”

Aydan memandang langit. Kali ini, langit tak lagi sepenuhnya abu.

Ada satu bintang—bintang yang dulu hampir padam—kini bersinar terang di tengah gelap.

Dan dari bintang itu, suara berbisik dalam batin Aydan:

> “Ini baru awal. Jangan lelah menyalakan.”